Kepala Ikan untuk Ayah

1 month ago 29

Jakarta -

Di rumah sederhana yang sering diwarnai aroma gurih dan harum dari dapur, setiap kali ibu memasak ikan, anak-anaknya pasti mengerubungi meja makan dengan antusias. Ada kegembiraan tersendiri di sana: menyaksikan wajan mendidih, mendengar suara minyak yang berdesis, menanti ikan yang matang sempurna di tangan ibu yang lihai mengolah rasa. Biasanya, ibu akan menyuguhkan hidangan itu dengan rapi, potongan ikan yang penuh akan dagingnya, yang menggiurkan, siap dibagikan.

Tapi di sinilah terjadi sebuah adegan yang tak pernah berubah. Setiap anak berlomba ingin bagian tengah, daging yang empuk dan tak bertulang, atau ekor yang renyah. Selalu saja, kepala ikan dibiarkan sendirian. Teronggok di piring, seolah bagian itu tak ada yang menginginkannya. Tentu saja, bagi anak-anak, kepala ikan adalah bagian yang paling asing, bahkan sedikit menakutkan—terutama karena matanya yang besar dan tajam. Tak ada yang mau meraihnya, dan tak ada yang merasa bersalah karenanya.

Lalu datanglah ayah, seperti biasa, duduk tenang di ujung meja. Saat anak-anak mulai mengisi piring mereka, ayah dengan santainya mengambil kepala ikan itu, tanpa banyak kata. Dia menyuapinya pelan-pelan, mengunyah dengan telaten, seperti mengajak kita semua untuk melambatkan waktu. Tak ada ekspresi keberatan atau keengganan, seolah kepala ikan itu memang selalu menjadi hak miliknya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dulu, mungkin kita bertanya-tanya mengapa ayah selalu memilih bagian itu. Tentu saja bukan karena itu favoritnya—tak pernah sekali pun ia mengatakan bahwa ia lebih suka kepala ikan daripada bagian lainnya. Namun lambat laun, kita mulai memahami sesuatu. Kepala ikan itu bukanlah soal rasa; ia adalah simbol. Bagian yang tak diinginkan anak-anak, yang tersisa tanpa diperebutkan, selalu menjadi milik ayah. Dan, ayah pun mengambilnya dengan sebuah penerimaan yang penuh pengertian.

Di sinilah kita mulai melihat sekilas pengorbanan yang sering tersembunyi, seperti bagaimana ayah memilih kepala ikan. Seperti banyak hal dalam hidupnya, ia tak pernah menyuarakan apa yang sebenarnya ia inginkan. Mungkin ia lebih suka bagian yang tebal dengan daging, tetapi ia memilih kepala itu dengan penuh kesadaran, karena ia tahu anak-anaknya akan lebih bahagia jika bisa menikmati bagian yang mereka sukai.

Ketika dewasa, barulah kita menyadari betapa dalamnya tindakan sederhana itu. Mungkin saat kecil, kita hanya melihat kepala ikan sebagai sesuatu yang tak diinginkan. Tapi kini, kita melihatnya sebagai tanda kasih yang lebih besar dari sekadar bagian makanan. Kepala ikan menjadi simbol dari banyak hal yang tak terlihat dalam pengorbanan seorang ayah—sesuatu yang bahkan mungkin tak pernah ia akui.

Dan, seperti itu jugalah ayah menjalani hidupnya, sering dalam keheningan, dengan penuh rasa tanggung jawab. Dalam banyak aspek lain, ia mengambil hal-hal yang mungkin bagi kita bukan pilihan utama, tetapi justru dengan pilihan itu ia menunjukkan bahwa kebahagiaan orang lain adalah yang utama. Ketika ada yang harus berjalan kaki ke kantor karena mobilnya dipakai anak untuk sekolah, ayah selalu melangkah dengan sabar, tak pernah mengeluh. Ketika ia tahu anaknya membutuhkan biaya tambahan untuk kuliah, ia rela mengurangi jatah kopinya, meskipun ia tak pernah memberi tahu alasan mengapa ia tak lagi membeli kopi favoritnya di akhir pekan.

Mungkin bagi kita yang masih muda, hidup adalah tentang pilihan-pilihan yang memuaskan diri sendiri, pilihan yang penuh ambisi dan hasrat. Kita mengejar apa yang kita inginkan tanpa pikir panjang, memuaskan keinginan dan cita-cita yang membakar. Tapi ayah mengajarkan kita bahwa dalam hidup, terkadang pilihan yang terbaik adalah pilihan yang memberikan lebih banyak ruang bagi orang lain untuk menikmati bagian mereka. Kepala ikan adalah pesan yang lebih dalam daripada sekadar makan siang di meja keluarga. Kepala ikan adalah tentang keikhlasan, tentang memberikan tanpa merasa kehilangan.

Begitulah, ayah, dari waktu ke waktu, menjadi "penggemar" kepala ikan. Mungkin sejak awal ia tak sungguh-sungguh menyukainya, mungkin dulu ia pun ingin mendapatkan bagian yang lebih banyak dagingnya. Tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai mencintai kepala ikan itu, atau setidaknya, ia mencintai peran yang diwakili oleh kepala ikan itu. Tanpa ia sadari, dirinya menjadi satu dengan bagian yang sederhana itu, seperti cara hidup yang ia jalani.

Hingga di akhir hayatnya, kepala ikan tetap menjadi bagian yang diambilnya tanpa suara, tanpa pamrih. Pada saat itulah, kita benar-benar memahami bahwa cinta dan pengorbanan seorang ayah tak perlu terucap; ia hadir dalam bentuk yang sederhana, dalam pilihan-pilihan kecil yang terus diambil setiap hari.

Ketika ia pergi, meja makan terasa hening. Kita melihat kembali kepada kepala ikan yang kali ini tak ada lagi yang mengambilnya. Anak-anak yang kini sudah dewasa duduk di sekeliling meja, memandang potongan ikan itu seolah benda tersebut baru, seolah-olah mereka baru pertama kali melihatnya.

Mungkin inilah saatnya kita mengambil giliran itu, mengambil kepala ikan yang dahulu tak pernah kita sentuh. Ini bukan lagi tentang siapa yang lebih suka atau tidak. Kini kita mengerti, bahwa mengambil kepala ikan adalah cara untuk menghormati sebuah perjalanan panjang, sebuah cinta yang tak pernah dikatakan, tetapi selalu hadir. Kepala ikan, yang dahulu tak berarti apa-apa, kini menjadi sesuatu yang lebih besar dari sekadar bagian dari hidangan makan. Ia adalah kenangan, sebuah warisan dari cinta yang tak pernah meminta balasan, tetapi justru memberikan segalanya tanpa banyak bicara.

Kini, setiap kali ibu kembali memasak ikan, kita melihat kepala itu di atas piring dan tersenyum. Tanpa banyak berkata, kita paham bahwa mungkin kepala ikan itu memang tak enak untuk sebagian orang. Tapi itu tak lagi soal rasa. Kepala ikan menjadi bagian dari hidup kita, sebuah penanda kecil yang mengingatkan bahwa dalam hidup, kadang kita mengambil apa yang tersisa, bukan karena itu yang kita inginkan, tetapi karena itulah yang membuat orang lain bahagia.

Kepala ikan adalah ayah kita, dan kita akan terus mengenangnya, setidaknya setiap kali ikan disajikan di meja makan.

Adib Abadi kolumnis

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial