Tanpa Sawit, Indonesia Mau Jadi Apa?

1 month ago 24

Jakarta -

Teriakan Doktor Sadino di depan 300-an mahasiswa USU (14/11) berbuntut panjang. Kalimatnya dipakai banyak pihak di Tiktok dan medsos lainnya sehingga viral di mana-mana. Rupanya, apa yang disampaikan itu bukan hanya karena diksinya yang menarik, namun juga sebuah jeritan jiwa dari jutaan manusia Indonesia.

"Tanpa Sawit, Indonesia mau jadi apa?" demikian ungkapan yang kemudian banyak dikutip berbagai media tersebut. Saat itu, Dr. Sadino, S.H, M.H, dosen Universitas Al Azhar Jakarta, menjadi pembicara dalam sebuah diskusi tentang sawit yang dihelat oleh Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), memberitahukan kepada hadirin bahwa pendapatan dari sawit sejak 2010 hingga saat ini senantiasa melebihi Rp 500 triliun per tahun.

Bahkan berdasarkan proyeksi Kementerian Perindustrian, nilai keekonomian kelapa sawit dari hulu hingga hilir pada tahun ini akan mencapai angka yang cukup fantastis, yakni Rp 775 triliun, atau meningkat Rp 25 triliun dibandingkan tahun lalu. Hal itu tentu suatu jumlah yang tidak main-main untuk keperluan pembangunan bangsa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari sisi pendapatan ekspor, sawit menempati urutan kedua setelah batu bara. Indonesia hingga saat ini masih sangat bergantung pada batu bara, minyak kelapa sawit atau CPO, serta besi yang menjadi backbone ekonomi sebesar 33,78%. Jadi bisa sangat dimengerti kalau teriakan Dr. Sadino di USU itu bukan sekadar suara lantang tanpa makna, namun mencerminkan sebuah kenyataan yang sangat sulit dinafikan.

Sejak 1980-an, Indonesia mulai mengembangkan tanaman asal Afrika itu secara masif di berbagai tanah yang sudah terdegradasi. Lahan-lahan yang dulunya bisa dibilang "tanpa guna" tiba-tiba menjadi hijau royo-royo dengan lambaian daun sawit. Kalimantan yang dulu "botak-botak" kembali disesaki pepohonan. Setelah 40 tahunan berlalu, hutan sawit pun merebak di mana-mana di seluruh Nusantara dengan luasan di kisaran 17 juta hektar, atau menjadi terluas di dunia.

Dan, uniknya, sawit membuat cuan terus mengucur, bukan hanya dari ekspor CPO saja, namun juga dari berbagai turunannya yang kini mencapai angka 200-an jenis. Bahkan, kalau diizinkan, kita sudah layak mengubah Indonesia dari negeri "nyiur melambai" menjadi negeri "sawit melambai".

Seiring dengan perkembangan sawit yang demikian masif, banyak daerah-daerah yang awalnya sering dibilang tertinggal mulai menggeliat. Kemakmuran merebak di banyak wilayah yang ditanami sawit. Bahkan, petani sawit kini banyak yang menyekolahkan anaknya di Jogja dan Malang atau bahkan ke luar negeri, dari S1 sampai S3, sebagai bagian berkah dari pohon sawit.

Lahan sawit pun kini banyak dikuasai oleh masyarakat atau seluas 41% dan memberikan penghidupan kisaran 18 juta anak bangsa baik yang terkait langsung atau tidak langsung dengan dunia persawitan.

Sikap 'Denial' dan Jalan Keluarnya

Uniknya, walaupun pohon sawit itu menjadi berkah bagi bangsa Indonesia dengan bukti-bukti yang jelas dan tidak bisa dibantahkan, namun kebencian terhadap sawit oleh sebagian kalangan seolah tidak ada obatnya. Dalam berbagai diskusi, baik secara akademis atau umum, tidak sedikit di antara mereka yang seolah mengatakan, "Tanpa sawit, Indonesia jauh lebih baik."

Dalih yang dituangkan sangat beragam mulai aspek lingkungan hingga masalah sosial kemasyarakatan. Dikatakan bahwa sawit di Indonesia telah memakan hutan-hutan yang ada, mengganggu biodiversitas, dan juga menimbulkan konflik sosial. Berbagai isu yang berkembang tersebut satu irama dengan tuduhan-tuduhan atau kampanye hitam yang dilakukan banyak negara maju, khususnya Eropa, yang dilakukan secara TSM (terstruktur, sistematis, dan masif).

Serangan tersebut semakin menggema saat Uni Eropa ingin memaksakan negara-negara pengekspor hasil sawit dan hasil kebun lainnya melalui undang-undang anti deforestasi atau yang dikenal dengan EUDR. Yang sulit saya pahami, di beberapa universitas terkemuka Indonesia, masalah sawit ini menjadikan mereka terbelah secara dikotomis dan sulit lagi dipertemukan. Bahkan mereka yang menolak sawit, ada yang sudah enggan untuk berdiskusi secara ilmiah dengan mereka yang mendukung sawit.

Mereka yang punya gelar tinggi dengan kapasitas daya nalar kelas pentium pun ada yang "membenci" dan "tidak menyukai" mereka yang mendukung sawit. Pokoknya seperti habis putus sama pacar. Akhirnya, segala pendapat mereka bertebaran di media yang kemudian mengimbas "perpecahan" di kalangan masyarakat khususnya mereka yang kurang suka membaca data-data dan hanya menelan apapun yang disampaikan oleh orang yang dianggap ahli.

Saya sendiri menjadi tidak paham terhadap dialektika di kalangan masyarakat tersebut. Di satu sisi, sawit memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi pembangunan Indonesia, namun di sisi lain banyak kelompok yang ingin mendepak keberadaan sawit. Saya juga belum bisa memahami kemungkinan sikap mereka ini manakala teriakan Doktor Sadino diungkapkan kepadanya secara langsung.

Doktor Sadino saat bertemu saya malah memberikan pernyataan yang lebih keras. "Kalau tidak ada sawit, bagaimana Indonesia mau bayar utang?" ujarnya.

Kalau saya cermati, sawit kita ini lebih memiliki dua sisi masalah utama, yakni urusan persaingan perdagangan internasional dan adanya oknum-oknum yang memang kurang patuh terhadap hukum dalam mengembangkan sawit sehingga terjadi kerusakan alam. Pengendalian masalah dalam bentuk aturan moratorium deforestasi yang diperlakukan sejak 2018, seolah tidak menjawab kekhawatiran terhadap masalah yang ada.

Bagi saya, menyalahkan pohon sawit adalah tindakan yang kurang bijak. Bukan kewenangan manusia untuk menyoal keberadaan sawit. Seperti layaknya keberadaan tanaman padi yang juga pada hakikatnya ikut menggerus keberadaan hutan pada masa lalu namun tidak pernah dipermasalahkan.

Mengenai perdagangan internasional bisa diatasi dengan negosiasi yang tangguh dari waktu ke waktu. Sedangkan masalah pelanggaran hukum, diselesaikan dengan penegakan rule of law, bukan penegakan hukum untuk kepentingan tertentu. Dengan dua pendekatan itu saya kira tidak akan ada lagi teriakan, "Tanpa sawit, Indonesia mau jadi apa?"

Dr. M. Aji Surya, S.H, M.Si alumnus UII, UI, dan UGM; Direktur Komunikasi di sebuah lembaga riset kebijakan di Jakarta

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial