Jakarta -
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) merilis hasil survei mengenai 100 hari kinerja kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Selasa (21/1). Survei dilakukan dengan metode penilaian berbasis expert judgement oleh panelis yang diklaim terdiri dari 95 orang jurnalis dari 44 lembaga pers kredibel. Para menteri yang dinilai oleh panelis berkinerja baik mendapatkan nilai positif (rapor hijau). Sedangkan yang dinilai berkinerja buruk mendapatkan nilai negatif (rapor merah).
Secara keseluruhan CELIOS menilai bahwa pencapaian program kerja dari Kabinet Merah Putih tidak memuaskan. Bahkan Presiden Prabowo Subianto hanya diberikan nilai 5 dari 10, sementara Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mendapat nilai yang lebih rendah lagi yaitu 3 dari 10. Hasil survei CELIOS ini terbilang cukup kontroversial, mengingat Litbang Kompas juga baru merilis hasil survei dengan tingkat kepuasan publik yang sangat tinggi terhadap kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mencapai 80,9%.
Opini Ahli
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Metode penilaian berbasis expert judgement menurut Cipriano Luckesi (1996) merupakan penilaian berdasarkan opini ahli yang dilakukan untuk mengatasi keterbatasan data kuantitatif atau objektif, terutama ketika evaluasi membutuhkan pertimbangan kualitas yang tidak dapat diukur dengan instrumen standar. Walaupun berguna dalam situasi di mana informasi kuantitatif terbatas, namun metode ini juga dikritik oleh banyak tokoh, di antaranya peraih Nobel di bidang ekonomi, Herbert A. Simon, yang mengatakan bahwa expert judgement sering tidak cukup untuk menghadapi situasi yang memerlukan analisis mendalam berbasis data.
Pada dasarnya metode penilaian berbasis expert judgement yang digunakan pada survei CELIOS ini memiliki banyak sekali kelemahan, di antaranya; pertama, penilaian sangat bergantung pada opini pribadi para panelis, yang sangat bergantung pada latar belakang, pengalaman, atau sudut pandang masing-masing. Pendapat subjektif ini sulit untuk distandardisasi dan sering kali tidak konsisten.
Kedua, karena sifatnya subjektif, sulit untuk mereplikasi hasil penilaian. Pendapat panelis yang berbeda mungkin memberikan hasil penilaian yang berbeda pula. Ketiga, panelis bisa saja dipengaruhi oleh tekanan sosial, politik, atau ekonomi yang mempengaruhi objektivitas mereka. Misalnya, panelis mungkin merasa terpaksa memberikan penilaian tertentu karena konflik kepentingan.
Keempat, panelis yang dipilih bisa jadi dianggap ahli dalam bidangnya, tetapi tidak dapat dijadikan representasi untuk populasi yang lebih besar atau masyarakat umum. Hal ini dapat menyebabkan kesenjangan antara pendapat panelis dan kondisi sesungguhnya di lapangan.
Potensi Kesalahan
Beberapa kelemahan dari metode penilaian berbasis expert judgement mengakibatkan hasil survei dengan menggunakan metode ini berpotensi besar mengalami kesalahan, bahkan dapat berisiko mengakibatkan dampak yang sangat buruk. Berikut ini beberapa contoh kasus dari hasil penilaian yang salah dan mengakibatkan dampak yang sangat buruk.
Pertama, Kasus Penilaian Kualitas Sistem Keuangan di Amerika Serikat (2008). Pada krisis finansial 2008, beberapa lembaga keuangan besar di AS, seperti Lehman Brothers, Merrill Lynch, dan AIG, dinilai menggunakan metode penilaian berbasis expert judgement oleh para analis dan rating agencies seperti Moody's, S&P, dan Fitch.
Masalah yang terjadi: panelis menilai kualitas produk keuangan (misalnya, mortgage-backed securities) sebagai aman dan stabil, meskipun banyak tanda-tanda peringatan tentang potensi kerentanannya. Analisis ini banyak dipengaruhi oleh ketidakmampuan atau ketidaksediaan panelis untuk mengakui kerentanan sistemik yang lebih besar dalam sistem keuangan global. Panelis mengabaikan sinyal-sinyal risiko dan lebih fokus pada proyeksi yang terlalu optimistis.
Dampak yang ditimbulkan: keputusan dan penilaian yang dihasilkan oleh para panelis ini berdampak besar pada krisis finansial global, dengan jatuhnya lembaga-lembaga besar dan menurunnya kepercayaan pada sistem keuangan global. Kasus ini menunjukkan bahwa bahkan para "ahli" dapat memberikan penilaian yang salah atau bias, terutama ketika mereka terpengaruh oleh faktor eksternal, seperti keuntungan finansial atau tekanan industri.
Kedua, Kasus Penilaian Kecelakaan Chernobyl (1986). Ketika kecelakaan nuklir Chernobyl terjadi pada 1986, para pakar yang terlibat dalam investigasi awal sempat meremehkan tingkat bahaya yang ditimbulkan, dan pemerintah Soviet, yang menggunakan penilaian dari pakar-pakar tersebut, menunda pengumuman tentang potensi ancaman radiasi.
Masalah yang terjadi: para panelis yang dilibatkan dalam penilaian bencana ini gagal memprediksi dampak jangka panjang dari radiasi, serta cenderung memberikan penilaian yang lebih ringan untuk menjaga citra negara. Panelis juga tidak cukup transparan mengenai seberapa besar ancaman yang dihadapi, dan hasil penilaian yang tidak sepenuhnya objektif sehingga mengarah pada penundaan evakuasi dan tanggap darurat.
Dampak yang ditimbulkan: banyak orang yang terpapar radiasi tanpa perlindungan yang memadai, yang menyebabkan banyak korban jiwa dan masalah kesehatan jangka panjang. Kasus ini menggarisbawahi potensi bahaya dari expert judgement yang bias atau tidak memadai dalam penilaian risiko, terutama ketika ada kepentingan politik atau sosial yang mempengaruhi keputusan.
Rendra Falentino Sekretaris Bidang Kebijakan Industri DPP Partai Golkar periode 2024-2029, Ketua Umum PP GMNI periode 2008-2011
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu