Jakarta -
Terlepas dari pro dan kontra, UU No.6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada dasarnya memang ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja. UU Cipta Kerja didesain untuk meningkatkan kemudahan dalam berbisnis melalui penyederhanaan birokrasi dan perizinan. Selain itu, UU Cipta Kerja juga diharapkan mendorong pemberdayaan dan peningkatan kapasitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Bagaimanapun UMKM adalah tulang punggung perekonomian nasional. Bahkan menjadi penyelamat dalam menghadapi berbagai krisis seperti pandemi Covid-19 yang lalu.
Inovasi yang diberikan UU Cipta Kerja untuk membuat UMKM menjadi next level adalah dengan adanya Perseroan Perorangan atau PT Perorangan yang merupakan bentuk badan hukum untuk UMKM yang bisa didirikan oleh hanya satu orang tanpa besaran modal minimal. Menurut Kementerian Hukum dan HAM, ada 9 kelebihan PT Perorangan, yakni pendiriannya mudah, tanpa minimum modal, berbadan hukum, adanya pemisahan kekayaan antara pribadi dengan perseroan, mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kemudahan dalam mengajukan kredit, pendiri sekaligus pemegang saham, dan akan mendapatkan prioritas utama atas kebijakan pemerintah di sektor UMKM.
Terkait dengan PT Perorangan ini, dalam suatu perkuliahan, salah seorang mahasiswa S2 yang bekerja di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM menyampaikan, sejak UU Cipta Kerja disahkan, tercatat sudah ada 5000 orang yang membuat dan mendirikan PT Perorangan. Sebagaimana namanya cipta lapangan kerja (cilaka) sebelum diubah menjadi cipta kerja (ciptaker). Tetapi apakah hal tersebut dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan dan efektivitas UU Cipta Kerja dalam menciptakan lapangan kerja?
Dalam konsep pertumbuhan ekonomi, faktor pertumbuhan itu tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan dalam membuka usaha saja, tetapi juga harus disertai dengan kemampuan untuk menyerap tenaga kerja yang ada. Boleh saja orang berbondong-bondong membuat PT Perorangan, tetapi apakah 5000 orang yang mendirikan PT Perorangan tersebut secara otomatis akan menyerap tenaga kerja yang ada?
Sampai saat ini tidak ada riset yang menyatakan 5000 orang yang mendirikan PT Perorangan tersebut telah menyerap tenaga kerja yang ada. Sedangkan berdasarkan riset Populix yang disampaikan pada 24 Agustus 2024, 46% perusahaan justru kesulitan mendapatkan karyawan baru. Menurut Badan Pusat Statistik (2024), dari angkatan kerja tidak semua terserap di pasar tenaga kerja sehingga masih terdapat banyak pengangguran.
Bahkan, Presiden Jokowi di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia XXI & Seminar Nasional 2024 di Surakarta (19/9) menyampaikan, pada masa depan mencari kerja akan semakin sulit. Hal ini karena untuk membuka lapangan kerja terdapat tantangan berat yang dihadapi oleh semua negara yang disebabkan oleh: (i) perlambatan ekonomi global; (ii) peningkatan otomasi diberbagai sektor kerja; dan (iii) adanya gig ekonomi.
Lebih lanjut, berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) atau persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 5,32% yang berarti ada 7,86 juta pengangguran per Agustus 2023 dari total 147,71 juta angkatan kerja. Bahkan menurut Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, meski tren angka pengangguran turun, tetapi masih tergolong cukup tinggi jika dibandingkan dengan TPT negara maju yang hampir semuanya di bawah 4% seperti di Amerika Serikat (3,9%), Jerman (3,2%), dan Singapura (di bawah 2%) (detikcom, 30/4).
Artinya, percuma saja jika orang berbondong-bondong membuat PT Perorangan jika tidak disertai dengan penyerapan tenaga kerja. Tidak ada nilai pemberdayaan di sana jika hanya mendirikan PT Perorangan tanpa menyerap tenaga kerja. Padahal landasan filosofis dari UU Cipta Kerja adalah pemberdayaan.
Merujuk doktrin dari Anthony Allott dalam tulisannya yang berjudul The Effectiveness of Law pada 1981 yang diterbitkan oleh Valparaiso University Law Review, efektivitas hukum adalah bagaimana hukum dapat merealisasikan tujuannya atau dengan kata lain bagaimana hukum dapat memenuhi tujuannya. Berangkat dari teori Allott tersebut, maka UU Cipta Kerja masih belum efektif dalam menciptakan lapangan kerja.
Kalau hanya sebatas mendirikan badan usaha tanpa menyerap tenaga kerja, maka hal tersebut tidak bisa dikatakan menciptakan lapangan kerja. Membuat badan usaha harus disertai dengan penyerapan tenaga kerja, barulah bisa dikatakan telah menciptakan lapangan kerja.
Kalau hanya untuk mendirikan badan usaha, tanpa adanya UU Cipta Kerja dan PT Perorangan sekalipun seseorang juga sudah bisa mendirikan badan usaha dengan UU yang telah ada seperti UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, KUHD, KUHPerdata, dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Usaha Dagang (UD), CV, Firma dan sebagainya. Toh, selama ini dalam praktiknya, membuat PT juga tidaklah sulit.
Jika mendirikan PT itu sulit, maka otomatis jasa legalitas dan perizinan tidak akan bertaburan dimana-mana dengan penawaran harga jasa yang miring. Sekalipun di dalam peraturannya, UU No.40 Tahun 2007 mengatur minimal modal, tetapi dalam praktiknya tanpa modal pun orang bisa mendirikan PT, dan PT yang didirikan tersebut tidak mesti perlu aktif menjalankan usaha. Banyak orang yang mendirikan dan memanfaatkan PT bukan untuk berusaha, tetapi sebagai strategi untuk memitigasi risiko pajak.
Antara pribadi dan PT adalah dua entitas subjek hukum yang berbeda. Pasal 3 UU No.40 Tahun 2007 mengatur adanya pemisahan kekayaan dan tanggung jawab antara pribadi dengan PT sebagai badan hukum (separate legal entity). Hal yang sama juga bisa terjadi pada PT Perorangan. Mengingat PT Perorangan adalah badan hukum yang memisahkan kekayaan dan tanggung jawab antara pribadi dan badan hukum, bisa saja PT Perorangan dimanfaatkan oleh orang sebagai strategi untuk memitigasi risiko pajak, alih-alih menjalankan usaha dan menyerap tenaga kerja.
Fenomena inilah yang disebut dengan destina tantum pro factis non habentur atau maksud baik tidak serta-merta diikuti tindakan yang baik. Sekalipun das sollen dari norma-norma UU Cipta Kerja ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja, tetapi das sein atau faktanya tidak begitu.
Dari sisi tujuan (baca: menciptakan lapangan kerja), keberadaan UU Cipta Kerja masih "jauh api dari panggang". Hanya dari sisi perizinan, UU Cipta Kerja telah berhasil memangkas dan menyederhanakan perizinan. Dahulu sebelum berlakunya UU Cipta Kerja, untuk izin prinsipnya saja terdiri dari banyak dokumen seperti TDP, SKDP, SIUP, IUP, dan izin prinsip lainnya sesuai dengan bidang usahanya. Sedangkan pasca berlakunya UU Cipta Kerja izin prinsip itu cukup NIB saja.
Agung Hermansyah dan Alamsyah mahasiswa Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta
(mmu/mmu)