Terpukau dengan Wajah Baru Museum Nasional Indonesia

1 month ago 25

Ketika mencoba mengingat tentang Museum Nasional Indonesia (MNI) yang terletak di Jalan Merdeka Barat nomor 12, Gambir, Jakarta Pusat, pikiran saya berkelana ke masa 12 tahun lalu. Saat masih mengenakan seragam putih abu-abu, saya dan rombongan sekolah pernah melakukan karyawisata. Namun jujur saja, kunjungan perdana saya ke MNI kala itu terasa kurang berkesan sehingga membuat saya enggan kembali ke sana. Suram, kuno dan horror, tiga kata untuk mendeskripsikan pengalaman saya mejelajahi MNI kala itu.

Setelah lama tak menjejakan kaki di sana, saya dibuat tercengang saat mendengar kabar lewat media massa mengenai serangkaian insiden yang menimpa MNI di tahun 2023. Mulai dari plafon rubuh hingga peristiwa kebakaran pada Sabtu, 16 September 2023. Kebakaran menghanguskan enam ruangan di Gedung A. MNI mengalami sejumlah kerugian akibat kejadian itu.

Pahitnya kehilangan benda bersejarah yang tidak ternilai harganya akibat dilalap api dijadikan bahan pembelajaran sekaligus momentum bagi museum terbesar dan termegah di Asia Tenggara itu untuk berbenah diri. MNI tidak hanya memperbaiki fisik bangunan tapi juga melakukan reimajinasi agar keberadaan MNI dapat berdampak lebih besar. Supaya MNI tidak hanya didatangi oleh anak sekolah atau orang yang berkewajiban datang ke sana tetapi oleh masyarakat luas.

Sebuah konten mengenai MNI baru-baru ini masuk di lama FYP akun TikTok saya. Seorang content creator memperlihatkan sekilas pengalamannya menikmati wajah baru MNI pasca kebakaran. Sejak tanggal 15 Oktober 2024, museum yang menampung 196 ribu benda bersejarah ini sudah kembali membuka diri untuk kunjungan umum. Jauh dari kesan kuno dan bahkan kini menjadi spot incaran bagi anak muda untuk foto-foto dan bikin konten. Selayaknya angkatan Gen Z yang kerap FOMO dengan apapun yang sedang viral, saya memutuskan untuk memberi MNI kesempatan kedua.

Maskot MNI yaitu Arca Bhairawa berukuran gigantik setinggi 4,4 meter menyambut kedatangan saya di MNI Kamis lalu. Tampaknya masih sama seperti dulu, raut wajahnya yang penuh amarah dengan tangan kanan memegang pisau. Sosok penggambaran dewa raksasa dalam aliran sinkretisme Tantrayana ini digambarkan dalam wujud bengis dan menakutkan. Penampakan giginya yang panjang, mata melotot, sembari bediri di atas tumpukan manusia dan delapan tengkorak selalu sukses membuat pengunjung bernyali ciut seperti saya merasa tercekam.

Perhatian saya bergeser ke arah tatanan di sekitar area Rotunda Arca. Ruangan yang sebelumnya menampung lebih dari 200 arca kini hanya ditempati sekitar 40-an arca dari abad ke-8 sampai 15. Masuk lebih dalam, Taman Arca juga nampak lebih segar setelah memangkas 20-an arca menjadi 9 arca. Arca Nandi berupa lembu jantan, kendaraan Dewa Siwa, masih mengisi area tengah taman.

Secara garis besar, MNI kini terbagi dalam tiga zona gedung yang masing-masing memiliki tema pamernya sendiri. Gedung A menarasikan masa lalu penuh makna. Peninggalan prasejarah hingga masa kerajaan di Nusantara ditampilkan di gedung ini. Gedung B memiliki tema marwah Indonesia yang menampilkan perjuangan kolektif bangsa. Sementara Gedung C menarasikan tentang masa depan, berikut laboratorium konservasi budaya terbuka untuk memfasilitasi berbagai penelitian.

Gebrakan MNI untuk merenovasi museum sekaligus tempat cagar budaya ini tidak hanya terlihat dari tata letak yang lebih modern. MNI sebagai wadah presentasi visual memanfaatkan teknologi dan desain inovatif untuk memberi pengalaman yang lebih interaktif. Layar-layar sentuh ditunjang teknologi artificial intelligence (AI), berisi gambar, suara dan tulisan di setiap ruangan menggambarkan dengan amat baik mengenai masing-masing koleksi yang tersimpan di dalamnya.

Saya beruntung masih dapat menyaksikan persembahan dua pameran temporer pertama MNI yang hanya diselenggarakan hingga akhir tahun iniPameran pertama mengusung tema ‘Menabuh Nekara, Menyiram Api’, saya seolah diajak menelusuri perjalanan pemulihan MNI pasca kebakaran. Artefak yang hampir ludes dilahap api ikut dipamerkan. Warna merah menyala yang mendominasi ruangan ini bukan menggambarkan api, melainkan menyiratkan kekuatan untuk menyongsong era baru.

Sementara itu, pameran ‘Repatriasi: Kembalinya Warisan Budaya dan Pengetahuan Nusantara’ berada di Gedung B. Pameran ini menyoroti artefak-artefak yang berhasil kembali ke tanah air. Sebanyak 288 arca dan benda cagar budaya berhasil direpatriasi dari Belanda. Pengembalian benda-benda bersejarah ini meliputi arca Ganesha, arca Brahma, dua arca Candi Singosari, yakni arca Bhairawa dan Nandi serta 284 benda dari koleksi Perang Puputan Badung dan Puputan Tabanan.

Antrian mengular di salah satu sudut ruangan MNI berhasil mencuri perhatian saya. Rupanya mereka sedang mengantre untuk mencoba salah satu fitur interaktif yang paling digemari pengunjung MNI yaitu ‘Mengenal Paras Nusantara’. Fitur ini memanfaatkan kamera, pemindaian wajah, serta teknologi AI untuk mengidentifikasi anatomi wajah dan mencocokan asal usul, suku dan ras dengan 78 lukisan karya Raden Pirngadie tahun 1935.

Setelah menunggu selama 15 menit, akhirnya tiba giliran saya untuk mencoba fitur ini. Setelah wajah saya dipindai dengan kamera yang ada di layar kecil, proses pencarian kecocokan wajah dengan lukisan Pirngadie pun dimulai. Tak lama kemudian muncul foto wajah saya dengan foto wajah Suku Solo. Hasilnya saya memiliki kemiripan dengan Suku Solo. Meski tidak selalu akurat, banyak pengunjung yang ingin menjajalnya karena penasaran. Foto yang dipindai dengan lukisan yang dianggap cocok bisa dicetak dengan membayar biaya tambahan sebesar Rp 20 ribu.

Saya memilih mengakhiri kunjungan di MNI dengan mengisi sesi terakhir di Ruang ImersifA yang berada di Gedung A. Ruangan berukuran 12 x 12 meter persegi ini memiliki kapasitas hingga 30 pengunjung setiap sesinya. Pengunjung bisa masuk dan menonton video mapping 360 derajat yang didukung dengan 20 proyektor selama 30 menit. Teknologi video mapping belakangan ini kerap digunakan para pecinta seni untuk menciptakan pengalaman visual yang memukau dengan mengubah gedung, patung maupun struktur lain menjadi karya seni interaktif.

Dengan teknologi ini, saya dan pengunjung lain seolah-olah dibawa pergi menembus waktu dan ruang. Kami diajak menikmati keindahan alam dan kehebatan nusatara sejak zaman dahulu kala. Benda-benda serta apapun yang dijadikan obyek video mapping mengalami sentuhan ilusi optik sehingga seolah-olah muncul dan hidup di hadapan kita. Saya sempat dibuat kaget saat ada monster laut yang muncul di tengah badai. Ia seakan keluar dari layar dan tangan raksasanya siap menerkam kami yang ada di dalam ruangan itu. Sesi 30 menit berikut foto sepuasnya menjadi terasa sangat singkat.

Ada tambahan tiket masuk untuk menikmati ImersifA, yaitu sebesar Rp 35 ribu per orang untuk setiap sesinya. Sementara MNI dapat dikunjungi setiap Selasa-Kamis pukul 08.00-16.00 WIB dan Jumat-Minggu pukul 08.00-20.00 WIB. Sementara pada hari Senin dan hari libur nasional museum tidak beroperasi. Tiket masuk ke museum bisa dibeli secara offline dan online, harganya pun beragam. Anak-anak usia 3-12 tahun dikenai biaya Rp 15 ribu, dewasa Rp 25 ribu dan warga negara asing Rp 50 ribu.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial