Jakarta -
Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang sudah dirintis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sejak 2018 akhirnya terwujud melalui implementasi Coretax sejak 1 Januari 2025. Persiapan implementasi sudah dilakukan sejak pertengahan 2024 melalui berbagai sosialisasi dan edukasi kepada para Wajib Pajak.
Sejak dirilis, implementasi Coretax ternyata penuh dinamika dan menghadapi banyak kendala yang memicu kritik dari para Wajib Pajak. Kegagalan koneksi, masalah dalam penerbitan Faktur Pajak dan pembuatan Bukti Potong pajak, kesulitan verifikasi dan otorisasi data melalui aplikasi Coretax adalah sebagian masalah yang sering dikeluhkan Wajib Pajak dalam satu bulan terakhir.
Kritik terhadap Coretax bahkan sampai memicu pihak tertentu melaporkan ke aparat penegak hukum tentang dugaan adanya unsur pelanggaran hukum dalam pengadaannya. Beberapa pihak menilai biaya pembuatan aplikasi Coretax tidak seimbang dengan hasil dan manfaat yang diperoleh, terlebih ketika implementasinya di lapangan menghadapi banyak kendala.
Dugaan ini tentu saja mencerminkan ekspektasi tinggi masyarakat terhadap transparansi dan efisiensi penggunaan anggaran negara. Namun, mengutip pernyataan berbagai pihak terkait Coretax di media dan media sosial, pembangunan Coretax dari awal sebenarnya sudah melibatkan unsur aparat penegak hukum serta unsur pengawasan internal dan eksternal Kementerian Keuangan.
Lima Prinsip Dasar
Berbagai proses bisnis administrasi perpajakan mengalami perubahan, perbaikan, dan rancang ulang dalam sistem Coretax. Sebagai gambaran umum, ada lima prinsip dasar Coretax yang perlu dipahami oleh seluruh Wajib Pajak. Pertama, Coretax adalah aplikasi administrasi perpajakan berbasis web (web-based application) yang dapat diakses kapan dan di mana saja. Coretax dirancang dapat memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi Wajib Pajak untuk memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya.
Kedua, Coretax mendorong akurasi data perpajakan melalui mekanisme validasi. Sistem ini mengandalkan uji validitas dengan penyedia data pihak ketiga. Dalam proses registrasi misalnya, data Wajib Pajak divalidasi langsung dengan data Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri. Ketiga, Coretax menganut prinsip otomatisasi, di mana proses administrasi perpajakan dirancang berlangsung secara otomatis. Beberapa layanan perpajakan yang berlangsung secara otomatis diantaranya pembuatan kode billing, pemindahbukuan dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Keempat, Coretax menganut prinsip integrasi dan interkoneksi dengan data dari berbagai instansi resmi yang saling terhubung satu sama lain. Dalam metode pembayaran misalnya, sistem terhubung penuh dengan sistem eksternal sehingga pembayaran dari Wajib Pajak dapat segera tercatat di Coretax. Kelima, Coretax adalah bentuk implementasi digitalisasi dalam dunia perpajakan Indonesia. Dengan Coretax, administrasi perpajakan yang selama ini masih dilakukan secara manual beralih ke sistem digital.
Beberapa kemudahan dengan adanya Coretax antara lain Wajib Pajak dapat mendaftar di kantor pajak mana pun di seluruh Indonesia, adanya akun Wajib Pajak yang dapat digunakan untuk mengecek pembayaran pajak yang sudah dilakukan, proses permohonan pemindahbukuan yang lebih cepat dan akurat, serta restitusi pajak dalam batas tertentu yang lebih mudah dan sederhana.
Dengan adanya Coretax, penerbitan Faktur Pajak fiktif yang selama ini masih sering ditemukan dapat dicegah. Coretax juga memudahkan Wajib Pajak melaporkan SPT Tahunan mulai tahun depan (2026) karena seluruh Bukti Potong Pajak Penghasilan (PPh) yang sudah dibayar sudah tersedia dalam sistem. Bukti Potong PPh ini menjadi faktor pengurang (Kredit Pajak) yang sangat menentukan berapa nilai akhir pajak terhutang yang ditanggung oleh Wajib Pajak.
Coretax dirancang dapat berjalan secara terintegrasi dengan berbagai data dan aplikasi dari pihak eksternal --dalam dunia pengembangan aplikasi hal ini dikenal dengan konsep interoperabilitas. Secara sederhana, interoperabilitas adalah standar dan mekanisme yang memungkinkan data mengalir di antara berbagai sistem dengan intervensi manusia yang minimal.
Interoperabilitas memungkinkan berbagai sistem untuk saling berkomunikasi dan berbagi informasi dalam waktu yang bersamaan (real time). Konsep ini tentu saja sangat berguna dan penting dalam konteks akurasi dan validitas data. Namun, di sisi lain, prinsip ini memiliki kelemahan terutama ketika semua aplikasi yang saling terhubung tidak berjalan sempurna.
Adanya gangguan pada sistem AHU Online misalnya, otomatis pendaftaran Wajib Pajak Badan pada aplikasi Coretax mengalami kendala. Demikian pula ketika ada gangguan pada aplikasi data Dukcapil akan menyebabkan proses pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi terganggu karena proses validasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak dapat dilakukan. Kendala dan gangguan seperti inilah yang membuat aplikasi Coretax tidak selalu dapat berjalan sesuai rencana dan rancangan awal.
Kemudahan dan Keamanan
Implementasi Coretax ditujukan untuk memberikan kemudahan dan keamanan bagi Wajib Pajak memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Dalam pengembangan aplikasi berbasis internet, kemudahan dan keamanan adalah dua sisi mata uang. Coretax dirancang untuk kemudahan, tetapi tetap tak boleh mengabaikan aspek keamanan. Sesuai amanat Undang-undang Perpajakan, DJP wajib menjaga kerahasiaan data Wajib Pajak.
Pada Coretax terdapat proses verifikasi dan validasi yang cukup ketat, antara lain verifikasi nomor handphone dan alamat email, kode otorisasi serta pengenalan wajah (face recognition). Dalam praktik, hal ini menimbulkan kesan seolah-olah pengembangan aplikasi Coretax tidak memperhitungkan faktor kemudahan dan justru menyulitkan Wajib Pajak. Dalam konteks UU perpajakan, hal ini sebenarnya dilakukan semata-mata sebagai upaya DJP memastikan kerahasiaan data Wajib Pajak tetap terjaga.
Coretax bisa saja dirancang sangat mudah diakses, tetapi ancaman keamanannya menjadi tantangan tersendiri. Pada tahap awal implementasi Coretax, terbukti bahwa verifikasi dan validasi sangat ketat ini ternyata menjadi salah satu kendala, terlebih ketika data perpajakan Wajib Pajak dan data eksternal terkait belum sepenuhnya valid dan akurat.
Proses administrasi perpajakan dalam Coretax juga sangat memperhatikan aspek hukum karena pajak mutlak berdasarkan Undang-undang. Itulah sebabnya, dalam proses pelaporan SPT Tahunan misalnya, DJP menerapkan MFA (Multi-Factor Authentication) guna memastikan pelaporan SPT dilakukan oleh orang yang dapat divalidasi keabsahannya.
Beberapa rilis dan pengumuman dari DJP menunjukkan bahwa berbagai kendala Coretax sudah ditangani dan terus diperbaiki. Harapannya tentu saja berbagai dinamika dan tantangan implementasi Coretax dalam periode transisi segera diatasi agar dapat digunakan seluruh Wajib Pajak secara optimal, apalagi mengingat aplikasi Coretax memang dirancang untuk dapat digunakan dalam jangka panjang.
Irwan Harefa, S.E, M.Ak pegawai Kementerian Keuangan; tulisan ini opini pribadi
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu