Jakarta -
Peneliti Indonesia Risma Rizkia Nurdianti bersama timnya terdiri dari periset: Achmad Fadillah, Syabilla Rivenia dan Istianah Maryam Jamilah jadi juara kompetisi riset yang diadakan oleh Badan PBB FAO (Food and Agriculture Organization of United Nations) dalam kategori riset tantangan transformasi penanggulangan penyakit pada hewan ruminansia kecil atau Peste des Petits Ruminants (PPR) seperti anak kambing atau domba.
Penyakit Peste des Petits Ruminants sering disingkat menjadi PPR, dan penyakit ini juga dikenal dengan istilah "penyakit virus ruminansia kecil" atau sampar pada kambing dan domba. Penyakit ini disebabkan oleh virus paramyxovirus dan bisa menyebar cepat pada sesama binatang ruminansia.
Penyakitnya ditandai dengan gejala seperti demam, lesi pada mulut dan hidung, diare, serta infeksi saluran pernapasan. "Yang pertama, bisa tertular dari makanan, kandang kotor, kemudian interaksi sesama binatang. Awalnya bisa muncul demam seperti pada manusia, 40-41 derajat Celsius, kemudian disusul dengan lendir yang keluar dari hidung, mulut, bahkan telinga. Kemudian tidak sedikit juga akan menyebabkan kematian. Mortalitasnya 80-100%. Jadi, bahaya banget, kan," tutur Risma kepada DW.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terutama pada anak kambing dan domba, PPR dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi pada hewan yang terinfeksi.. Penularan penyakit ini biasanya terjadi melalui kontak langsung antara hewan yang terinfeksi dan hewan yang sehat, serta melalui udara.
Risma mengimbau masyarakat tidak mengonsumsi kambing atau domba yang terpapar virus PPR: "Meskipun PPR terutama menyerang kambing dan domba, mengonsumsi daging dari hewan yang sakit dapat menimbulkan risiko kesehatan akibat infeksi sekunder atau kontaminasi, " tandasnya.
Waspada penyebarannya di Asia
Pertama kali ditemukan di Pantai Gading, Afrika Barat, penyakit PPR pada kambing atau domba menyebar ke Asia, termasuk Asia Tenggara, " Tercatat kasusnya mula-mula di Thailand. Dan juga per April 2023, sudah terjadi beberapa kasus di Pulau Jawa," imbuh Risma
FAO sendiri sudah punya vaksinasi PPR yang merupakan hasil dari kerja sama dengan Badan Kesehatan Dunia - WHO. "Akan tetapi implementasi vaksinasi, program vaksinasi juga belum efektif," ujar Risma. "Kemudian juga jumlah vaksin belum banyak. Oleh karena itu, saya dan tim menawarkan atau membuat proposal, di mana kami membuat sistem pengelolaan terpadu untuk pencegahan dari penyakit sampar atau PPR ini," kata Risma.
Pembedayaan perempuan dalam pengentasan PPR
Risma dan timnya yang memenangkan kompetisi FAO dan mendapat hibah dana penelitian, juga akan mengevaluasi dampak sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh penyakit PPR atau sampar domba ini. "Kemudian nanti kami juga ingin mengevaluasi peran perempuan dan laki-laki, bahkan anak-anak muda di suatu daerah dalam mengatasi penyebaran penyakit PPR," tutur Risma. Kemudian dari hasil riset, mereka akan memformulasikan panduan bagi para peternak untuk bisa mencegah pemberantasan dari penyakit PPR.
Bidang peternakan umumnya didominasi oleh laki-laki. "Akan tetapi beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan, pemberdayaan perempuan justru malahan lebih efektif dalam mengatasi masalah-masalah sosial dan ekonomi sehari-hari," tandas Risma. "Oleh karena itu, dalam pemberantasan penyakit PPR ini, kami mencoba untuk mengajak para perempuan untuk melakukan pencegahannya, dengan cara mengontrol vaksinasi. Kemudian mencegah penyebaran dari hewan-hewan yang sudah tertular,. Kami rasa perempuan lebih efektif untuk mengelola penyakit ini."
Menurut Risma kelebihan perempuan dalam ber-multitasking dan mengorganisir berpotensi besar dalam menahan laju sebaran penyakit. "Ini berdasarkan pengalaman pribadi, karena saya sebagai seorang kandidat PhD, seorang ibu, seorang yang aktif berorganisasi dan juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di masyarakat, melihat bahwa peran perempuan ini sangat penting dalam mengatasi beberapa masalah sosial dan ekonomi di negara kita," pungkas Risma.
Editor: Agus Setiawan
(ita/ita)