Jakarta -
Vaksinasi sebagai upaya pencegahan penyakit menular merupakan salah satu keberhasilan besar dalam bidang kesehatan yang telah terbukti menyelamatkan jutaan nyawa setiap tahunnya. Menurut laporan WHO tahun 2018, vaksinasi dapat mencegah 2 hingga 3 juta kematian per tahun.
Namun hingga saat ini, pengembangan vaksin masih menghadapi banyak tantangan, terutama di negara-negara tropis seperti Indonesia, di mana hambatan lingkungan dan infrastruktur masih menjadi kendala program imunisasi.
Di Indonesia, terdapat beberapa kejadian yang berkaitan dengan kurang suksesnya program imunisasi. Laporan WHO (2018) menyebutkan bahwa kejadian wabah polio pada tahun 2005 dan 2016 di Indonesia disebabkan oleh proses imunisasi dan kualitas vaksin yang tidak sesuai standar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan lain menyebutkan bahwa terjadi keterlambatan suplai vaksin ke daerah terpencil di Indonesia, seperti diberitakan Antara News. Mengutip Kementerian Kesehatan perihal keterjangkauan vaksin COVID 19 di NTT, hingga Maret 2023 hanya mencatatkan 66,59% dari total populasi di sana.
Laporan Kemitraan Australia-Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (Australia Indonesia Health Security Partnership/AIHSP) juga melaporkan bahwa 1 dari 2 orang lansia di NTT di bulan Maret 2023 tidak menerima 2 dosis vaksin primer. Keterlambatan tersebut, menurut WHO, terkendala oleh kondisi geografis, terutama untuk daerah terpencil dan kepulauan di Indonesia.
Sementara itu, guna menjaga agar vaksin tetap stabil dan efektif, maka suhu penyimpanan harus terjaga pada suhu antara 2° hingga 8°C untuk vaksin sensitif beku, dan antara -25 hingga -15 °C untuk vaksin yang sensitif panas. Rumitnya logistik dan penanganan rantai dingin (cold chain) vaksin cair, masih menjadi penyebab utama kejadian tersebut.
Vaksin kering, di sisi lain, yang juga dikenal sebagai vaksin termostabil merupakan inovasi baru yang mampu mengatasi tantangan ini. Oleh karena itu, sangat penting dalam hal ini untuk mengangkat aspek peluang penggunaan vaksin kering di Indonesia dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, meningkatkan distribusi vaksin, dan mengatasi kendala lingkungan serta aspek ekonominya.
Tantangan Distribusi Vaksin di Wilayah Tropis
Negara-negara tropis, termasuk Indonesia didalamnya, memiliki karakteristik suhu tinggi, kelembapan tinggi, dan seringkali identik dengan infrastruktur kesehatan yang terbatas. Faktor lingkungan dan logistik ini menimbulkan banyak tantangan dalam proses distribusi vaksin konvensional, yang sangat bergantung pada rantai dingin (cold chain) yang ketat.
Rantai dingin adalah sistem distribusi yang membutuhkan pengontrolan suhu untuk penyimpanan dan transportasi vaksin agar tetap efektif. Di iklim tropis, mempertahankan rantai dingin sangat sulit karena suhu lingkungan yang tinggi, pasokan listrik yang tidak stabil, dan keterbatasan akses ke peralatan pendingin. Kerusakan dalam rantai dingin dapat membuat vaksin tidak efektif, yang menyebabkan kerugian yang lebih besar dan rendahnya cakupan imunisasi.
Selain itu, Indonesia juga menghadapi tantangan infrastruktur, seperti kualitas jalan yang buruk, masih banyaknya populasi masyarakat di pedesaan yang terpencil, dan sistem kesehatan yang kurang memadai.
Hambatan-hambatan ini semakin mempersulit distribusi vaksin secara tepat waktu dan efisien kepada masyarakat yang paling membutuhkan. Faktor-faktor ini kemudian menyebabkan tingkat vaksinasi menjadi rendah, sehingga populasi tersebut menjadi rentan terhadap wabah penyakit.
Keunggulan Vaksin Kering
Vaksin kering menawarkan solusi praktis untuk tantangan-tantangan tersebut.
Vaksin kering ini diformulasikan melalui teknik seperti pengeringan beku atau pengeringan semprot, yang menstabilkan bahan aktif vaksin (antigen) pada berbagai suhu lingkungan yang tinggi. Dengan teknik ini, vaksin dapat disimpan dan ditransportasikan tanpa memerlukan penyimpanan suhu dingin, sehingga mengurangi risiko kerusakan secara signifikan.
1. Stabil terhadap Panas dan Mengurangi Ketergantungan pada Rantai Dingin
Vaksin kering dapat bertahan pada suhu tinggi, menjadikannya sangat cocok untuk iklim tropis. Termostabilitas ini menghilangkan ketergantungan akan suhu pendinginan terus-menerus, sehingga mengurangi kerumitan logistik dan biaya yang berkenaan dengan pemeliharaan rantai dingin.
2. Meningkatkan Aksesibilitas di Daerah Terpencil
Daerah terpencil dan pedesaan di Indonesia seringkali tidak memiliki akses listrik, sehingga penyimpanan vaksin konvensional menjadi tidak praktis. Vaksin kering dapat diangkut jarak jauh dan disimpan di fasilitas tanpa pendinginan, memastikan bahwa bahkan masyarakat yang paling terpencil pun terpapar imunisasi. Aksesibilitas ini sangat penting untuk mencapai keterpaparan layanan kesehatan dan meningkatkan cakupan vaksinasi secara menyeluruh.
3. Respons Darurat yang Lebih Efektif
Wilayah tropis di Indonesia sering kali terdampak bencana alam seperti banjir, badai, dan angin topan, yang merusak infrastruktur dan sistem kesehatan. Selain itu, ancaman pandemi yang bisa datang sewaktu-waktu juga sangat berpotensi membahayakan masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan kesiapan upaya antisipasi dari pemerintah.
Dalam situasi dan kondisi darurat tersebut, maka akan sangat sulit dalam mempertahankan rantai dingin. Sebaliknya, vaksin kering lebih mudah disimpan dan didistribusikan dalam kondisi seperti ini, sehingga memungkinkan imunisasi cepat untuk mencegah wabah penyakit.
Dampak Kesehatan Masyarakat
Penggunaan vaksin kering di negara-negara tropis seperti Indonesia dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Stabilitas vaksin yang lebih baik akan memastikan tingkat vaksinasi yang lebih baik pula, sehingga mengurangi prevalensi penyakit seperti campak, polio, hepatitis B, dan lain-lain.
Dengan mengurangi pemborosan vaksin, vaksin kering juga dapat memastikan lebih banyak orang dapat divaksinasi dengan persediaan yang ada, sehingga memaksimalkan dampak program imunisasi.
Selain itu, vaksin kering dapat mendukung pengembangan dan distribusi vaksin baru untuk penyakit menular lainnya yang berpotensi muncul di wilayah tropis, seperti demam berdarah, chikungunya, dan malaria. Formulasi termostabil dari vaksin-vaksin ini dapat menjadi aspek penting dalam mengendalikan penyakit-penyakit tersebut di wilayah tropis.
Dampak Ekonomi dan Lingkungan
Peralihan ke vaksin kering juga berpotensi membawa keuntungan ekonomi dan lingkungan. Dengan menghilangkan kebutuhan akan infrastruktur rantai dingin yang banyak, pemerintah dapat mengurangi biaya operasional secara signifikan.
Sebagai contoh, penghematan biaya dari pengurangan konsumsi energi dan logistik dapat dialihkan untuk memperluas program imunisasi dan meningkatkan layanan kesehatan.
Terkait lingkungan, vaksin kering dapat mengurangi jejak emisi karbon yang terkait dengan penyimpanan dan transportasi vaksin. Pendinginan konvensional bergantung pada listrik yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, yang berkontribusi pada emisi gas. Dengan meminimalkan ketergantungan pada pendinginan, vaksin kering mendukung upaya global untuk memerangi perubahan iklim.
Meskipun potensi dan manfaat vaksin kering sangat besar, beberapa tantangan tetap ada. Produksi vaksin kering membutuhkan peralatan dan keahlian khusus, yang dapat meningkatkan biaya produksi. Selain itu, memastikan efektivitas dan keamanan formulasi bentuk kering memerlukan pengujian dan perizinan regulasi yang ketat.
Untuk mengatasi tantangan ini, investasi dalam penelitian dan pengembangan sangat diperlukan. Kolaborasi internasional antara pemerintah, industri farmasi, dan organisasi kesehatan global dapat mempercepat pengembangan dan distribusi vaksin kering. Inisiatif seperti GAVI, the Vaccine Alliance, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memainkan peran penting dalam mendukung upaya-upaya ini.
Seiring dengan prioritas dunia yang bergeser ke arah pencapaian imunisasi universal dan akses layanan kesehatan yang merata, vaksin kering akan menjadi pilar utama dari upaya-upaya ini, terutama di wilayah tropis.
Melalui investasi dan inovasi yang berkelanjutan, potensi penuh vaksin kering dapat terwujud, membawa kita lebih dekat pada pencegahan penyakit menular seperti COVID 19, sehingga tidak lagi menjadi ancaman di masa yang akan datang.
Prof Helmy Yusuf SSi MSc PhD, Guru Besar Universitas Airlangga
(anl/ega)