Mengembalikan Keniscayaan Demokrasi dalam Pilkada

1 month ago 50

Jakarta - Kita ikut Pilkada terus, tapi nasib kita masih begini-begini saja, tidak ada perubahan. Sebuah percakapan warung kopi menjadi refleksi bahwa proses demokrasi yang dibangga-banggakan ternyata menyimpan luka substansial yang mendalam. Kesuksesan melaksanakan demokrasi nyatanya terbatas pada level prosedur, sementara substansinya jauh dari harapan.

Pemerintahan demokratis sejatinya tidak pernah ada, jika tidak menghasilkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Melalui demokrasi, warga menetapkan siapa yang mengemban kewenangan pemerintahan. Para pemilih menentukan figur yang diharapkan mewakili untuk membuat keputusan politik dalam kurun waktu yang dibatasi.

Demokrasi bukan hanya tata cara pengambilan legitimasi berdasarkan suara mayoritas, tetapi bagaimana ide dan gagasan menyejahterakan rakyat juga menjadi tujuan. Dua syarat dalam demokrasi yang mesti dilalui untuk membuktikan adanya kerakyatan adalah deliberasi dan representasi. Deliberasi menjadi proses komunikasi tanpa sekat dalam konsultasi dan musyawarah yang dilakukan secara langsung dari hati ke hati tentang semua urusan umum. Partisipasi diwujudkan dalam interaksi politik dengan argumen diskursif dan reflektif tentang nilai bersama untuk mengangkat warga dari pinggiran menuju kesejahteraan.

Deliberasi sebagaimana yang ditekankan Habermas (1994), adalah bentuk pengambilan keputusan dalam suasana emansipatif dan inklusif berdasarkan pertimbangan rasional. Semua pendapat diulas secara transparan sehingga menghasilkan argumen terbaik. Kebenaran dikedepankan, karena kebenaran bukan hanya berdasarkan suara mayoritas. Jika deliberasi adalah caranya, maka representasi adalah idenya. Yaitu, menghadirkan kembali (represent) rakyat dalam kepentingan, nilai, kebijakan dan pandangan politik.

Pilkada merupakan wujud kesetaraan setiap pemilih tanpa pandang bulu. Argumen egaliter ini tidak mengizinkan adanya tirani minoritas maupun intimidasi mayoritas. Representasi, mengikuti konsep Hanna Pitkin (1967), calon terpilih yang berwenang dalam memutuskan kebijakan kedudukannya sama dengan konstituennya. Substansi terjadi ketika pendapat dan tindakan perwakilan mencerminkan keinginan, kebutuhan dan kepentingan dari mayoritas pemilih yang dalam konteks Indonesia adalah masyarakat terpinggirkan. Standar untuk menilai kualitas representasi subtantif adalah daya tanggap perwakilan terhadap kebutuhan warga yang terus berkembang.

Jurang Pemisah

Realisasi partisipasi demokratis seringkali sebatas momentum elektoral belaka. Mobilisasi persuasif menjadi prioritas dengan pendulangan suara sebagai target utama.

Diawali dengan rekrutmen para calon kepala daerah melalui partai politik yang sentralistik, peran partai politik seringkali sebatas menjadi sarana pencalonan untuk mendapatkan tiket maju memperebutkan jabatan. Dasar mencalonkan atau tidak berbasis pada kemampuan pembiayaan dan penyediaan dukungan logistik saat mempengaruhi pilihan.

Begitupun kampanye, pendekatan pasangan calon bersama tim sukses kepada masyarakat pemilih dalam Pilkada masih dalam pendekatan transaksional. Pola yang digunakan untuk menyampaikan visi, misi, dan program masih menggunakan medium yang menjauhkan perbincangan dua arah dari hati ke hati. Media sosial justru menjadi sarana penyebaran konten saling serang daripada mempermudah komunikasi kepada pemilih.

Praktik pendekatan kepada pemilih dalam politik lebih bersifat individual daripada kepartaian. Para aktor yang bergabung di partai yang mengandalkan modalitas, diwujudkan dengan patronase yang didistribusikan secara privat misalnya politik uang, jual beli suara, pemberian hadiah pribadi atau sumbangan kelompok yang bersifat jangka pendek.

Kampanye dalam bentuk debat yang difasilitasi oleh KPU untuk memberikan kesempatan yang sama dalam adu gagasan, tidak jarang berakhir dengan dengan adu otot. Debat Pilkada yang sejatinya bertujuan untuk menyebarluaskan profil, visi dan misi, serta program kerja para pasangan calon sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan pilihan berubah menjadi ajang saling meneriakkan hujatan.

Setelah Pilkada dan kepala daerah dilantik, dokumen visi, misi dan program pasangan calon yang menjadi janji sepanjang kampanye juga tidak mudah untuk langsung dilaksanakan. Janji manis ini sangat bergantung pada dokumen perencanaan jangka panjang dan jangka menengah yang telah disusun sebelumnya secara teknokratis.

Bunga-bunga janji kampanye untuk memajukan daerah dengan rencana ini dan itu, terbatas pada ketentuan kebijakan desentralisasi, penyesuaian kebijakan pusat dengan daerah, kebijakan fiskal dan kondisi pendapatan asli daerah yang tidak mudah untuk diubah semudah membalikkan telapak tangan. Kebijakan birokratis seringkali menghambat pernyataan politis.

Partai politik memiliki kekurangan daya kontrol terhadap sumber daya patronase negara. Sebagaimana digambarkan oleh Edward Aspinall (2029), kontrol berdasarkan diskresi jabatan terhadap sumber daya negara didominasi oleh aktor politik, utamanya para birokrat, pejabat terpilih pada pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang kurang memiliki ikatan dengan partai politik. Partai politik bukanlah pemain utama dalam sistem patronase di Indonesia.

Keniscayaan Demokrasi

Sesungguhnya demokrasi prosedural dan substansial adalah satu tarikan napas. Tidak ada yang didahulukan atau salah satu menjadi prioritas. Demokrasi meniscayakan prosedur yang adil sekaligus menghasilkan kebijakan yang menyejahterakan pada saat yang sama.

Prosedur Pilkada yang menekankan pada proses pengambilan keputusan yang transparan dan adil, dengan fokus pada mekanisme dan aturan yang harus diikuti dalam menyelenggarakan momentum elektoral sejalan dengan substansinya, yaitu pada hasil dan kualitas dari keputusan yang diambil, termasuk membela kelompok terpinggirkan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Keduanya penting untuk memastikan bahwa Pilkada tidak hanya berjalan secara formal, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat kecil.

Dan, yang paling utama adalah reformasi partai dan aktor politik dalam kaderisasi, menyusun kebijakan partai, mengawal proses pemerintahan dari perencanaan dan pelaksanaan serta melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan menjadi perhatian besar dalam perbaikan sistem politik ke depan.

Partai politik menyediakan dan memastikan aktor yang direkrut dan dicalonkan tidak hanya memiliki kapasitas elektoral tetap juga manajemen pemerintahan yang baik. Ia berfungsi untuk mengakomodasi berbagai kepentingan kelompok sekaligus menjamin keberlangsungan hidup yang layak bagi mayoritas penduduk.

Partai politik, tidak hanya pada masa kampanye, mendorong dan memfasilitasi warga untuk terlibat dalam proses politik dan pengambilan keputusan pemerintah sepanjang jalan. Dengan berbagai metode dan sarana, partai politik menampung dan menyampaikan aspirasi serta kebutuhan masyarakat kecil untuk diakomodasi menjadi kebijakan pemerintah. Aspirasi tersebut juga dipastikan menjadi kebijakan ketika masuk dalam pembahasan teknokratis serta menjadi acuan dalam penyusunan rencana pembangunan.

Jika tidak begitu, demokrasi tidak akan pernah ada. Sebagus apapun prosedur, jika tidak menyertakan substansi alias meningkatkan kesejahteraan, demokrasi menjadi mati. Jangan sampai kondisi masa depan tetap seperti percakapan warung kopi di awal tulisan ini; Pilkada tidak mengubah kondisi apapun. Ya begini-begini saja.

Masykurudin Hafidz Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial