Jakarta -
Ada 545 daerah yang akan mengikuti Pilkada 2024, di mana ada sebanyak 270 pilkada berpeluang diikuti oleh calon petahana. Calon kepala daerah yang kembali mengikuti pilkada harus berhati-hati karena berpeluang mendapatkan sanksi administraasi berupa diskualifikasi sebagai peserta pilkada.
Menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 terdapat dua jenis pelanggaran yang dapat menjerat calon kepala daerah petahana, yaitu mutasi ASN 6 bulan sebelum penetapan peserta pilkada dan menggunakan program pemerintah untuk kampanye. Sanksi tersebut tidak dapat menjerat calon kepala daerah yang bukan petahana karena tidak sedang memiliki kekuasaan pemerintahan.
Calon petahana berpeluang melakukan pelanggaran tersebut karena sedang menjabat sebagai kepala daerah. Sebagai kepala daerah, calon petahana memiliki kewenangan melakukan mutasi ASN. Tetapi, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pilkada melarang kepala daerah yang akan mencalonkan diri kembali di pilkada untuk melakukan mutasi ASN enam bulan sebelum penetapan peserta pilkada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, kepala daerah yang akan mencalonkan diri kembali tidak boleh menggunakan program pemerintah untuk tujuan kampanye atau tujuan meningkatkan elektabilitas. Sebagai calon petahana, kepala daerah memiliki kewenangan hak pengguna anggaran sehingga dapat menentukan bentuk dan jenis program yang akan dilaksanakan.
Kedua jenis pelanggaran tersebut yaitu mutasi ASN enam bulan sebelum penetapan calon pilkada dan pelaksanaan program pemerintah merupakan hal yang wajar dilakukan oleh kepala daerah. Tetapi, dengan adanya konteks mencalonkan diri di pilkada, calon petahana harus berhati-hati agar tidak salah mengambil kebijakan.
Pada Pilkada 2020 silam, terdapat 10 calon kepala daerah petahana yang melakukan pelanggaran administrasi sehingga mendapatkan sanksi diskualifikasi oleh Bawaslu. Sepuluh pilkada tersebut yakni Kabupaten Penggunungan Bintan, Halmahera Utara, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Kaur, Kutai Kertanegara, Nias Selatan, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Banggai, Ogan Ilir, dan Kota Bandar Lampung.
Berdasarkan hasil penyelidikan, Bawaslu memutskan bahwa 10 pelanggaran administrasi tersebut, 9 di antaranya adalah pelanggaran mutasi ASN enam bulan sebelum penetapan peserta pilkada dan penyalahgunaan program pemerintah.
Kebanyakan calon petahana melakukan pelanggaran administrasi karena kurangnya sosialisasi atau pengetahuan kandidat terhadap sanksi tersebut. Sehingga walaupun sudah dalam waktu enam bulan sebelum penetapan calon pilkada, calon petahana masih melakukan mutasi ASN.
Selain itu, ada juga calon petahana yang melaksanakan program pemerintah yang bersifat populis seperti pemberian dana hibah, wakaf tempat ibadah, dan pembagian sembako. Program pemerintah populis tersebut kemudian hari menjadi sumber gugatan lawan calon petahana setelah kalah pilkada.
Dua kondisi tersebut yaitu kurangnya pengetahuan terhadap sanksi diskualifikasi dan program pemerintah populis pada masa lalu dapat menjadi ancaman calon petahana mendapatkan sanksi diskualifikasi sebagai peserta Pilkada. Sering terjadi lawan calon petahana melaporkan kepada Bawaslu kasus pelanggaran tersebut setelah pemungutan suara dilaksanakan.
Calon petahana sebaiknya tidak melakukan mutasi ASN dan melaksanakan program pemerintah yang bersifat populis setahun sebelum tahapan pilkada dimulai untuk menghindari sanksi diskualifikasi. Selain itu, dengan tidak melakukan mutasi ASN dan program populis, pelaksanaan pilkada juga dapat berjalan dengan lebih jujur dan adil sehingga calon lain yang bukan petahana tidak dirugikan.
Calon kepala daerah petahana harus berhati-hati karena sanksi diskualifikasi sangat fatal bagi eksistensi calon. Sanksi diskualifikasi dapat membatalkan status kepesertaan calon petahana dalam pilkada. Bahkan sanksi diskualifikasi tersebut dapat membatalkan keterpilihan kandidat walaupun berhasil mendapatkan suara terbanyak dalam pemungutan suara.
Haekal Saniarjuna mahasiswa S3 Ilmu Politik UI
(mmu/mmu)