Jakarta -
"Hanya ada dua opsi bagi kader yang terbukti terlibat kasus korupsi, yakni mengundurkan diri atau diberhentikan dari partai." Bukan, kalimat tersebut bukan meluncur dari mulut Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, melainkan Surya Paloh. Ketua Umum Partai Nasdem itu mengucapkannya dalam jumpa pers di Kantor Nasdem pada 15 Oktober 2015.
Ia menyikapi status tersangka terhadap Sekjen Partai Nasdem Patrice Rio Capella oleh KPK. Kala itu Rio disangka menerima gratifikasi Rp 200 juta dari Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo dan istrinya, Evy Susanti. Dia kemudian divonis 1 tahun 6 bulan.
Sikap dan penegasan senada disampaikan Paloh ketika Sekjen Partai Nasdem Jhonny G Plate menjadi tersangka korupsi 8 tahun kemudian. Tepatnya pada 17 Mei 2023. Ia tidak marah, mengamuk. Setidaknya di hadapan publik. Tidak mencaci KPK maupun Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegak hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari komitmen awal partai ini didirikan, kami tetap di garda terdepan demi menegakkan prinsip hukum yang berkeadilan dari waktu ke waktu," tegas Paloh.
Sikap kestaria juga diperlihatkan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham saat ditetapkan KPK menjadi tersangka korupsi, 24 Agustus 2018. KPK menudingnya menerima suap Rp 2,250 miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo melalui mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih.
Idrus langsung menyatakan berhenti sebagai Menteri Sosial. Dia juga mundur sebagai Sekjen Partai Golkar yang telah 8 tahun diembannya. "Ini sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan organisasi," kata lelaki kelahiran Patampanua, Pinrang, 1962 itu.
Tak berlebihan kiranya kita, atau setidaknya penulis, berharap sikap dan pernyataan serupa diperlihatkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Sayang, yang diperlihatkan kepada publik justru sikap sebaliknya. Angkuh. Terus bermain drama seolah korban kesewenang-wenangan penguasa.
Alih-alih menunjukkan sikap kesatria, dia malah membawa-bawa nama Sukarno. Padahal Bapak Bangsa Republik itu ditangkap dan dikirim ke Penjara Banceuy bukan karena tuduhan menyuap aparat. Bung Karno dipenjarakan rezim kolonial karena secara otentik menyuarakan kemerdekaan. Memperjuangkan cita-citanya itu secara marathon sejak dia remaja. Si Bung menyuarakan kemerdekaan dan demokrasi secara otentik, bukan manipulasi dendam pribadi dan kelompok karena kepentingan dan ambisinya tak terpenuhi.
Begitu yang terungkap dalam buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams, khususnya Bab 9 halaman 109 - 114. Dari buku setebal 415 halaman itu juga kita secara gamblang mengetahui bila Bung Karno itu otentik membela rakyat. Bukan semata membela sahabat dan kerabat dengan mengintimidasi para pihak yang bukan sekutunya. Si Bung adalah kesatria sejati.
Bagaimana dengan Megawati yang notabene politisi dan negarawan paling senior? Tentu kita sepakat bahwa dia merupakan aktivis pejuang demokrasi. Simbol keberanian untuk memperjuangkan hak-hak politik rakyat. Rekam jejaknya di era Orde Baru menorehkan hal tersebut. Ketika Soeharto begitu berkuasa melalui aparat penegak hukum sebagai kaki tangannya, dia kukuh melawan. Meski lebih sering dalam diam.
Kenegarawanan beliau sangat mencolok ketika dalam sebuah pidato di awal reformasi, 1998. Ketika banyak tokoh dan elit politik ramai-ramai menghujat Soeharto yang sudah lengser, Megawati dengan lantang menyerukan: "Stop Hujat Pak Harto". Imbauan tegas itu segera menjadi headline surat-surat kabar kala itu.
Sikap jiwa besar seperti itu tentu patut mendapat apresiasi dan diteladani semua pihak. Kita rindukan untuk bersama-sama meneladaninya. Bahwa dalam politik perbedaan pandangan, visi, dan taktik dalam perjuangan tidak lantas menjadi dendam pribadi. Bahwa kritik dan saling koreksi adalah sebuah keniscayaan dalam demokrasi. Namun semua tetap harus disampaikan secara terukur dan tanpa kebencian.
Kembali ke kasus Hasto, dalam sidang praperadilan yang berlangsung sejak 5 Februari penyidik KPK dengan gamblang membeberkan peran dan kiprahnya dalam kasus suap Harun Masiku kepada pimpinan KPU Wahyu Setiawan. Dia ikut menyediakan uang, merintangi proses penyidikan sehingga Harun Masiku gagal ditangkap dan menghilang hingga saat ini. Dia juga menyuruh menghapus bukti-bukti, dan meminta para saksi untuk berbohong.
Secara garis besar keterlibatan Hasto dalam kasus Harun Masiku ini pernah diulas Majalah Tempo lima tahun lalu. Tepatnya dalam edisi 11 Januari 2020 bertajuk "Di Bawah Lindungan Tirtayasa". Karena itu suka-tidak suka seharusnya penetapan tersangka dan penahanan diterima dengan lapang dada. Bukan sikap jemawa atau seolah menjadi pihak paling teraniaya. Apalagi mengkambinghitamkan pihak lain.
Sudrajat. Wartawan detikcom. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili sikap redaksi.
(jat/idn)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu