Jakarta -
Kasus korupsi dana corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) mengalir jauh sampai DPR. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai dana CSR senilai triliunan rupiah mengalir ke Komisi XI DPR yang membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, moneter, dan sektor jasa keuangan tersebut.
Terkait itu, anggota DPR Fraksi Partai NasDem, Satori, dan anggota Komisi XI dari Fraksi Gerindra Heri Gunawan telah diperiksa KPK pada 27 Desember. Satori mengaku menggunakan dana CSR tersebut untuk kegiatan sosialisasi di daerah pemilihannya. Ia pun mengakui bahwasanya semua Komisi XI DPR ikut menerima dana CSR bernilai triliunan tersebut untuk pembiayaan program di daerah pemilihan masing-masing (detikcom, 28/12/2024).
Modus penyelewengannya yakni dana CSR yang diberikan ke politisi, dalam hal ini anggota Komisi XI DPR sebagai mitra BI, dilakukan melalui yayasan yang direkomendasikan oleh mereka. Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu juga menyebut dana yang diberikan ke yayasan diolah dengan beberapa cara, seperti memindahkan ke beberapa rekening lain, dan diubah menjadi aset dalam bentuk bangunan, kendaraan, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimanapun penyalahgunaan CSR ini menggelindingkan kerisauan publik betapa dana negara yang mengandung misi kemanusiaan justru disalahgunakan untuk kepentingan diri/kelompok. Dana CSR biasanya digunakan untuk pembangunan fasilitas publik kaum marjinal, untuk pemberdayaan masyarakat lewat berbagai program populis yang menopang kelayakan hidup masyarakat, dan lain sebagainya.
Ketika dana tersebut justru dikelola oleh politisi untuk memperkaya dirinya dan mewujudkan agenda politik pribadinya maka ini sebuah pengkhianatan mandat rakyat yang memalukan sekaligus menistai rakyat.
Mutualisme
Di benak publik pun muncul pertanyaan bagaimana mungkin BI difasilitasi dana CSR berjumlah fantastis, padahal lembaga ini bukanlah perusahaan. Bukankah dana jumbo yang dikelolanya itu bisa dengan gampang dibarter untuk menyelamatkan agenda lembaga? Tidak salah jika ada pihak yang menduga pengucuran dana CSR ke anggota DPR tersebut terkait dengan intensi menopang relasi mutualisme antara dua institusi tersebut.
BI memiliki kepentingan untuk menjaga "reputasinya" dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis agar tak mendapat kritik dan interupsi dari lembaga pengawas yakni DPR. Sedangkan DPR punya kepentingan untuk meraup dana guna pembiayaan politik para politisi. Bahkan hubungan ini sengaja dirawat untuk mengkapitalisasi kewenangan dan tanggung jawab yang melekat di tubuh kedua lembaga tersebut.
Tidak heran jika dana sosial sengaja ditingkatkan dari waktu ke waktu, karena di ruang itulah tersimpan deposit haram yang bisa dikapitalisasi untuk keuntungan masing-masing pihak. Berdasarkan Laporan Singkat Hasil Rapat Kerja (Raker) Komisi XI DPR dengan Gubernur BI terkait Pengambilan Keputusan Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI), dalam 10 tahun terakhir, pos anggaran yang memuat Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) meningkat drastis, dari Rp 154 miliar pada 2014 menjadi Rp 1,6 triliun pada 2024. Peningkatan dana dipicu oleh fenomena pandemi Covid-19.
Sungguh menyakitkan hati rakyat, di tengah krisis anggaran untuk pembiayaan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang selalu didengung-dengungkan pemerintah, masih ada penyelenggara negara yang serakah dan tak bertanggung jawab, merampok hak-hak rakyat tanpa ada rasa malu sedikit pun.
Bukan hanya itu, para wakil rakyat tersebut sebenarnya sudah sangat kaya dan mewah hidupnya sehingga tak perlu mengambil hak-hak rakyat yang susah. Bahkan anggota DPR yang bertugas selama lima tahun setelah masa tugasnya selesai, akan mendapatkan uang pensiun seumur hidup mulai dari Rp 3,02 juta sampai Rp 5,04 juta.
Dalam Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR RI No KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, besaran dana pensiun yang diberikan mencapai 60% gaji pokok. Setelah pensiun anggota DPR juga akan mendapatkan tunjangan hari tua (THT) sebesar Rp 15 juta, meski hanya dibayar satu kali. Belum lagi gaji dan berbagai tunjangan yang didapat setiap bulan semasa aktif bekerja yang mencapai Rp 54.051.903 setiap bulan.
Tak adil
Memang ada semacam ketidakadilan yang ditunjukkan oleh pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk kesejahteraan rakyat. Bandingkan dengan anggaran untuk kesejahteraan guru dan dosen yang tidak serius diperhatikan. Anggaran tunjangan kinerja (tukin) untuk dosen khususnya dosen aparatur sipil negara (ASN) yang dinanti-nantikan selama 5 tahun saja tak kunjung dicairkan sampai detik ini.
Bandingkan dengan tukin para hakim yang setelah diprotes oleh para hakim se-Indonesia, langsung disetujui oleh pemerintah pada Oktober lalu dengan kenaikan hingga 100 persen. Bahkan kenaikan Tukin Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Keuangan mencapai 300 persen. Tidak sebanding dengan tunjangan pada profesi lain.
Negara seperti tidak serius memperhatikan pembangunan pendidikan. Padahal pendidikan, khususnya kesejahteraan tenaga pendidik, adalah kunci utama untuk menjadikan bangsa ini memiliki sumber daya manusia yang berkualitas demi menopang kemajuan dan kesejahteraan bangsa, termasuk untuk mengantar bangsa ini menjadi "macan Asia", seperti yang cita-citakan oleh Presiden Prabowo Subianto. Kecuali pemerintah memang ingin rakyatnya terus pandir, agar mudah disetir dan diperalat oleh para elite-nya.
Rakyat mendesak KPK untuk mengusut tuntas dugaan mega-korupsi dana CSR BI termasuk yang mengalir ke DPR. KPK tidak boleh takut membuka fakta yang sebenarnya, sekalipun kelak harus mengambil risiko, berhadapan dengan pejabat berpengaruh. Melalui KPK, Presiden Prabowo mungkin tak perlu jauh-jauh mengejar koruptor hingga ke antartika, sebagaimana janjinya selama ini. Kejar dulu para koruptor yang ada di "antara kita", dalam hal ini para oknum pejabat di BI, termasuk politisi di Senayan, serta elite atau pejabat-pejabat lain yang diduga terlibat.
Kasus perampokan dana CSR tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan. Karenanya, perlu dilakukan audit menyeluruh terhadap anggaran program sosial, baik dalam aspek transparansi maupun akuntabilitas pengelolaan anggarannya, apalagi untuk dana yang jumlahnya besar dan terkait dengan kepentingan masyarakat banyak.
Pengawasan terhadap dana-dana sosial harus diperkuat secara sistemik. Anggota DPR punya andil besar di sini. Mereka diberikan amanah oleh rakyat untuk melakukan pengawasan berjamaah terkait peruntukan dana sosial seperti CSR. Bukan malah ikut menjadi bagian dari penyalahgunaan dana demi memenuhi syahwat kepentingan diri. Ini tentu sebuah alarm serius bahwa praktik korupsi anggaran yang mengatasnamakan program sosial terus merebak dan mengancam masa depan rakyat.
Umbu TW Pariangu dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu