Menghindar dari Ancaman Negara Gagal

1 month ago 23

Jakarta -

Pada 14 Oktober 2024, The Royal Swedish Academy of Sciences memberikan Hadiah Nobel Ekonomi untuk Daron Acemoglu dan Simon Johnson dari Massachusetts Institute of Technology serta James A. Robinson dari University of Chicago. Ketiganya meneliti mengenai pentingnya peran institusi dalam pembangunan ekonomi. Kemampuan mereka menjelaskan mengapa sebagian negara menjadi negara maju dengan pendapatan tinggi sedangkan sebagian yang lain menghadapi kegagalan menjadi alasan utama di balik kemenangan ini.

Banyak pihak yang sudah menduga bahwa tahun ini Acemoglu dan kawan-kawan akan memenangkan Nobel Ekonomi. Sebelumnya, Acemoglu dan Robinson sudah populer di kalangan para akademisi dan bahkan masyarakat umum ketika mereka menulis buku berjudul Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan) pada 2012. Buku ini menjadi populer berkat argumen Acemoglu dan Robinson mengenai kunci menuju kemakmuran suatu negara. Mereka menolak teori-teori yang menyatakan bahwa sumber daya alam dan lokasi geografis adalah hal yang penting dalam pembangunan ekonomi.

Dengan menguraikan beberapa kisah sejarah di berbagai negara di dunia, Acemoglu dan Robinson memberikan argumen mengapa institusi yang inklusif merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap negara untuk mencapai kemajuan ekonomi. Di buku tersebut, mereka misalnya memberikan contoh bagaimana Inggris berhasil mencapai kemakmuran. Pada abad ke-17, Inggris tidak lagi menggunakan sistem monarki absolut dan mengubahnya menjadi institusi yang lebih inklusif melalui sistem parlementer pasca terjadinya Revolusi Agung.

Secara bertahap, Inggris menyetujui pembentukan monarki parlementer melalui Bill of Rights pada 1689 sehingga monarki yang berkuasa hanya dapat memerintah atas persetujuan parlemen. Setelah itu, secara inklusif, masyarakat Inggris dapat membuat petisi ke parlemen agar parlemen lebih memahami kebutuhan rakyat. Di bidang ekonomi, parlemen memperkuat peraturan mengenai hak milik, mendukung kemajuan industri manufaktur dengan redistribusi pajak, dan memberikan akses pinjaman kepada setiap orang yang memiliki jaminan tertentu. Reformasi institusi inilah yang kemudian mendorong Revolusi Industri pada abad ke-18.

Acemoglu dan Robinson juga menunjukkan kegagalan beberapa negara menuju kemajuan ekonomi karena terjebak dalam pola institusi yang esktraktif baik secara politik maupun ekonomi. Mereka berpendapat bahwa institusi ekonomi yang ekstraktif pasti akan beriringan dengan institusi politik yang ekstraktif karena keduanya saling membutuhkan untuk tetap bertahan. Institusi politik yang inklusif cenderung menghambat praktik-praktik perampasan sumber daya milik orang banyak, membebaskan hambatan masuk, dan membuka fungsi pasar sehingga lebih banyak orang yang mendapatkan manfaat.

Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam Why Nations Fail, Acemoglu dan Robinson juga menceritakan tentang Indonesia, lebih tepatnya Kepulauan Maluku yang pada abad ke-15 dan 16 menjadi sumber perdagangan rempah dunia dengan komoditas seperti pala dan cengkeh. Namun, wilayah ini dikuasai secara perdagangan oleh Portugis dan kemudian dilanjutkan oleh Belanda. Hal ini menyebabkan institusi politik dan ekonomi di Kepulauan Maluku menjadi ekstraktif, terutama karena Belanda mempraktikkan monopoli perdagangan rempah dengan memaksa seluruh penduduk lokal untuk menjual rempah-rempah mereka dengan harga yang rendah. Insentif bagi para pelaku ekonomi pun hilang dan Kepulauan Maluku, hingga saat ini, tidak pernah merasakan kejayaan seperti dulu lagi.

Kasus Kepulauan Maluku diangkat sebagai contoh bahwa pembangunan yang hanya mengandalkan kekayaan sumber daya alam tidak akan dapat mencapai kemakmuran jika tidak disertai dengan institusi yang inklusif. Hal ini tentu saja layak diaplikasikan untuk seluruh wilayah Indonesia. Mengikuti argumen Acemoglu dan Robinson, kunci utama dari pembangunan ekonomi Indonesia adalah institusi yang lebih inklusif di mana seluruh orang memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing.

Beberapa tahun terakhir, kekuasaan ekonomi di Indonesia hanya dikuasai oleh kelompok tertentu. Indeks gini Indonesia memang memiliki tren penurunan, namun perhitungan indeks gini yang menggunakan pendekatan pengeluaran sering dikritik karena tidak dapat merepresentasikan kondisi ketimpangan yang sesungguhnya. Pada 2016, Bank Dunia mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa sepuluh persen orang terkaya di Indonesia memiliki sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan dan satu persen orang terkaya bahkan memiliki separuh dari seluruh kekayaan di negara ini. Hal ini tentu saja mengindikasikan Indonesia belum mampu memperbaiki institusinya untuk mengurangi ketimpangan.

Sayangnya, hal yang sama juga terjadi pada kekuasaan politik. Dalam artikel jurnal yang ditulis pada 2021, Asrinaldi dan kawan-kawan menganalisis bahwa partai-partai yang sebelumnya menjadi oposisi justru bergabung ke dalam koalisi pemerintahan sehingga membentuk sebuah kekuasaan politik yang besar. Hal ini menyebabkan fungsi kritik terhadap pemerintahan, terutama dari DPR, tidak berjalan seperti seharusnya karena mayoritas dari mereka berada dalam koalisi yang sama dengan pemerintahan.

Tidak heran, berbagai kebijakan pemerintah dalam lima tahun terakhir seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara dikritik keras karena dianggap terlalu menguntungkan elite tanpa menghadirkan inklusivitas bagi seluruh lapisan masyarakat. Kedua peraturan ini diduga lebih memihak para pengusaha ketimbang masyarakat secara luas. Hal ini dapat juga dikaitkan dengan temuan dari Merepus Corner pada 2020 yang menyebutkan sekitar 55% dari anggota DPR memiliki latar belakang sebagai pengusaha.

Kondisi Indonesia juga sesuai dengan argumen Acemoglu dan Robinson bahwa kekuasaan ekonomi yang berpusat pada segelintir orang hanya akan menciptakan kekuasaan politik yang eksklusif. Hal ini juga diperkuat oleh argumen Jeffrey A. Winters, ilmuwan politik asal Northwestern University, yang berargumen bahwa ketimpangan material yang ekstrem memerlukan ketimpangan politik yang juga ekstrem. Dalam kasus Indonesia, hanya ada sedikit batasan yang efektif terhadap penggunaan uang untuk tujuan politik. Ditambah lagi, kekuatan ekonomi segelintir orang di Indonesia lebih berhasil membentuk dan menghambat demokrasi di Indonesia, padahal demokrasi seharusnya menjadi cara untuk menghambat kekuatan ekonomi.

Indonesia harus belajar dari sejarah untuk tidak mengulangi kegagalan menata institusi. Lingkaran elite yang mendominasi sistem ekonomi dan politik di Indonesia harus direformasi secara menyeluruh. Di bidang politik dan ekonomi, sistem meritokrasi harus semakin ditegakkan tanpa melihat latar belakang atau koneksi. Sistem demokrasi di Indonesia sudah menjadi awal yang baik, namun belum cukup untuk mencapai keadilan setiap warga negara. Cita-cita para elite politik untuk tidak hanya menguntungkan golongannya sendiri dan perlahan mulai menerapkan institusi yang inklusif patut kita tunggu pada awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto agar Indonesia bisa menghindar dari ancaman negara gagal.

Kanetasya Sabilla peneliti ekonomi dan pembangunan BRIN

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial