Jakarta -
Saat Herbert A. Simon--psikolog, yang juga ekonom asal Amerika Serikat-- pernah menyinggung soal The Attention Economy di tahun 1971. Ia mungkin tak menyangka, gagasannya bakal berpengaruh hingga hari ini. Gagasan yang bukan saja penting dalam penyusunan model bisnis media digital, namun juga mempengaruhi pemaknaan masyarakat, pada dunia yang dihayatinya. Dunia yang dialami panca indera telanjang, jauh berbeda dari dunia dalam pengalaman media digital. Atas karyanya itu, di tahun 1978 Herbet A. Simon meraih penghargaan Nobel di Bidang Ekonomi.
Uraiannya semula, disiapkan sebagai makalah untuk ceramah yang diselenggarakan Johns Hopkins University dan Brookings Institution. Topiknya "Designing Organizations for an Information-Rich World". Dengan judul ini, uraian nampak biasa-biasa saja. Juga tak punya unsur kejutan. Ia hendak mengajukan gagasan seputar merancang organisasi, di tengah dunia dalam kelimpahan informasi. Namun seluruhnya jadi berbeda, seiring diajukannya 2 pertanyaan: "Sudah berapa lama, dunia ini mengalami kelimpahan informasi? Dan apa implikasi dari kelimpahan itu, jika memang benar adanya?" Jawaban-jawaban yang muncul, berimplikasi luas.
Untuk pertanyaan pertamanya yang diajukan tak kurang 53 tahun silam, kian terjawab gamblang di era sekarang. Era yang diwarnai perkembangan pemanfaatan internet, dengan berbagai tampilannya. Keadaan yang relevan, di tengah perkembangan teknologi informasi. Teknologi yang mentransformasi informasi analog, jadi digital. Seluruhnya menyebabkan, produksi dan distribusi informasi mencapai titik tertingginya. Kelimpahan informasi jadi realitasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun realitas itu berhadapan dengan stagnannya kognisi manusia. Proses evolusi tak mendorongnya mengalami pelipatgandaan kemampuan memperhatikan. Manusia tak jadi lebih mampu memperhatikan, akibat tingginya permintaan perhatian. Keadaan yang justru berkembang: perhatian manusia yang jumlahnya tetap, ditransaksikan dengan informasi yang berlimpah. Maka agar meraih kepuasan optimal, rasionalitas dipaksa melakukan seleksi perhatian agar memperoleh kepuasan optimal. Relasi perhatian vs informasi berlimpah itu tak ubahnya aktivitas ekonomi. Aktivitas yang dimengerti, sebagai upaya rasional manusia mengoptimalkan pilihannya dengan sumberdaya yang terbatas.
Curt Steinhorst, 2024, lewat "Lost in The Scroll: The Hidden Impact of The Attention Economy", mengungkap implikasi lanjut relasi yang melahirkan Ekonomi Perhatian itu. Steinhorst yang mengutip Michael Goldhaber, mengemukakan: keberhasilan diraihnya perhatian di tengah intensifnya produksi dan distribusi informasi tak berbeda dengan diperolehnya kekayaan yang bertahan lama. Perhatian jadi mata uang. Memperoleh perhatian berlimpah, berarti memperoleh uang banyak. Berlimpahnya perhatian, berarti kaya raya.
Kekayarayaan yang dapat dikonversi dengan apa pun yang ditawarkan ekonomi, dalam kelimpahan informasi. Menjadi berharganya perhatian, lantaran kehadirannya dibutuhkan untuk mengubah informasi jadi bermakna. Tanpa perhatian informasi tak menembus panca indera dan membangun pemaknaan. Informasi akan tersapu waktu, berlalu jadi residu. Herbert A. Simon menyebutnya: kelimpahan informasi yang menciptakan kemiskinan perhatian.
Untuk pertanyaan kedua: apa implikasi dari keadaan berlimpah itu? Perhatian lebih berpeluang dijatuhkan pada hal yang paling langka. Ini sangat mengoptimalkan kepuasan pilihan. Misalnya sebagai contoh pada judul artikel. Orang akan lebih mudah tercuri perhatiannya oleh judul artikel 'Wah, Gubernur Lemhanas Sebuah RI Kena 2.200 Serangan Siber Per 1 Menit' ketimbang judul 'Four Reasons the Cybersecurity Field Is Rapidly Growing'.
Realitas perhatian yang berpeluang jatuh pada hal-hal yang bersifat langka, sering dikaitkan dengan bias negatif. Bias negatif adalah kecenderungan diberikannya perhatian pada hal yang negatif. Perhatian lebih diberikan pada perkataan kasar, kecelakaan, kesedihan, bencana, juga kejadian tak masuk akal. Di tingkat individu, ini membentuk perbincangan luas. Terakumulasi jadi perhatian yang diperoleh.
Seluruhnya dapat dipahami: rasionalitas manusia memilih kesenangan, seraya menghindari rasa sakit. Hal-hal yang negatif jadi bahan perhatian, lantaran dipersepsi mengandung ancaman. Karenanya, menghindari ancaman dengan cara, memberikan perhatian pada yang negatif.
Emma McAdam, 2023 lewat tulisannya "Negativity Bias: Why Your Brain Defaults to Scarcity and How to Flip It to Happiness", mengulas keterkaitan bias negatif, kelangkaan dan upaya untuk menjadikannya sebagai sumber kebahagiaan. Menurutnya, otak manusia tak dirancang untuk membuatnya bahagia. Otak dirancang agar manusia bertahan hidup. Dalam rancangan itu, otak dilengkapi dengan bias bawaan berupa bias negatif. Ini berguna untuk menapis, saat otak harus berhadapan dengan informasi berjumlah banyak. Terjadi seleksi perhatian: otak menyaring rangsangan-rangsangan berupa informasi yang diterimanya.
Mekanisme Ini disebut selective attention. Maka ketika perhatian dijatuhkan pada hal-hal yang negatif, juga yang langka terjadi, dimengerti sebagai tendensi memperbesar peluang hidup. Dalam realitasnya, yang negatif dan langka merupakan ancaman. Perhatian ditujukan pada yang negatif, justru untuk memperbesar peluang hidup.
Namun demikian, dalam realitasnya informasi negatif tapi langka ini merupakan sumber gangguan mental. Ketaknyamanan, stress, bahkan depresi. Memang jika dikelola dengan baik, dapat mendatangkan kebahagiaan. Ujungnya, dipertahankannya hidup. Bangsa-bangsa yang punya sejarah hidup panjang, dihuni penduduk yang juga berumur panjang. Dalam kisahnya terbukti: mampu mengalihkan berbagai peristiwa yang menekan, tak nyaman bahkan merenggut kehidupan jadi kebijakan hidup. Ini dapat disaksikan pada Bangsa Mesir, Yunani, Mexico, India, Cina maupun Jepang.
Bias negatif yang bermanfaat sebagai mekanisme pertahanan hidup, berubah jadi paradoks. Ini saat bias negatif dijadikan sebagai formula penangguk keuntungan. Realitas hidup hari ini mengkonfirmasinya. Di antara intensifnya produksi dan distribusi informasi lewat media digital, perhatian--dengan kurva normal yang berbentuk lonceng--jatuh pada area ekstrim kiri dan kanan. Sumbu imajiner datar yang bergerak dari kiri ke kanan, menunjukkan pergerakan spektrum kualitas isi informasi: dari yang berkualitas sangat buruk ke yang berkualitas sangat baik. Sedangkan sumbu imajiner tegak dari atas ke bawah, menunjukkan peluang terjadinya peristiwa. Di titik atas artinya, peluang kejadiannya sangat besar. Dan makin ke bawah, peluang kejadiannya mendekati nol. Sangat langka.
Ini kemudian dapat dibaca--dengan mengacu pada uraian McAdam di atas--pada kualitas informasi yang semakin buruk, juga semakin baik dan peluang kejadiannya makin langka, perhatian dicurahkan. Sedangkan pada timbangan informasi buruk vs informasi baik, bias negatif manusia mengantarnya memilih informasi dengan kandungan bias negatif. Artinya, makin kiri dan makin ke bawah, terjadi pemusatan perhatian.
Inilah formula produksi dan distribusi informasi yang berlaku hari ini. Jika seluruhnya ditelaah lebih dalam, informasi di sebelah kiri dan bawah, berciri, pertikaian, kontroversi, sensasi, disinformasi, spekulasi, konspirasi, irasionalitas. Informasi tak berkualitas jadi pengisinya. "Supermarket" keburukan digelar di area ini. Sebaliknya pada area kanan, memuat: pencapaian usaha, keberhasilan pendidikan, kemajuan riset, tips & trick produktivitas, nasihat hidup bermoral dan etis, kisah sukses dan ketokohan, sejarah obyektif. Sisi yang memuat dunia berkeadaan baik-baik saja. Dunia yang layak dihuni.
Namun lantaran dianggap sebagai normalitas kehidupan, tak mengancam dan tanpa kejutan, kehadirannya tak perlu memperoleh prioritas perhatian. Karenanya perhatian lebih berpeluang jatuh pada informasi area kiri bawah. Negatif tapi langka.
Implikasi upaya produksi dan distribusi informasi ~dengan berpijak pada formula attention economy ini~ mengantar manusia era sekarang memandang dunia sebagai tempat yang buruk. Perhatian yang hanya tertuju pada informasi yang negatif tapi langka, membiaskannya dari harapan yang dapat diraih. Dunia baik-baik saja memang terus diupayakan, tapi kalah perhatian dibanding yang buruk.
Brooke Auxier, 2020, dalam "64% of Americans say social media have a mostly negative effect on the way things are going in the U.S. today", ~dengan mengutip penelitian Pew Research Center pada 13-19 Juli 2020~ mengkonfirmasi keadaan di atas. Sedikitnya 2/3 warga Amerika menyebut media sosial memiliki efek negatif terhadap keadaan di negara itu. Hanya satu dari sepuluh orang yang mengatakan adanya efek positif. Sementara hanya satu dari dua puluh lima orang, mengatakan platform ini tak punya efek positif maupun negatif.
Dunia yang tampak sakit, bukan lantaran dunianya benar-benar sakit. Realitas terformulasi yang jadi penyebabnya. Perhatian yang berhasil terserap tanpa sisa, membiaskan pemaknaan pada dunia. Pengguna media sosial jadi korban sukarelanya. Seluruhnya lantaran, hidup tercuri formula attention economy.
Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital dan Pendiri LITEROS.org.
(rdp/rdp)