Realokasi Subsidi dan Transformasi Sektor Energi

1 month ago 23

Jakarta -

Topik subsidi BBM dan listrik salah sasaran kembali mengemuka melalui komentar Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam keterangan resmi di situs ESDM, Minggu (3/11). Sekitar 20-30% subsidi energi dinikmati kelompok masyarakat non-miskin dan rentan, dengan nilai kebocoran mencapai Rp 100 triliun.

Ya, isu ini bukan barang baru. Sejak implementasi awalnya pada era Presiden Sukarno 1965, subsidi energi kerap disorot sebagai beban APBN. Rumitnya, program proteksi sosial ini sulit dihapuskan, sebab dampak domino ekonominya luas dan berpotensi mendorong kelas menengah ke jurang kemiskinan karena fluktuasi harga komoditas pokok.

Namun harus diingat, subsidi hanya meningkatkan kualitas hidup jangka pendek. Jangka panjang? Belum tentu. Faktanya, subsidi justru membatasi ruang fiskal negara untuk mengembangkan sektor vital jangka panjang lainnya. Jika pasar instabil, opsi keputusan dadakan pemerintah hanya ada dua: "berdarah" dengan tetap mensubsidi, atau mengurangi subsidi dan bebani rakyat. Keduanya merugikan rakyat--satu mengorbankan masa depan, dan satunya menekan ekonomi rakyat jangka pendek.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Visi pembangunan jangka panjang seperti energi baru terbarukan misalnya, bisa terbengkalai jika masih dianaktirikan oleh subsidi dari segi anggaran. Dampaknya, diversifikasi bauran energi nasional mandek, dan Indonesia akan terus bergantung pada keran impor produk fosil. Tata kelola energi nasional jelas harus dirombak. Lantas bagaimana Indonesia mengakselerasi transformasi ini?

Harus Proporsional

Sejatinya subsidi adalah akselerator daya beli, bukan bentuk proteksi sosial/alat kontrol harga. Mekanismenya seperti diskon, sales meningkat karena harga murah, tapi penjual tidak jual rugi agar laku habis. Dalam konteks ini, subsidi energi porsinya harus proporsional, dan proses distribusinya tertarget agak tidak membebani APBN.
Namun, dalam konteks negara berkembang, reformasi dan realokasi anggaran subsidi energi tersebut sulit terlaksana, tapi tidak mustahil.

Alasan kesulitannya satu: rendahnya kepercayaan publik pada transparansi proses distribusi bantuan langsung (akibat korupsi). Subsidi tertarget ini memandatkan adanya pendelegasian kekuasaan, yang berpotensi mendesentralisasi korupsi ke tingkat terendah. Belum lagi, kontrol berlebihan pada distribusi bantuan di elite bawah ini justru akan dipolitisasi untuk kepentingan elektoral pribadi mereka.

Rakyat tidak punya jaminan bahwa pejabat publik akan menepati janjinya mendistribusi proporsional bantuan langsung tersebut. Belum lagi ada potensi subsidi salah sasaran. Oleh karena itu, mekanisme proteksi sosial seperti subsidi tertarget ini mesti di-backup dengan revolusi mental dan reformasi institusi.

Langkah konkretnya: bentuk Satgas/Lembaga Transisi Subsidi yang transparan dan inklusif, yang digawangi KPK dan LSM seperti ICW. Institusi ini bertugas untuk mengawal proses distribusi bantuan, dari pemetaan penerima hingga evaluasi, termasuk membuat roadmap proses transisi harga berjenjang (2-3 tahun) dan sosialisasi kontinu untuk menghindari adanya krisis sosioekonomi dadakan.

Pada saat yang sama, inti problem kedaulatan energi Indonesia --kurangnya diversifikasi bauran energi-- mesti paralel dituntaskan. Subsidi BBM, menurut ekonom The World Bank Jun Rentschler, memicu perilaku oportunistik/over-konsumsi kelompok non-miskin dan menghambat inisiatif energi hijau. Dengan minyak dan batu bara sebagai energi utama, impor dan subsidi terus terserap ke energi "kotor," mengabaikan potensi energi baru.

Solusinya: implementasi pajak karbon dan realokasi subsidi BBM ke R&D energi baru. Model seperti pajak karbon 45Q AS atau skema perdagangan emisi China bisa diadopsi. Pendapatan dari pajak karbon dan penghematan subsidi dialokasikan untuk R&D energi baru terbarukan (gas, nuklir, panas bumi) dan eksplorasi ladang produk fosil baru. Langkah ini akan mengurangi ketergantungan pada impor (khususnya minyak dan batu bara), memperkuat ekonomi, dan mengatasi trilema energi-ketahanan energi, netralitas karbon, dan pertumbuhan ekonomi.

Komitmen Jangka Panjang

Realokasi subsidi dan transformasi sektor energi adalah komitmen jangka panjang, sehingga transisinya harus ditopang dengan kerangka regulasi harga dan pajak. Komunikasi politik harus dilakukan kontinu bertahap untuk menciptakan familiaritas terhadap sistem baru.

Bicara regulasi harga misalnya, pasar energi Indonesia praktis termonopoli. Alih alih proteksi SDA, hak monopoli BUMN justru eliminasi mekanisme kompetisi pasar dan memaksa pemerintah terus campur tangan dalam penetapan harga, yang memperpanjang politisasi kebijakan harga BBM dan tingginya konsentrasi pasar.

Lebih lanjut, menurut studi kasus dari The World Bank (2016), subsidi menyulitkan penilaian kinerja komersial BUMN, karena adanya ambiguitas kerugian akibat inefisiensi internal dan subsidi, serta intransparansi pelaporan besaran subsidi. Oleh karena itu, liberalisasi pasar teregulasi adalah prioritas. Misalnya, penerapan regulasi anti-monopoli, dan peniadaan klausul abu-abu "pertimbangan krisis sosioekonomi" dalam penentuan harga/subsidi.

Dalam konteks ini, pemerintah dilarang ugal-ugalan manipulasi harga via BUMN untuk menekan swasta dengan banting harga karena alasan "pertimbangan krisis sosioekonomi". Konsistensi regulasi harga inilah yang membangun kepercayaan investor dan menjamin harga BBM murah secara alami berdasarkan aspek kompetisi.

Lebih lanjut, formula dan data penetapan harga/subsidi BBM harus dipublikasi transparan dan reguler. Belajar dari Chile, skema pajak BBM dan subsidi berdampingan diterapkan untuk stabilkan harga bagi pengguna kecil dan menengah, dengan mekanisme komponen subsidi tetap (tetap, penyesuaian terhadap inflasi) dan variabel (berubah, penyesuaian terhadap price gap paritas impor dan referensi).

Data dan mekanisme hitung harga/subsidi dipublikasi mingguan dan terbuka untuk audit eksternal. Selain itu, batasan defisit juga ditetapkan untuk menghindari ketidakseimbangan anggaran akibat subsidi variabel yang berlebihan. Akuntabilitas pemerintah inilah yang nantinya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap realokasi anggaran subsidi tertarget atau inisiatif pajak BBM ini.

Singkatnya, skema campuran Subsidi Tertarget-BLT Kondisional adalah model paling ideal untuk Indonesia. Sebagian porsi Subsidi Tertarget ini dapat direalokasikan untuk mendukung industri strategis, seperti pangan (pertanian dan perikanan), energi, dan infrastruktur, melalui insentif berupa pengurangan atau pembebasan pajak, depresiasi dipercepat, tunjangan modal, atau konsesi royalti.

Adapun subsidi BBM untuk end-user diimplementasikan secara proporsional per wilayah, disesuaikan dengan tingkat konsentrasi kemiskinan, dan aksesnya berdasarkan NIK melalui platform MyPertamina. BLT Kondisional disalurkan di bawah pengawasan Satgas/Lembaga Transisi Subsidi yang transparan dan inklusif. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi konflik sosioekonomi dadakan sekaligus memperlancar transformasi sektor energi Indonesia ke arah yang lebih berkelanjutan.

Fasyeh Hamid pengamat geopolitik energi, alumnus Gubkin Russian State University of Oil and Gas

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial