Naturalisasi Bukti Pemerintah Tidak Peduli Sepak Bola Kita

1 month ago 33

Jakarta -

Saya banyak di-bully di media sosial gegara mengkritik praktik naturalisasi pemain sepak bola kita. Itu sebenarnya bukan masalah bagi saya. Pro-kontra dan bully-membully di zaman medsos ini dapat terjadi kepada siapa pun. Tapi sejujurnya saya kaget bukan main mendapati orang-orang begitu jengkel bahkan marah dengan kritik itu.

Sebegitu besarnya hasrat orang Indonesia menginginkan kesebelasan Indonesia berkiprah di pentas internasional sampai-sampai tak rela ada orang yang mengkritisi usaha-usaha yang diyakini bakal mendongkrak prestasi tim nasional itu. Saya bisa mengerti, karena sepak bola kini telah menjadi sebentuk peradaban universal yang prestisius.

Apa pun harus dilakukan agar tim kesebelasan negerinya berjaya di mancanegara, kalau perlu dengan merekrut para pemain internasional yang masih punya darah Indonesia untuk dinaturalisasi agar bisa memperkuat tim kesebelasan nasionalnya. Dan kita tahu semua hasilnya saat ini. Ketua PSSI Erick Thohir memanfaatkan regulasi FIFA untuk melakukan proses naturalisasi pemain. Melalui saluran medsos saya menyatakan tidak setuju cara-cara seperti ini, cara-cara instan dalam meraih sebuah kejayaan tak bisa saya terima.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya masih berkeyakinan; bukankah lebih baik mendidik anak-anak berbakat dari pelosok negeri yang dipersiapkan sedemikian rupa sehingga kelak tampil menjadi pemain hebat? Aaah... itu terlalu ideal.

Sampai akhirnya, pada suatu sore saya berbincang hangat dengan seorang sahabat lama, Nirwan Bakrie dan berdialog dengan Menpora R.I. Dito Ariotedjo.

Kita semua tahu, Nirwan termasuk sedikit tokoh yang telah berpuluh-puluh tahun mencurahkan waktu, energi dan dana yang dimilikinya guna membangun sepakbola Indonesia. Posisi terakhirnya di dunia sepakbola adalah Wakil Ketua Umum PSSI (2003-2011).

Menurutnya, saat ini naturalisasi adalah cara paling logis dalam mendongkrak prestasi persepakbolaan Indonesia. Ia tidak menafikan idealisme yang saya kemukakan. Tapi realitas yang ditemuinya tak semanis yang saya bayangkan. Kondisi persepakbolaan Indonesia saat ini menyulitkan kita untuk mendapatkan pemain-pemain hebat dari dalam negeri secara berkesinambungan. Demikian tegasnya.

Tanpa diminta Nirwan menyampaikan penyebabnya. Pertama, pemerintah memang menganggarkan sejumlah dana, konon triliun per tahun, untuk pembinaan olah raga. Tapi percayalah dana itu tidak masuk ke PSSI, namun banyak dipakai Kementerian Pemuda dan Olahraga terutama pembinaan pemuda/politik seperti KNPI.

PSSI sebagai organisasi non-pemerintah sudah lama membiayai sendiri aktivitasnya, tanpa terkecuali dalam pembinaan talenta sepak bola baru.

Harus diakui, politik anggaran, sejak jaman Orde Baru, apalagi selama 10 tahun terakhir, tidak memprioritaskan cabang olahraga apapun, di mana anggaran besar lebih banyak dikeluarkan untuk peristiwa internasional yang berdampak ekonomi tinggi dan bersifat multievent.

Pembibitan atlet tidak cukup hanya dilakukan Kemenpora, karena dasar-dasar pembentukan atlet harus dimulai oleh institusi pendidikan, yang selama periode 2019-2024 boleh dikatakan nihil, sementara kebijakan pemerintah hanya pada olah raga yang mempunyai potensi prestasi internasional dalam jangka pendek. Lebih banyak pencitraan jangka pendek dan bukan pembinaan jangka panjang.

Perhatian pemerintah hanya masih sebatas pada cabang olahraga yang sudah memiliki sistem pembinaan yang baik, itu pun baru dalam bentuk kegiatan pelatihan nasional (Pelatnas) jangka panjang. Sedangkan cabang olahraga yang hendak menggelar single event, seperti kompetisi atau pertandingan sepakbola, pembiayaan persiapan dan penyelenggaraannya dipercayakan kepada kemampuan ketua yang dapat menghimpun dana atau induk dari cabang olahraga tersebut. Politik anggaran seperti ini sudah saatnya diubah.

Cabang olah Raga sepak bola sangat memegang prinsip independensi sesuai statuta FIFA nya, namun tidak menghilangkan kebutuhan akan partisipasi dan kontribusi pemerintah dari sisi pembiayaan pengembangan sepak bola itu sendiri, apalagi sepakbola merupakan olah rakyat yang murah dan mudah dilaksanakan.

Kedua, Meski bermain bola memang mudah dan murah, bermodal bola sepak dan kaki yang sehat setiap orang bisa memainkan sepakbola. Tapi untuk bisa mencapai taraf profesional, dibutuhkan lapangan bola dan sarana pelatihan yang memadai. Itu butuh komitmen serius dari Pemerintah pusat, Propinsi, kabupaten, kecamatan bahkan sampai level kelurhan untuk membangun lapangan bola dan sarana pelatihan.

Jangan setiap adanya lapangan kosong langsung diberikan kepada pengembang Properti atau mall. Setiap pengembang real estat harus juga menyiapkan sarana olah raga bagi penghuninya. Tanpa semua itu, seorang anak paling berbakat sekalipun dengan mudah tersingkir dari jalur prestasinya.

Ketiga, kita sering melihat para pemimpin negeri ini hadir di stadion menonton langsung pertandingan tim nasional. Itu bagus, tapi kita memerlukan kehadiran pemerintah lebih dari itu.

Pemerintah harus hadir di ruang-ruang stadion di seluruh Indonesia, memastikan kompetisi terselenggara dengan lancar dan aman, kesejahteraan para pelaku sepakbola juga terjamin. Sebab jika tidak, kita semua tahu "para penguasa dunia gelap" akan berada di sana mengatur dan mengendalikan pertandingan. Jika sudah demikian, para pemain muda berbakat akan layu sebelum berkembang.

Bersyukur ada orang-orang Indonesia, baik karena pernikahan atau keharusan tinggal dan bekerja di negara-negara yang peradaban sepakbolanya sudah maju, yang anak atau cucu mereka memperoleh pembinaan dalam peradaban itu. Ada yang berhasil tampil menjadi pemain bintang di klub-klub profesional. Jadi apa salahnya, jika anak-anak dan cucu itu mau diajak kembali ke kampung halaman nenek moyangnya dan menjadi bagian dari tim nasional. Mereka tidak hanya satu atau dua pemain, jumlahnya bisa mengisi hampir semua lini kesebelasan.

Dari penjelasan itu, saya bisa mengerti bahwa naturalisasi adalah cara paling logis untuk mendongkrak prestasi timnas sekaligus bukti bahwa pemerintah tidak peduli terhadap sepak bola kita.

Surat Menpora untuk Peter F Gontha

Yang Terhormat Pak Peter F. Gontha,

Terima kasih atas tulisan Bapak terkait sepak bola. Kami sangat menghargai perhatian dan dedikasi Bapak terhadap isu ini, serta pemikiran kritis yang Bapak sampaikan. Izinkan kami untuk menyampaikan beberapa tanggapan sebagai bahan diskusi lebih lanjut.

Pertama, pemerintah memiliki perhatian besar terhadap pembinaan olahraga, termasuk sepak bola, sebagaimana tercermin dalam alokasi anggaran dan kebijakan strategis. Pembinaan atlet muda juga menjadi fokus dalam beberapa Permenpora maupun Instruksi Presiden sebelumnya. Kebijakan naturalisasi bukanlah pengganti pembinaan, melainkan salah satu strategi komplementer yang digunakan untuk meningkatkan daya saing tim nasional dalam jangka pendek. Penting untuk ditegaskan bahwa pemerintah tidak menganggarkan dana khusus untuk proses naturalisasi-di Kemenpora, misalnya, hanya ada alokasi untuk riset potensi alet diaspora. Naturalisasi dikembalikan kepada cabor untuk memulainya.

Kedua, terkait klaim bahwa anggaran "tersesat," kami perlu meluruskan bahwa dana pembinaan olahraga dialokasikan langsung kepada cabang olahraga terkait, termasuk sepak bola, dengan mekanisme yang transparan dan akuntabel. Tentu, mekanisme ini masih dapat terus disempurnakan agar penggunaannya semakin tepat sasaran, tetapi tidak benar jika dikatakan bahwa dana tersebut tersesat.

Ketiga, kami sepakat dengan Bapak bahwa pembinaan merupakan solusi utama untuk membangun masa depan sepak bola yang berkelanjutan. Sebagaimana menanam pohon, hasil dari pembinaan ini tidak bisa instan, melainkan membutuhkan waktu dan kesabaran. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk bersinergi dan mengambil bagian dalam proses pembinaan, mulai dari level akar rumput hingga profesional.

Kami sangat menghargai pandangan dan masukan Bapak, serta berharap dapat terus berdiskusi untuk bersama-sama mencari solusi terbaik bagi kemajuan sepak bola Indonesia. Terima kasih atas perhatian Bapak dalam isu ini.


Peter Gontha. Mantan Dubes RI untuk Polandia.

(rdp/rdp)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial