Budaya Traktir Saat Resign yang Bikin Boncos

3 weeks ago 12

Ruang kerja milik Ronni di kantor nampak berbeda dari hari biasanya. Di meja kubikal berwarna krem itu biasanya tergeletak berbagai perkakas penuntas deadline, termasuk kertas sticky notes warna warni yang sengaja Ronni tempel di sekelilingnya. Namun sekarang meja kerja Ronni diramaikan dengan berbagai makanan, ada puluhan nasi bakar, martabak manis, donat, brownies, beserta kopi kemasan.

Bak bazaar kuliner di pasar, satu per satu rekan kerja Ronni mulai menggerubungi meja kerjanya. Tidak lupa mereka berterima kasih kepada Ronni karena telah menjadi donatur alias penyumbang makanan di jam-jam rawan ngantuk para pegawai kantoran. Selanjutnya mereka sempatkan berfoto bersama, bersalam-salaman dan mengucapkan kata-kata perpisahan untuk Ronni. Laki-laki berusia 28 tahun itu sedang merayakan hari terakhirnya bekerja di kantor yang sudah menaunginya selama 4 tahun.

Di balik kemeriahan ‘pesta’ perpisahan Ronni, terselip perasaan sedih. Gaji terakhir yang ia terima dari kantornya yang terletak di Kelapa Gading, Jakarta Utara itu dikuras untuk mentraktir rekan satu kantor. Totalnya kurang lebih ada sekitar 30 karyawan yang bekerja di sana. Kebiasaan traktir jelang resign sudah menjadi budaya di kantornya. Acara perpisahan menjadi ajang bagi karyawan kantor yang akan segera resign untuk merayakan kebersamaan sekaligus sebagai bentuk ungkapan terima kasih atas kerja samanya selama ini.

“Di kantor saya acara traktir sering banget. Nggak cuma traktir resign tapi ulang tahun juga, setiap bulan ada aja bagi-bagi makanan. Semakin tinggi jabatannya, traktirannya juga makin gede. Kalau manajer ada yang resign traktir makan di luar, kita sambil karaokean,” kata Ronni yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Ronni memilih pengunduran diri karena ia sudah merasa tidak betah dengan suasana di kantornya yang bergerak di bidang industri fashion. Selain itu Ronni juga sudah mendapatkan pekerjaan yang lokasinya lebih dekat dengan rumahnya di Jelambar, Jakarta Barat. Sejak sebelum pamitan, Ronni sudah ditodong oleh rekan kerjanya. “Ditunggu ya farewell party-nya,” ucap salah satu rekan kerja Ronni seraya tersenyum.

Sulit bagi Ronni untuk menghindar dari budaya yang sudah mengakar di kantornya. Karyawan yang merasa terbebani pun hanya bisa diam saja. Jika ada rekan kerjanya yang mentraktir resign dengan budget pas-pasan, ujung-ujungnya hanya menjadi bahan omongan saja. “Waktu itu ada satu mantan karyawan bawain gorengan doang, mungkin keuangan dia lagi cekak banget, mana belum gajian. Eh, malah jadi bahan omongan satu divisi. Bukannya happy malah takut jadi bahan gibahan orang se-kantor,” cerita Ronni.

Salah satu yang mengalaminya adalah pengirim kisah anonim di akun Twitter @hrdbacot. Ia mengaku sebagai pegawai yang akan mengundurkan diri mulai pertengahan bulan Mei mendatang.

"Bayarin makan orang sekantor 50 orang, bayarin divisi di cabang 20 orang, bayarin divisi di area 15 orang (3 kali tempat berbeda)," ujarnya.

Entah dari mana asal muasalnya, kebiasaan mentraktir rekan sejawat ini seolah sudah menjadi peraturan tidak tertulis di sebagian perkantoran. Walaupun tidak ada keharusan bagi mereka untuk melakukannya, semua itu tetap dilakukan baik secara sukarela dan ikhlas maupun yang merasa terbebani.

Situasi serba salah pernah dihadapi oleh seorang pengguna akun X saat hendak hengkang dari kantor lamanya. Jika dijumlahkan, ia harus mentraktir sebanyak 85 orang sebelum resign. Saking galaunya, keluhan ini sempat ia tanyakan melalui fitur Direct Message kepada akun X @hrdbacot, akun yang mempertemukan keluh kesah karyawan kantor seantero nusantara.

“Mincot, jadi aku tuh mau resign tengah bulan depan. Nah masalahnya tradisi kantorku itu perpisahannya banyak banget. Bayarin makan orang sekantor 50 orang, bayarin divisi di cabang 20 orang, bayarin divisi di area 15 orang,” keluhnya.

Cuitan ini langsung mengundang berbagai respon dari pengguna X. Tidak sedikit yang ikut merasa dirugikan akibat adanya budaya traktir jelang resign ini. “Ngasih traktir pas mau resign sebenarnya nggak perlu. Alasannya? Karena kita sudah mau cabut, ngapain masih kasih traktiran dan belum tentu hubungan kita masih baik dengan mereka setelah kita cabut,” cuit pemilik akun @deddyhuang.

Tidak semua tempat kerja memiliki budaya seperti demikian. Yang dialami Yuni Arminta di kantornya justru berbeda. Di kantornya yang terletak di Kemang, Jakarta Selatan, para rekan kerja yang mesti patungan untuk mentraktir mereka yang akan resign. Seperti saban hari ketika ada rekan di divisi Yuni yang mengundurkan diri, setiap orang menyetor uang Rp 25 ribu untuk menjajani makanan atau camilan favorit karyawan yang resign.

“Kalau ada acara apa-apa pokoknya kita patungan ramai-ramai ber-20 jadi lebih ringan. Kemarin uangnya kita beliin bahan buat masak spaghetti di pantry kantor. Malah masih ada sisa uang buat beli minuman di supermarket,” kata Yuni. Ia paling enggan jika diminta menggeluarkan uang untuk meladeni budaya traktir saat resign. “Apalagi kalau sampai maksa harus traktir sampai bela-belain pakai kartu kredit, gua sih ogah banget ya,” pungkasnya.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial