Jakarta -
Sifat kebenaran dan sumber-sumber pengetahuan masih menjadi topik hangat dalam bidang filsafat dan teori komunikasi. Gagasan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman adalah salah satu sudut pandang yang sering dikemukakan. Banyak tokoh, terutama Littlejohn, telah mengemukakan tesis ini, yang menyatakan, jika kita mengamati dunia, maka akan ada pengetahuan tentang dunia. Menurut perspektif ini, pengalaman adalah faktor utama yang membentuk persepsi kita tentang realitas.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar muncul, apakah pengetahuan itu pasti? Menurut para ahli komunikasi seperti Littlejohn, pendekatan ilmiah dan pengamatan yang cermat adalah cara terbaik untuk menemukan kebenaran yang pasti. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan yang benar hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dan fakta-fakta tertentu tidak perlu dipertanyakan lagi.Sudut pandang ini memiliki banyak daya tarik, tetapi ada banyak tantangan terhadap gagasan bahwa kebenaran tidak perlu dipertanyakan lagi dalam beberapa dekade terakhir. Sebagai contoh, perspektif postmodernis menantang gagasan bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan cara yang dapat diterapkan secara universal dan objektif.
Seorang tokoh kunci dalam studi postmodernisme, Foucault, menegaskan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang diciptakan, bukan sesuatu yang ditemukan atau diungkap. Dengan demikian, pengetahuan dibentuk oleh faktor-faktor sosial, politik, dan budaya yang ada di lingkungan kita dan bukannya bersifat tetap.
Semakin Penting
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalah kepastian pengetahuan menjadi semakin penting di era digital ini karena semakin banyak informasi yang tersedia secara online. Informasi yang salah, bias algoritmik, dan gelembung filter dapat berdampak pada informasi yang kita terima.Sebuah sudut pandang alternatif disediakan oleh gagasan relativisme epistemik, yang menyatakan bahwa kebenaran dipandang relatif dan bergantung pada sudut pandang individu atau kelompok. Menurut perspektif ini, sesuatu yang valid di satu latar sosial atau budaya mungkin tidak valid di latar sosial atau budaya lainnya.
Menurut Thomas Kuhn, revolusi ilmiah tidak hanya mengubah pengetahuan kita tentang dunia, tetapi juga cara kita memahami dunia. Hal ini konsisten dengan sudut pandangnya. Oleh karena itu, fakta-fakta yang kita pegang saat ini mungkin hanya berlaku dalam kerangka paradigma ilmiah yang paling utama dan mungkin akan berevolusi dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh, hipotesis heliosentris telah menggantikan pandangan ilmiah yang sebelumnya kita anggap benar, seperti teori geosentris, yang menyatakan bahwa Bumi adalah pusat alam semesta.Namun, keraguan yang ekstrem terhadap kebenaran suatu pengetahuan juga bisa berbahaya. Kita berisiko menjadi korban dari relativisme ekstrem, di mana tidak ada dasar untuk membedakan antara opini dan realitas dan semua pengetahuan dianggap sama, jika kita tidak memiliki keyakinan pada versi kebenaran yang konsisten. Teori konspirasi, informasi palsu, dan penghinaan terhadap fakta-fakta ilmiah dapat berkembang sebagai akibatnya.
Seperti yang dikatakan Albert Einstein, apa yang bertahan melalui pengalaman adalah kebenaran. Pandangan ini mengakui bahwa kebenaran adalah konsep yang perlu terus dievaluasi dan ditingkatkan, tetapi juga menekankan pentingnya pengalaman dan bukti dalam menentukan pengetahuan yang dapat dipercaya.
Terus MenerimaPada akhirnya, tidak ada cara yang mudah untuk menyelesaikan perdebatan mengenai sifat yang tepat dari mengetahui. Di satu sisi, sumber daya utama kita untuk memahami dunia tetaplah pengalaman dan pengamatan. Namun, kita juga perlu mengakui bahwa lingkungan sosial, budaya, dan politik yang dinamis berdampak pada pengetahuan kita.
Mungkin hal terbaik yang dapat kita lakukan di dunia yang semakin kompleks ini adalah terus menerima berbagai sudut pandang, terus menilai keyakinan kita, dan selalu siap untuk memperbarui pengetahuan kita sesuai dengan peristiwa terkini.
Wanda Halida Maira mahasiswi Program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SYarif Hidayatullah Jakarta
(mmu/mmu)