Kenapa Perang Kembali Berkobar di Kongo?

1 month ago 34

Kinshasa -

Eskalasi kekerasan teranyar di Republik Demokratik Kongo, DRC, dikhawatirkan akan memicu kekacauan di salah satu negara yang paling dilanda konflik di Afrika itu.

Pada tanggal 27 Januari, kelompok pemberontak M23, yang didukung militer dari negara tetangga Rwanda, menduduki Goma, kota terbesar di timur Kongo. Dengan jumlah populasi sekitar 1 juta orang, Goma memainkan peran penting dalam menopang ekonomi dan administrasi di DRC.

Kekacauan diperparah oleh bobolnya penjara terbesar di Goma pada hari Senin (27/01/25). Akibatnya, lebih dari 4.000 narapidana melarikan diri dan penduduk mengunci diri di dalam rumah demi keselamatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Para pengunjuk rasa juga menyerang kedutaan besar Belgia, Belanda, Kenya, Uganda, dan Amerika Serikat, demi mendesak dunia internasional agar menekan Rwanda atas perannya di balik kerusuhan di Goma.

Kenapa konflik meletus?

Republik Demokratik Kongo dikarunai ragam kekayaan sumber daya alam, termasuk logam dan mineral seperti emas, timah, dan coltan, yang dibutuhkan untuk pembuatan ponsel dan baterai kendaraan listrik.

Namun bukan kemakmuran, limpahan sumber daya di Kongo malah memicu siklus korupsi dan pertumpahan darah antara kelompok bersenjata, milisi lokal, dan aktor asing yang bersaing untuk menguasai wilayah tersebut. DRC telah diguncang konflik selama lebih dari 30 tahun sejak meletusnya genosida di Rwanda tahun 1994.

Imbas terburuk dialami oleh warga sipil Kongo. Konflik bersenjata memaksa lebih dari 7 juta orang mengungsi di dalam negeri. Organisasi hak asasi manusia melaporkan kekejaman yang meluas, termasuk pembantaian, kekerasan seksual, dan perekrutan tentara anak-anak.

Inti dari krisis saat ini adalah kebangkitan kelompok pemberontak M23 yang dipimpin oleh etnis Tutsi. Kekuasaan M23 sempat melejit pada tahun 2012 dengan berhasil merebut kota Goma, namun diusir oleh militer Kongo dan pasukan PBB pada tahun 2013. Kelompok tersebut kembali mengobarkan perang pada tahun 2021, dengan klaim untuk melindungi suku Tutsi di Kongo timur dari diskriminasi dan kekerasan.

Namun, para pemimpin DRC di ibu kota Kinshasa mengatakan, kelompok M23 adalah proksi bagi negara asing yang berusaha untuk menguasai sumber daya mineral yang kaya di negara itu, terutama merujuk pada Rwanda dan Uganda.

Saat ini ada lebih dari 100 kelompok bersenjata yang berbeda yang berusaha mendapatkan wilayah pijakan di timur DRC. Upaya untuk mengamankan wilayah tersebut, termasuk kesepakatan damai antara pemerintah DRC dan pemberontak M23 pada tahun 2013 di Nairobi, Kenya, telah berulang kali gagal.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Apa peran Rwanda?

Dugaan keterlibatan Rwanda dalam mengompori konflik di DRC menjadi salah satu sumber ketegangan di Afrika. Pemerintah Rwanda berulang kali membantah telah mendukung pemberontak M23. Tetapi sejak 2012, para ahli PBB dan organisasi hak asasi manusia menyatakan secara eksplisit bahwa Rwanda memang mendukung M23 dalam bentuk penyediaan logistik, senjata, dan bahkan personel.

Keruwetan di DRC berawal dari genosida Rwanda tahun 1994, di mana 800.000 orang, terutama dari komunitas Tutsi, dibantai kelompok ekstremis etnis Hutu. Genosida tersebut berakhir ketika presiden Rwanda saat ini, Paul Kagame, memimpin pemberontakan Tutsi melawan rejim Hutu. Akibatnya, banyak warga Hutu melarikan diri melintasi perbatasan ke Kongo.

Setelah lebih dari tiga dekade genosida, Presiden Kagame menuduh sejumlah kelompok yang bertanggung jawab masih beroperasi di timur Kongo, terutama Pasukan Demokratik untuk Pembebasan Rwanda, FDLR. Pemberontak Hutu yang dituduh melakukan kejahatan perang itu pernah membantu Kongo melumpuhkan kelompok Tutsi M23.

Rwanda mengklaim FDLR dan kelompok bersenjata etnis Hutu lain menimbulkan ancaman langsung terhadap keamanan Rwanda.

Namun, pemerintah DRC sebaliknya menuduh Rwanda menggunakan konflik Hutu dan Tutsi sebagai kedok untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, khususnya di wilayah yang dikuasai oleh M23.

Perdagangan mineral, termasuk perdagangan emas dan coltan ilegal, merupakan bisnis besar yang diduga mendatangkan kucuran uang bagi Rwanda, sekaligus mengganggu stabilitas DRC.

Dr. Hassan Khannenje, Direktur Institut Internasional HORN untuk Studi Strategis, mengatakan kepada DW bahwa Rwanda tidak mungkin meninggalkan DRC dalam waktu dekat.

"Rwanda telah, sedang, dan akan selalu terlibat dalam DRC. Negara ini memiliki kepentingan strategis dan nasional bagi Rwanda, jadi ini bukan hanya tentang mineral," katanya kepada DW.

"Namun, mineral cenderung memicu api," tambahnya. Khannenje mengatakan kelompok pemberontak yang bersaing memberikan "alasan tambahan untuk menduduki sebagian wilayah DRC."

Buntutnya, pada tanggal 26 Januari, DRC memutuskan hubungan diplomatik dengan Rwanda. Upaya regional untuk menengahi kedua negara sejauh ini hanya menghasilkan sedikit kemajuan.

Dapatkah konflik bereskalasi?

Menurut PBB, konflik di DRC berpotensi meningkat menjadi krisis regional yang lebih luas. Namun, beberapa pakar, termasuk Khannenje, mengatakan kekhawatiran tersebut tidak akan terjadi.

"Apa yang mungkin kita lihat mungkin hanya bertambahnya jumlah pihak yang bertikai, yaitu pemerintah DRC dan juga M23, serta negara-negara di kawasan tersebut maupun dari luar kawasan," kata Khannenje.

Uganda, seperti Rwanda, juga dituduh mendukung kelompok bersenjata di Kongo timur, meskipun dibantah oleh pemerintah di Kampala.

Sementara itu, para pengungsi dari Kivu Utara di DRC Timur telah melarikan diri ke negara-negara tetangga, yang dikhawatirkan akan ikut memicu ketidakstabilan.

Dunia internasional telah menjatuhkan sanksi kepada para gembong M23, beserta peringatan bagi Rwanda dan Uganda. Namun, dunia internasional cendrung mendiamkan. Akibatnya, negara-negara Afrika harus menanggung beban konflik di Kongo. Eskalasi konflik bisa berakibat fatal bagi populasi DRC yang berjumlah lebih dari 100 juta orang.

Organisasi kemanusiaan memperingatkan bahwa eskalasi kekerasan dapat memicu kelaparan, wabah penyakit, dan pengungsian massal. Tanpa tindakan segera, konflik berisiko berubah menjadi tragedi berskala besar dengan konsekuensi bagi seluruh wilayah.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

(nvc/nvc)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial