Tantangan Pemenang Pilkada 2024

1 month ago 44

Jakarta -

Usai sudah pilkada serentak yang ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia yang tersebar di berbagai provinsi, kabupaten, dan kota. Sebentar lagi mereka akan memiliki gubernur, wali kota, dan bupati baru setelah beberapa bulan mereka dipimpin oleh Pj kepala daerah.

Di tengah masih adanya saling klaim ada dan tiadanya putaran dua Pilkada Jakarta, pelaksanaan pemilu lokal yang digelar berbarengan ini bisa terlaksana dengan lancar, tertib, dan aman. Meski di beberapa daerah ada penundaan pemungutan suara dikarenakan faktor bencana alam namun disebut tidak menimbulkan masalah yang berarti.

Tentu yang menang dalam pilkada, partai-partai politik dan masyarakat yang mendukungnya, bergembira ria. Jerih payah dalam masa kampanye yang terbilang cukup lama dan melelahkan, juga mengorbankan waktu dan harta, terbayar ketika jago yang didukung unggul dibanding rivalnya. Sementara yang kalah, pastinya mengalami kekecewaan. Usaha mereka selama ini seolah-olah tak berguna dan bisa jadi akan muncul gugatan-gugatan di pengadilan atas hasil perolehan suara.

Menghadapi dua kutub ini, Presiden Prabowo sebelum menggunakan hak suaranya di pilkada mengatakan menang dan kalah adalah hal yang biasa dalam pemilu. Dirinya meminta pasangan calon yang menang maupun kalah untuk bekerja sama. Ditegaskan, yang penting melayani rakyat adalah yang utama terlepas dari hasil suara di pilkada.

Ungkapan demikian disampaikan pastinya bertujuan agar rakyat Indonesia setelah pilkada kembali bersatu meski sebelumnya beda pilihan. Bagi pihak yang kalah, usai pilkada tentu urusan mereka selesai namun bagi pemenang, banyak tantangan yang mereka hadapi ketika menjadi kepala daerah, baik itu gubernur, bupati, dan wali kota.

Mereka menghadapi tantangan selama lima tahun bagaimana mengelola daerahnya agar berkembang, maju, memiliki keunggulan, serta mampu menciptakan suasana kondusif masyarakatnya. Di sini kepala daerah terpilih perlu memiliki kreativitas agar potensi yang ada di wilayahnya bisa tergali. Berbagai potensi yang ada perlu diangkat guna menambah tumbuhnya perekonomian agar proses pembangunan bisa tercapai sesuai dengan ambisi, visi, dan misi kepala daerahnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi pemenang yang didukung oleh partai yang terhimpun dalam KIM Plus, tidak dirisaukan dengan proses anggaran dan bantuan dari pusat untuk membangun daerahnya. Pemerintah pusat tidak curiga dengan pemerintah daerah yang segaris, yang didukung oleh KIM Plus. Sinergitas mereka sudah terjalin sejak mereka diusung hingga pemerintahan daerah itu berjalan lima tahun ke depan.

Hal demikian berbeda dengan pemenang pilkada yang tidak didukung atau tidak ada irisannya dengan KIM Plus. Pemerintah pusat meski secara hukum harus adil kepada seluruh daerah namun secara politik, ia bisa pilih-pilih. Daerah yang dirasa kepala daerahnya adalah 'orang-orangnya', pemerintah pusat akan menggelontor bantuan bahkan merawat daerah-daerah tersebut. Gelontoran bantuan dan merawat daerah tersebut sebagai 'investasi' untuk kepentingan politik, pilpres yang akan datang.

Hal demikian belum tentu dirasakan oleh daerah yang kepala daerahnya bukan KIM maupun irisannnya. Ada yang mengungkap susahnya pencairan dana dari pusat ketika kepala daerahnya bukan berasal dari partai yang sama dengan Presiden. Di sinilah kepala daerah beda partai harus beradaptasi dan pandai-pandainya membangun komunikasi. Ini penting sebab ia akan memakan buah simalakama, mempertahankan asal usul partainya atau beralih dukungan, menjadi kutu loncat partai, agar pembangunan, pencairan dana, dari pusat ke daerahnya tidak dihambat.

Hambatan ini tentu akan berpengaruh pada dinamika di daerah tersebut. Bila didiamkan akan berpengaruh pada proses-proses politik, ekonomi, dan kesejahteraan rakyatnya. Bila tak kuat berada dalam tekanan, banyak kepala daerah pindah partai. Di sinilah muncul kutu loncat dari kepala daerah.

Tantangan yang dihadapi oleh kepala daerah tak hanya masalah penting dan perlunya dukungan pemerintah pusat dalam membangun daerahnya namun mereka juga merisaukan modal yang telah mereka keluarkan untuk pilkada. Selama pilkada, pastinya calon kepala daerah mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Semakin besar wilayah, jumlah penduduk, dan partai yang mengusungnya, semakin besar pula uang yang dikeluarkan. Jumlah uang yang digelontorkan pastinya mencapai puluhan hingga ratusan miliar.

Uang meski bukan jaminan namun ia merupakan salah satu jalan untuk menang. Ada salah satu calon kepala daerah di mana tim suksesnya atau partai pendukungnya tidak melakukan sosialisasi atau kampanyenya gara-gara uang operasionalnya tidak turun.

Nah, setelah menjadi kepala daerah di mana mereka memiliki kekuasaan dan mengelola anggaran di daerah maupun bantuan dari pusat, di sinilah godaan itu muncul. Bila mereka terburu-buru agar modal yang telah dikeluarkan cepat kembali maka perangkap korupsi akan dimasuki. Di sinilah kelak akan banyak kepala daerah kena OTT KPK maupun Kejaksaan. Jangankan setelah menjadi kepala daerah, salah satu calon kepala daerah Provinsi Bengkulu mengalami OTT pada hari-hari mendekati coblosan.

Tantangan-tantangan inilah yang akan dihadapi oleh kepala daerah. Tantangan semakin berat bila kepala daerah tersebut bukan dari KIM dan irisannya.

Ardi Winangun Direktur Indonesia Political Review (IPR)

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial