Kerja Paksa Industri Penerbangan

1 month ago 28

Jakarta -

Industri penerbangan sedang menjadi primadona pembahasan di kelompok Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, khususnya Kementerian Perhubungan yang terus-menerus membahas harga tiket penerbangan domestik terjadwal yang sangat mahal menurut pemerintah, baik di kabinet lalu maupun sekarang, dan para politisi di Senayan. Yang dimaksud industri penerbangan meliputi maskapai penerbangan, bandara, air navigasi, penjual tiket (termasuk agen tiket online), dan industri pendukungnya seperti operator bahan bakar (Pertamina), ground handling, hingga katering.

Pemerintah lupa bahwa tarif di maskapai penerbangan berjadwal sejak deregulasi penerbangan tahun 2000, tidak lagi dikontrol oleh pemerintah, kecuali pengaturan tarif batas atas (TBA) dan bawah (TBB) untuk kelas ekonomi diatur oleh Menteri Perhubungan. Jika harga tiket pesawat ada di antara itu, pemerintah tidak perlu pusing karena itu urusan pasar. Namun kalau TBA dan TBB yang ditetapkan sudah tidak efektif lagi karena kondisi moneter dan harga avtur melonjak misalnya, maka Menteri Perhubungan dapat menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan baru. Tidak perlu ribut-ribut seolah olah bumi akan kiamat.

Sejauh ini TBA dan TBB sudah diatur oleh Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 14 Tahun 2016 yang mengatur mekanisme perhitungan dan penetapan tarif batas atas dan batas bawah tiket pesawat kelas ekonomi dan Kepmen Menhub No. 106 Tahun 2019 yang mengatur tarif batas atas dan tarif batas bawah tiket pesawat terbang. Kewajiban pemerintah (Kemenhub) hanya sampai di sini. Jadi tidak perlu para menteri ribut. Tugas pemerintah adalah bagaimana industri penerbangan ini bisa berjalan dengan baik dan bersaing di kancah internasional dan berkeselamatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kondisi perekonomian dunia yang sedang tidak baik baik saja sudah memperburuk kondisi ekonomi Indonesia yang sejak Covid-19 sudah semaput. Daripada mengurusi tarif di industri penerbangan yang sudah berjalan sesuai pasar, lebih baik pemerintah memperbaiki peraturan lain yang dapat mendorong dan melindungi industri penerbangan moncer di dunia dan berkeselamatan. Kerja paksa kawan-kawan di industri penerbangan harus dihindari.

Pasar penerbangan kelas ekonomi berjadwal

Pangsa pasar industri penerbangan kelas ekonomi masih cukup baik, meskipun secara politis harga tiket pesawat kelas ekonomi selalu dikatakan mahal. Perlu kita ketahui bahwa setelah deregulasi industri penerbangan, peran pemerintah hanya sebagai regulator keselamatan penerbangan, ditambah mengatur TBA dan TBB saja. Ngapain Kementerian Perhubungan, begitu pula Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, rapat berkepanjangan tetapi hasilnya tidak signifikan? Sementara industri penerbangan dan pendukungnya makin terpuruk secara bisnis.

Hasil Rapat terakhir 20 Nopember 2024 terkait harga tiket pada Natal dan Tahun Baru 2025 di Kementerian Perhubungan menghasilkan beberapa keputusan, antara lain: fuel surcharge untuk pesawat jet diturunkan dari 8% menjadi 2% selama 16 hari (19 Desember 2024 - 3 Januari 2025), fuel surcharge untuk pesawat propeller diturunkan dari 25% menjadi 20% selama 16 hari (19 Desember 2024 - 3 Januari 2025), PJP4U dan PJP2U diturunkan 50% di semua bandara selama 16 hari (19 Desember 2024 - 3 Januari 2025), harga avtur selama Desember 2024 (31 hari) tidak naik di 19 bandara. Rapat dihadiri Menteri Perhubungan beserta jajarannya, Airnav, dan beberapa maskapai domestik berjadwal. Ini kebijakan sesaat yang dapat mengganggu neraca industri penerbangan.

Periode Liburan Natal dan Tahun Baru dan masa Angkutan Lebaran 2025 merupakan masa panen industri penerbangan. Dimana maskapai, bandara, dan perangkat lainnya berkesempatan rebound untuk dapat menutup kerugian yang selama ini terjadi. Ngapain lagi pemerintah sibuk? Lalu buat apa deregulasi yang ada? Memangnya kalau menyuruh industri penerbangan kerja rodi, penerbangan berjadwal kelas ekonomi tumbuh? Bagaimana kalau semakin terpuruk? Apakah pemerintah mau memberikan subsidi atau penugasan untuk maskapai dan perangkat industri penerbangan lain supaya bisa terbang tinggi?

Sebagai pembanding, harga tiket pesawat Garuda dan Batik (full service) rata-rata pada April 2019 berdasarkan KM Perhubungan No. 106 Tahun 2019: Jakarta (CGK) - Jogja (JOG) Rp 860.000, Jakarta (CGK) - Surabaya (SUB) Rp. 1.167.000, Jakarta (CGK) - Bali (DPS) Rp 1.431.000, serta Jakarta (CGK) - Medan (KNO) Rp 1.799.000. Sedangkan berdasarkan harga tiket rata-rata pada minggu ketiga November 2024 (Tiket.com dan Traveloka): Jakarta (CGK) - Jogjakarta (JOG) Rp 1.591.815, Jakarta (CGK) - Surabaya (SUB) Rp. 1.558.752 , Jakarta (CGK) - Denpasar (DPS) Rp. 1.800.000, Jakarta (CGK) - Medan (KNO) Rp. 2.400.000. Ada kenaikan rata-rata 20% (DPS) - 46% (JOG).

Selain itu keterlibatan Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan dalam memaksakan penurunan harga tiket penerbangan domestik menjadi pertanyaan banyak pihak, termasuk maskapai penerbangan, bandara, Pertamina, dan Airnav. Seperti kita ketahui, Menteri Perhubungan tidak dapat mengatur tarif penerbangan kecuali hanya mengatur Tarif Batas Atas melalui Permenhub No. 20 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Formulasi Perhitungan Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri serta Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019 Tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri

Langkah pemerintah

Sementara itu menurut saya, penyebab utama tiket penerbangan domestik berjadwal mahal karena menguatnya USD terhadap Rupiah. Sementara mayoritas pendapatan maskapai dalam Rupiah. Penyebab kedua adanya konflik Rusia vs Ukraine yang tak kunjung selesai. Sehingga muncul berbagai boikot yang menyebabkan kelangkaan suku cadang pesawat yang berakibat harga melonjak dan barang langka. Saat Permenhub No. 20 Tahun 2019 disahkan pada 24 Maret 2019, nilai tukar USD terhadap Rupiah adalah Rp 14.000 an. Sedangkan hari ini Rp 15.900-an per USD atau naik sekitar 12%.

Kasarnya, jika pemerintah bisa menaikkan nilai tukar Rupiah terhadap USD kembali ke Rp 14.000, maka harga tiket pesawat akan turun 12%. Mungkin bisa lebih jika berbagai pungutan pajak dan bea masuk suku cadang dikurangi dalam kurun waktu tertentu. Kalau harga avtur pemerintah tidak dapat mengatur langsung, kecuali menekan Pertamina melalui penugasan. Jika Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) diturunkan, maka kenyamanan penumpang di bandara akan berkurang, misalnya AC kurang dingin, toilet bau, tidak banyak musala. Begitu pula dengan Pelayanan Jasa Pendaratan Penempatan dan Penyimpanan Pesawat Udara (PJP4U), maka parkir pesawat tidak diatur. Lalu bagaimana dengan keselamatan penerbangan?

Ada saran dari para pemain industri penerbangan, meskipun itu langkah mundur, yaitu memisahkan biaya PJP2U dengan harga tiket atau PJP2U atau yang dikenal dengan Airport Tax dibayar terpisah lagi seperti zaman batu dulu. Silakan pemerintah bekerja dengan baik supaya perekonomian tumbuh dan harga tiket tidak bermasalah karena memang tidak diatur oleh pemerintah. Hindari kerja paksa di industri penerbangan dan basmi korupsi di berbagai sektor, termasuk aparat penegak hukum, yang semakin membuat bangsa ini terpuruk.

Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial