Ancaman Kekuasaan Tanpa Oposisi

3 weeks ago 9

Jakarta -

Kolaborasi atau kerja sama. Itulah kata-kata magis presiden terpilih Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan. Misalnya, dalam pidato di Kongres Partai Nasdem beberapa waktu lalu, ia mengajak semua partai politik untuk bekerja sama. Bahkan ia berharap, tidak perlu ada oposisi.

Ajakan Prabowo tersebut bukan tanpa alasan. Baginya, oposan adalah pihak yang pasti tidak mau diajak bekerja sama. Dengan agak sinis, ia menilai para oposan itu sukanya gontok-gontokan. Prabowo pun mengimbau pihak-pihak yang pada akhirnya menolak kolaborasi, jangan mengganggu pemerintahannya.

Persepsi Keliru

Sepintas, imbauan Prabowo tersebut lumrah dan masuk akal. Tapi, kalau ditilik lebih jauh dan mendalam, secara inheren bermasalah. Pertama, benar bahwa kolaborasi tanpa oposisi memungkinkan roda pemerintahan berjalan dengan efektif dan tenang. Ada stabilitas di sana. Namun, pertanyaannya, kalau semua partai bergabung di koalisi, siapa yang akan memainkan peran korektif? Apakah fungsi pengawasan itu tidak perlu?

Mungkin presiden terpilih bisa berdalih bahwa peran korektif itu bisa dilakukan oleh partai-partai koalisi. Tapi, kalau merujuk ke pengalaman selama ini, peran dan fungsi pengawasan dari koalisi lebih seperti janji dan harapan yang utopis. Akan jauh panggang dari api. Dalam praktiknya, berkoalisi artinya bertransaksi. Jual beli kepentingan dan jabatan. Semua langkah politik koalisi akan bergantung kepada isi dan muatan transaksi itu. Dampak ikutannya, setiap keputusan pihak-pihak yang berkoalisi akan tergantung kepada kesepakatan tersebut.

Jika sikap kritis akan berdampak buruk pada kelanggengan kepentingan kekuasaan mereka, maka bersikap diam akan menjadi pilihan terbaik. Melempemnya sikap kritis dari internal koalisi, berpotensi akan memuluskan kekuasaan yang berjalan tanpa bisa dikendalikan.

Kedua, asumsi dan penilaian bahwa oposisi sebagai gangguan. Persepsi ini tidak sepenuhnya keliru. Kemungkinan peran dan sikap kritis kelompok oposisi itu jauh dari substansi masalah dan tidak objektif memang tetap terbuka. Bukan hal mustahil, dengan menghalalkan segala cara, para oposan berusaha merusak citra pemerintah.

Bahaya yang paling krusial dari tindakan oposan adalah memanfaatkan apa yang disebut Tom Nichols (2017) sebagai factoid. Yaitu, pernyataan palsu dan manipulatif yang disajikan seolah-olah sebagai fakta. Atau hoaks yang diklaim sebagai informasi yang sebenarnya.

Tentu saja, menyerang pemerintah dengan factoid, akan berdampak kepada kerusakan citra. Apalagi factoid itu bisa dengan mudah dan sekali klik disebarkan via berbagai platform media sosial. Lalu, ujungnya menjadi viral. Namun demikian, dengan rupa negatif tindakan politik oposan seperti itu tidak serta merta bisa disimpulkan bahwa keberadaan oposisi itu mengganggu. Problem factoid itu bisa dilawan dengan narasi, penjelasan, dan penyebaran informasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan data faktual.

Selain itu, berhadapan dengan masyarakat yang makin kritis, tentu saja akan bumerang bagi oposan kalau bertindak manipulatif dan mengada-ada. Pada prinsipnya, sama seperti pemerintah, para oposan tetap punya kepentingan untuk menjaga citranya sendiri di mata rakyat. Politik elektoral akan mendorong para oposan bersuara dengan cara dan data yang benar demi elektabilitas.

Keunggulan utama dari kelompok oposan adalah posisinya yang jauh lebih terbuka dan berani dalam menyampaikan kritik konstruktif dan objektif kepada pemerintah yang berkuasa. Sebab ia tidak terikat dan terkekang. Posisinya jauh lebih otonom, Bebas dari sandera kepentingan dan transaksi para elite koalisi. Dalam konteks kebebasan dan otonomi itu, fungsi oposan sebagai pengawal kebijakan pemerintah akan menjadi lebih orisinal dan bermutu. Apapun motif kritik dari oposisi, asalkan sesuai fakta dan hasilnya bermanfaat bagi publik, sah jika diklaim sebagai representasi suara dan aspirasi rakyat.


Bahaya Laten

Kekuasaan tanpa kehadiran oposisi menyimpan bahaya laten yang jauh lebih destruktif. Ia berpotensi menjelma menjadi kekuasaan yang dimonopoli para elite koalisi. Kompromi yang saling menguntungkan antarmereka membuat kontrol terhadap kekuasaan menjadi sangat lemah. Ia cenderung menciptakan lingkaran setan oligarki. Perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang menentang segala praktik penyalahgunaan kekuasaan negara,menjadi sangat minim. Ia menyumbat semua suara kritis.

Kelompok elite itu mengendalikan penentuan kebijakan sesuai selera mereka. Mayoritas sumber daya dan aset negara yang menguntungkan secara ekonomis akan dikeruk untuk memperkaya lingkaran kekuasaan mereka. Pada gilirannya, hasil dari penguasaan kekuatan ekonomi ini membantu mengukuhkan dan melestarikan dominasi politik.

Riset Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012) di banyak negara menunjukkan kekuasaan yang tidak bisa dikontrol akan mengarah kepada pemerintahan yang absolut. Demikian pun halnya dengan kekuasaan yang dibangun dari koalisi tanpa kekuatan penyeimbang. Seolah memberikan karpet merah bagi terbentuknya pemerintahan yang otoriter.


Mandatori

Merujuk kepada alur argumentasi di atas, jelas terlihat bahwa kehadiran kelompok oposisi sangat penting. Keberadaannya tidak bisa ditawar. Kekuasaan yang sehat adalah kekuasaan yang menawarkan, memelihara, dan menjamin hadirnya kelompok penyeimbang yang korektif dan konstruktif.

Mengapa kelompok penyeimbang itu harus dari institusi politik yang resmi? Sebab lembaga politik resmilah yang memiliki akses informasi dan data yang jauh lebih besar atau lebih mudah kepada lingkaran kekuasaan. Dalam konteks inilah kelompok oposan dari partai politik menjadi sebuah kebutuhan. Sifatnya mandatori.

Pada prinsipnya, demokrasi kita akan lebih sehat dan bermartabat bila ada partai yang mengambil pilihan oposisi. Ia bisa berdiri bersama dengan masyarakat sipil, mengawal dengan kritis, objektif, dan proporsional pemerintahan Prabowo-Gibran. Demi kemaslahatan rakyat.

Relly Jehato alumnus Filsafat STF Diryarkara

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial