Apakah Ekonomi AS Terpengaruh pada Siapa yang Akan Jadi Presiden?

3 weeks ago 9

Jakarta -

Banyak waktu, tenaga, dan uang yang dihabiskan dalam pemilihan presiden dan pemilihan umum di Amerika Serikat (AS), tidak terkecuali penyelenggaraan tahun ini.

Namun, data sejak 2009 menunjukkan bahwa siapa pun yang berkuasa, ekonomi AS tampaknya sama-sama terdampak oleh peristiwa global, perkembangan demografis, dan keputusan yang dibuat oleh Gedung Putih.

Periode tersebut mulai dari 2009 hingga 2024, mencakup dua kali masa jabatan Barack Obama, ditambah satu masa jabatan Donald Trump dan Joe Biden, yang masa kepresidenannya akan segera berakhir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melihat kembali era Obama, Trump, dan Biden

Ada dua kendala utama bagi perekonomian AS selama periode ini. Yang pertama adalah krisis keuangan yang dimulai sebelum Obama menjabat pada Januari 2009, dan yang kedua adalah pandemi COVID-19 pada tahun 2029 di masa terakhir pemerintahan Trump.

Krisis keuangan membuat beberapa pihak khawatir akan runtuhnya seluruh sistem perbankan AS. Segera setelah itu, GM dan Chrysler, dua produsen mobil terbesar di AS, menyatakan kebangkrutan untuk menata ulang bisnis mereka. Pasar perumahan, khususnya hipotek, juga menjadi tidak terkendali.

Pandemi COVID-19 memiliki dampak yang nyata terhadap ekonomi AS dan global. Pembatasan publik, krisis pasokan makanan karena rantai pasokannya yang rumit dan penutupan perbatasan negara mengakibatkan banyak kematian, kekacauan ekonomi, dan hilangnya pekerjaan secara besar-besaran.

Namun, AS berhasil dengan cepat keluar dari kemerosotan pandemi dan melanjutkan pemulihan ekonominya, serta menciptakan pemulihan yang kuat.

PDB AS versus raksasa ekonomi lainnya

Salah satu masalah dalam membandingkan dampak yang dihasilkan oleh peran presiden AS dan kebijakannya adalah jeda waktu yang dibutuhkan agar keputusan itu menghasilkan suatu perbedaan.

Berinvestasi dalam infrastruktur atau industri seperti pembuatan chip dirasa perlu, tetapi manfaatnya baru akan terasa jauh di masa depan. Memperketat perbatasan dengan Meksiko juga mungkin dapat mencegah beberapa migran untuk masuk ke AS, tetapi dampak dari hilangnya pekerja justru lebih membutuhkan waktu dan berdampak pada harga-harga di supermarket.

Masalah lainnya adalah menilai dampak dari peran presiden itu secara terpisah dari keputusan yang dibuat bersama dengan para pembuat kebijakan di Kongres AS atau lembaga independen lain seperti Federal Reserve.

Sejak 1990, produk domestik bruto (PDB) per kapita AS tumbuh setiap tahunnya kecuali pada 2009, dan itu adalah efek lanjutan dari krisis keuangan. Tahun lalu, PDB per kapita negara ini mencapai lebih dari $81.000 (sekitar Rp1,26 miliar).

Pada saat yang sama, dalam hal persentase pertumbuhan tahunan per kapita, Cina dan India justru terlihat memiliki pertumbuhan yang lebih kuat. Meski tingkat pertumbuhan kedua negara itu lebih tinggi, PDB per kapita AS masih tiga kali lebih tinggi dibanding Cina, dan bahkan delapan kali lebih tinggi dibanding India.

Pada 2023, PDB AS secara keseluruhan mencapai $27,36 triliun (sekitar Rp426 triliun), menjadikannya negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Cina berada di urutan kedua dengan $17,66 triliun (sekitar Rp275 triliun), diikuti oleh Jerman dan Jepang di urutan ketiga dan keempat.

Pekerjaan bagi banyak orang

Beberapa bulan pertama masa kepresidenan Obama, angka pengangguran meningkat akibat krisis keuangan AS. Dari April 2009 hingga September 2011, angka pengangguran itu mencapai 9% atau lebih.

Setelah itu, tingkat pengangguran di AS perlahan merayap turun hingga mencapai level terendahnya sejak 1960-an, sebelum terjadi lonjakan singkat selama pandemi COVID-19, yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Tahun ini, tingkat pengangguran AS berada di kisaran 4%.

Di sisi lain, pekerja di AS memang lebih produktif dibanding pekerja di negara lain. Itu semua berkat dari inovasi, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, serta kemauan para pekerja untuk berganti pekerjaan atau pindah ke jenjang yang lebih baik.

Ketidaksetaraan upah di tingkat bawah

Masalah lainnya yang juga meningkat adalah ketidaksetaraan gaji atau upah di AS, negara yang paling tidak memiliki kesetaraan updah dalam kelompok G7. 1% orang Amerika memegang sebagian besar kekayaan negara.

Di Amerika Serikat, untuk masuk ke dalam 1% orang berpenghasilan tinggi dibutuhkan pendapatan rumah tangga tahunan sekitar $1 juta per tahun (sekitar Rp15,5 miliar) sebelum pajak. Sedangkan di Inggris, hanya dibutuhkan sekitar $250.000 (sekitar Rp3,9 miliar).

Gaji para bos perusahaan juga lebih dari 250 kali lipat dari rata-rata gaji karyawan mereka, tulis Obama dalam sebuah surat terbuka kepada penggantinya di The Economist pada Oktober 2016.

Selain itu, pada 1979, "1% keluarga kelas atas di AS menerima 7% dari seluruh pendapatan setelah pajak. Pada 2007, jumlah itu meningkat dua kali lipat menjadi 17%," tulis Obama lebih lanjut. Hal yang lebih positif lagi, proporsi orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem justru menurun.

Migrasi mengubah ekonomi AS

Migrasi tidak resmi di AS sangat sulit untuk diukur, tetapi migrasi yang tercatat mudah untuk dihitung. Salah satu ukurannya adalah jumlah kartu hijau yang diberikan pemerintah AS dari 2009 hingga 2022, di mana tercatat ada lebih dari 14 juta penerima.

Populasi kelahiran warga asing yang tinggal di AS, baik secara legal maupun tidak, telah berkembang pesat dalam lima dekade terakhir dalam hal jumlah dan pangsa populasinya, menurut laporan yang dikeluarkan oleh Biro Sensus AS pada April tahun ini.

Sementara pada 1970, terdapat 9,6 juta kelahiran pada penduduk asing. Di mana pada 2022, juga terdapat lebih dari 46 juta, atau hampir 14% dari total populasi warga AS.

Dari total keseluruhan, hampir sepertiga dari populasi kelahiran warga asing di AS terjadi pada 2010 atau setelahnya, dan setengahnya tinggal di empat negara bagian AS, seperti California, Texas, Florida, dan New York. Lebih dari setengahnya juga telah menjadi warga negara.

Inflasi tinggi menghantam AS

Sejak Januari 2009, inflasi telah meningkat pesat, lapor Indeks Harga Konsumen.

Ketika Obama mulai menjabat, inflasi berada di angka nol, lalu masuk ke wilayah negatif dan akhirnya naik ke level tertinggi 9,1% pada Juni 2022. September lalu, inflasi turun menjadi 2,4%, angka terendah sejak Februari 2021.

Periode inflasi yang relatif singkat ini memiliki dampak yang panjang dan telah menyebabkan kenaikan biaya hidup yang cukup besar bagi banyak warga AS.

Harga-harga konsumen naik, dan para pemilih sangat tidak senang akan hal itu. Ini adalah salah satu isu terpenting tahun ini dan dapat menentukan hasil pemilu di negara-negara bagian yang masih belum menentukan suara mayoritasnya. Ini juga merupakan salah satu hal yang paling sulit untuk dikendalikan oleh presiden manapun.

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris

(ita/ita)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial