Jakarta -
Netralitas aparat TNI-Polri akan diuji habis-habisan dalam Pilkada 2024. Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 136/PUU-XXII/2024 yang mengancam pidana bagi aparat yang tidak netral menimbulkan kontroversi dan spekulasi di kalangan publik. Apakah ini merupakan langkah sah dalam menegakkan keadilan pemilu, atau adakah kemungkinan kriminalisasi yang disalahgunakan untuk kepentingan politik?
Pentingnya Netralitas Aparat
Netralitas aparat dalam pemilu adalah fondasi utama untuk memastikan bahwa pemilu berjalan dengan adil dan bebas dari intervensi. Ketika aparat TNI dan Polri bersikap netral, mereka tidak hanya menjaga keamanan dan ketertiban, tetapi juga memastikan bahwa semua peserta pemilu memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing. Sebaliknya, ketidaknetralan aparat dapat menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan publik, yang pada akhirnya merusak legitimasi hasil pemilu.
Dalam konteks Indonesia, sejarah menunjukkan bahwa netralitas aparat sering menjadi sorotan. Misalnya, dalam Pilkada 2018, terdapat 721 kasus dugaan pelanggaran netralitas ASN yang memicu polemik di masyarakat. Pada Pilkada 2020, Bawaslu mencatat 2.031 pelanggaran netralitas ASN termasuk keterlibatan ASN dalam kampanye, penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan politik, dan keberpihakan ASN terhadap salah satu calon. Hal tersebut menunjukkan bahwa menjaga netralitas aparat bukanlah tugas yang mudah, namun sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Transparansi dan Pengawasan
Transparansi dalam pengumpulan dan penyajian data terkait pelanggaran netralitas aparat adalah isu yang mendesak. Potensi manipulasi data oleh pihak-pihak tertentu dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Dalam situasi ini, spekulasi politik juga tak terhindarkan, terutama jika ada tuduhan bahwa hukum digunakan sebagai alat untuk memberangus lawan politik. Penggunaan hukum untuk kepentingan politik menciptakan preseden buruk bagi demokrasi, di mana keadilan dan kesetaraan menjadi taruhannya.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan. Misalnya, pembentukan tim independen yang bertugas memantau netralitas aparat selama proses pemilu dapat menjadi solusi yang efektif. Tim ini harus terdiri dari berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, aktivis, dan perwakilan dari lembaga-lembaga independen. Dengan demikian, pengawasan terhadap netralitas aparat dapat dilakukan secara objektif dan transparan.
Sejak diberlakukannya putusan MK Nomor 136/PUU-XXII/2024, sudah ada beberapa kasus pelanggaran netralitas aparat yang diproses secara hukum. Misalnya, Bawaslu Provinsi Jawa Tengah melaporkan bahwa putusan ini memberikan kekuatan baru dalam menindak pelanggaran netralitas ASN dan TNI/Polri. Ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pelanggaran netralitas aparat mulai berjalan, namun masih perlu ditingkatkan.
Dampak terhadap Kepercayaan Publik
Dampak dari putusan ini terhadap kepercayaan publik tidak bisa diabaikan. Kepercayaan publik adalah elemen kunci dalam demokrasi. Ketika publik percaya bahwa pemilu berjalan dengan adil dan transparan, mereka lebih cenderung menerima hasilnya, terlepas dari siapa yang menang. Sebaliknya, jika publik merasa bahwa pemilu dicurangi atau tidak adil, hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan dan potensi konflik.
Menurut survei terbaru oleh Charta Politika, hanya 45% masyarakat yang percaya bahwa aparat keamanan bersikap netral dalam pemilu. Angka ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang meragukan netralitas aparat, sehingga perlu upaya lebih untuk meningkatkan kepercayaan publik. Kepercayaan publik terhadap netralitas aparat juga berdampak pada partisipasi politik. Jika masyarakat merasa bahwa pemilu tidak adil, mereka mungkin enggan untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Hal ini dapat mengurangi partisipasi pemilih dan melemahkan legitimasi hasil pemilu.
Implikasi Hukum dan Politik
Dampak dari ketidaknetralan aparat dalam pemilu sangat serius, baik pada keadilan hukum maupun kepercayaan publik. Asas keadilan dalam proses hukum harus ditegakkan secara konsisten untuk menghindari ketimpangan perlakuan terhadap pihak-pihak yang terlibat. Jika hukum dipolitisasi, potensi kerusakan demokrasi sangat besar, mengingat kepercayaan publik terhadap sistem politik bisa runtuh. Selain itu, putusan ini juga memiliki implikasi yang luas bagi integritas pemilu. Dengan menegakkan netralitas aparat, kita memastikan bahwa pemilu tidak hanya adil tetapi juga terlihat adil.
Momentum ini sangat penting untuk membangun kepercayaan jangka panjang dalam sistem demokrasi kita. Ketika pemilu berjalan dengan baik, hal ini juga dapat meningkatkan partisipasi politik dan memperkuat demokrasi. Implikasi hukum dari ketidaknetralan aparat juga dapat berdampak pada stabilitas politik. Jika aparat tidak netral, hal ini dapat memicu ketegangan politik dan konflik sosial. Oleh karena itu, menjaga netralitas aparat sangat penting untuk menjaga stabilitas politik dan sosial.
Menjaga Kepercayaan Publik dan Demokrasi
Kesimpulannya, transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum sangat penting untuk menjaga integritas pemilu. Semua pihak harus bekerja sama untuk menciptakan sistem hukum yang bebas dari pengaruh politik, demi menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi. Hanya dengan cara ini, pemilu dapat berjalan adil dan memberikan hasil yang sah serta diterima oleh semua pihak.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai netralitas aparat dalam Pilkada 2024 adalah langkah yang perlu diapresiasi dan diawasi pelaksanaannya. Semoga ke depan, kita dapat melihat pemilu yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat tanpa intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk mencapai hal ini, diperlukan komitmen dari semua pihak, termasuk pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat.
Pemerintah harus memastikan bahwa aturan mengenai netralitas aparat ditegakkan secara konsisten dan adil. Aparat keamanan harus menjaga profesionalisme dan netralitas mereka selama proses pemilu. Masyarakat juga harus aktif dalam mengawasi proses pemilu dan melaporkan jika terdapat dugaan pelanggaran netralitas aparat.
Dengan demikian, kita dapat menciptakan pemilu yang adil, transparan, dan demokratis. Pemilu yang mencerminkan kehendak rakyat dan memperkuat demokrasi di Indonesia. Semoga Pilkada 2024 menjadi contoh bagi pemilu-pemilu berikutnya, di mana netralitas aparat dijaga dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi semakin kuat.
Junet Hariyo Setiawan aktivis literasi hukum
(mmu/mmu)