Jakarta -
Pada peringatan Hari Santri Nasional ke-10 yang jatuh pada 22 Oktober, pesantren mengalami peningkatan mutu dan jumlah. Meski demikian, dinamika eksistensi pesantren tidak selalu diwarnai perkembangan yang positif. Lantas bagaimana menyikapinya?
Biasanya semakin banyak entitas, maka akan semakin banyak manfaat. Apakah hal demikian berlaku juga untuk pondok pesantren? Menurut data dari Kementerian Agama 2022, jumlah pondok pesantren di seluruh Indonesia mencapai 36.600. Jumlah yang fantastis dan masih potensial untuk bertambah.
Secara historis, keberadaan pesantren telah lama berdiri jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Lembaga Pendidikan Islam tersebut sejak awal berfungsi sebagai tempat persemaian akhlak masyarakat serta memberikan bekal ilmu agama kepada mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memasuki masa menjelang kemerdekaan, pondok pesantren bertambah fungsinya sebagai tempat penggemblengan para pejuang yang ingin merebut kemerdekaan dengan bekal ruhani keagamaan. Maka tidak heran banyak pahlawan bangsa juga menyandang status sebagai kiai atau santri.
Salah satu pondok pesantren tertua yang pernah tercatat ialah Pesantren Tegalsari yang didirikan oleh Kiai Agung Muhammad Besari pada awal abad ke-18 di Ponorogo, Jawa Timur. Pesantren ini terkenal mencetak generasi emas yang gemilang, seperti H.O.S Tjokroaminoto dan Raden Ronggowarsito.
Para sunan yang tergabung dalam Wali Songo sebenarnya juga mendirikan pesantren, tetapi hanya sekadar berbentuk padepokan atau surau. Sementara itu, baru pada era Tegalsari, pesantren memiliki wajah baru dengan sistem semi sekolah yang sistematis.
Peran
Dawam Rahardjo melihat eksistensi pondok pesantren dengan penuh kearifan. Dalam bukunya Pesantren dan Pembaharuan (1983), ia menyebut pesantren sebagai lembaga pendalaman ilmu agama Islam yang berfungsi memelihara, mengembangkan, menyiarkan, dan melestarikan Islam.
Selain itu, pesantren juga berperan memberikan pendidikan mental dan amal bakti sosial. Bahkan, dampaknya lebih dirasakan oleh masyarakat kelas bawah. Hal ini dia analisis Ketika jumlah pondok pesantren tidak membludak seperti saat ini.
Kemudian seiring berkembangnya zaman, apakah pesantren masih relevan di samping jumlahnya yang sangat banyak? Di samping itu banyak pemberitaan negatif dari pesantren yang harus menerapkan nilai keislaman justru ada kekerasan di dalamnya. Dari sini mulai muncul efek bola salju terhadap eksistensi pondok pesantren. Bagaimana pun kita harus menyikapi secara bijak serta tidak melibatkan tendensius apa pun.
Kita harus melihat fenomena kelahiran massal pesantren sebagai sebuah anugerah dengan misi utamanya menyempurnakan akhlak masyarakat yang berbasis nilai keislaman. Selanjutnya, perlu disadari bahwa kondisi masyarakat majemuk di Indonesia melahirkan beragam jenis pesantren.
Pesantren di Indonesia secara umum terbagi menjadi dua, yaitu salaf dan modern. Masing-masing memiliki corak yang khas. Salah satu ciri yang menonjol ialah pesantren salaf dengan kurikulum pengkajian kitab kuning yang lebih dominan dari pada materi umum. Sebaliknya, pesantren modern lebih mengunggulkan materi umum dibanding kajian kitab kuning, karena dirasa untuk modal realitas menghadapi kehidupan sosial saat ini.
Meski demikian, tidak bijak apabila membandingkan keduanya untuk ditentukan siapa yang paling unggul, sebab keduanya mempunyai keistimewaan yang berbeda. Adapun pelopor pesantren salaf di Indonesia belum bisa diklaim karena saat itu belum ada catatan sejarah yang mutlak. Namun, pesantren modern pertama kali dicetuskan oleh Pesantren Thawalib di Sumatera dan Pesantren Gontor di Jawa.
Citra
Pesantren sejak lama telah menjadi sorotan banyak kalangan, bahkan akademisi luar negeri. Sebut saja antropolog asal Amerika Serikat, Clifford Geertz, sampai menulis buku khusus tentang keunikan pesantren dalam karyanya berjudul The Religion of Java (1960). Meski Geertz hanya mengambil sampel objek penelitian di Jawa, tidak menutup kemungkinan bahwa tradisi pesantren di Indonesia pada umumnya memiliki kemiripan. Hal ini disebabkan tradisi berguru para kiai yang tidak terikat batas geografi.
Hubungan antara guru (kiai) dan murid dalam lingkungan pesantren berbeda dengan sekolah formal umum. Mereka hidup 24 jam di dalam lingkungan yang sama, sehingga menciptakan iklim kekerabatan dan keberkahan. Namun, sungguh disayangkan ketika melihat fakta hari ini tentang pemberitaan pesantren secara negatif. Ada pimpinan pesantren yang melecehkan santrinya, ada perkelahian di dalam pesantren yang sampai merenggut nyawa, hingga ustad yang mengajarkan aliran sesat.
Hal demikian merupakan efek samping dari jauhnya pengawasan orangtua kandung terhadap anaknya, dan salah menitipkan anaknya ke pesantren yang kredibel, baik secara sanad (genealogi) keilmuan agama yang jelas serta rekam jejak kiainya. Oknum pimpinan pesantren yang nakal akan memanfaatkan kesempatan tersebut demi kepuasan pribadi. Di sinilah peran penting pemerintah harus mengawasi dengan ketat dan memberikan izin pendirian pesantren dengan bijak.
Masalahnya, masyarakat awam akan melihat 'nila setitik rusak susu sebelanga; terhadap pesantren yang terbukti melenceng. Lebih parah lagi, mereka bisa saja terpicu untuk antipati terhadap ajaran Islam. Padahal pada prinsipnya, pesantren tidak pernah bertujuan untuk menjebak masyarakat apalagi merusak generasi penerus.
Jika dibandingkan dengan sekolah umum, pesantren lebih membantu seluruh elemen masyarakat. Lihat saja pembangunan pesantren pasti melibatkan tukang di wilayah sekitarnya, atau para elite politik yang hendak berkontestasi pasti akan merapat ke pesantren, meskipun sekadar meminta 'restu'.
Benar apa yang disiratkan oleh pepatah Arab, "Apabila mata orang yang cinta, maka dia akan melihat segala sesuatu dengan cinta. Namun, jika mata orang yang murka, maka dia akan melihat apa pun penuh dengan kebencian."
Abdurrahman Addakhil santri
(mmu/mmu)