(Kembalinya) Trump, Indo-Pasifik, dan Sikap Indonesia

1 month ago 22

Jakarta -

Kemenangan meyakinkan Presiden terpilih Donald J. Trump telah mengubah Washington. Trump diyakini akan nyaman di pemerintahan karena Partai Republik memenangi mayoritas senat dan dalam pidato kemenangannya telah menyampaikan keinginannya "untuk tidak tidur hingga membawa Amerika terus menjadi negara adidaya."

Di sisi lain, Kamala Harris berpidato di Universitas Howard setelah menelepon presiden terpilih untuk memberi ucapan selamat. "Meskipun saya mengakui kekalahan dalam pemilihan ini, saya tidak mengakui pertarungan yang memicu kampanye ini," katanya kepada para pendukung. Harris menawarkan kepada para pendukungnya kepastian, khususnya generasi muda. Mengulang motonya "ketika kita berjuang, kita menang", ia menambahkan, "Begini masalahnya: Terkadang pertarungan butuh waktu."

Mantan Presiden Bill Clinton dan mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka berharap Presiden terpilih Donald J. Trump dan Wakil Presiden terpilih JD Vance "akan memerintah untuk kita semua," dan bahwa mereka berharap pemerintahan yang akan datang berjalan dengan baik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemenangan Trump tentunya akan berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Untuk memahami arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat, sangat penting untuk memahami aspek sejarah. Membaca tren sejarah kebijakan intervensi Amerika Serikat bisa memberikan kita gambaran karakter kebijakan luar negeri negara tersebut didasarkan pada partai yang memenangkan pemilu presiden.

Kita dapat melihat bahwa Partai Republik mempunyai karakter agresif, terlihat dari bagaimana mereka memiliki kecenderungan pro-intervensi dalam kebijakan luar negeri. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa peristiwa-peristiwa penting seperti Retorika Anti-Komunisme yang ditekankan oleh Partai Republik mengkritik kebijakan containment Partai Demokrat yang dianggap kurang tegas atau terlalu lunak dalam menangkal penyebaran komunisme pada periode 1961 - 1969; Pendekatan Ronald Reagan melalui "Reagan Doctrine" yang mendukung gerakan anti-komunis yang memicu intervensi militer di Nikaragua, Granada, dan Afghanistan.

Selain itu Partai Republik juga melakukan militerisasi melalui pendekatan peace trough strength; Peran dominan Amerika Serikat dalam perang melawan teror pasca Serangan 9/11 mendorong Partai Republik mengadopsi kebijakan agresif melalui operasi militer di Afghanistan dan Irak.

Agenda 47

Berdasarkan Program Kampanye Donald Trump yang terangkum dalam "Agenda 47" terdapat poin-poin yang menjadi indikator karakter/arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat, antara lain Restoration of Peace Trough Strength, di mana Amerika Serikat akan fokus pada modernisasi militer dan penguatan aliansi strategis regional khususnya di kawasan Indo-Pasifik.

Dalam poin ini, salah satu fokus utama adalah menangkal dominasi China; Secure Strategic Independence from China, fokus untuk mencabut hak istimewa untuk impor China dan membatasi akuisisi properti dan aset industri; Rebalance Trade, pemberlakuan tarif dasar untuk impor; Bring Home Critical Supply Chains, pengembalian rantai pasok yang ditujukan untuk meningkatkan ekonomi nasional, ketahanan nasional dan stabilitas ekonomi; Become the Manufacturing Superpower, program untuk mengembalikan industri manufaktur ke Amerika Serikat; Save the American Auto Industry, mengembalikan dominasi industri otomotif Amerika Serikat.

Berdasarkan poin-poin tersebut, pendekatan Donald Trump dan Partai Republik berfokus pada kemandirian ekonomi, penguatan militer, dan perlindungan terhadap kepentingan nasional. Amerika Serikat di bawah Donald Trump akan cenderung mempertahankan pendekatan keras terhadap negara-negara seperti China, mengurangi ketergantungan pada rantai pasokan global, dan memastikan supremasi militer serta ekonomi di panggung internasional.

Politik Amerika di Kawasan Indo-Pasifik

Trump memiliki fokus yang kuat di wilayah Indo-Pasifik. Setidaknya kebijakan Trump ke depan yang akan dilakukan antara lain: Mendorong peningkatan kehadiran militer AS di kawasan Indo-Pasifik untuk melawan pengaruh China, termasuk kerja sama pertahanan yang lebih intens dengan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia; Membatasi pengaruh RRT di wilayah tersebut, termasuk dari sisi ekonomi, perdagangan, dan keamanan; Kebijakan perdagangan Trump yang proteksionis dapat menimbulkan tantangan bagi negara-negara di kawasan.

Dalam aspek geopolitik modern, aktor politik tetap harus dipandang sebagai sebagai aktor rasional yang menjadikan kepentingan nasional sebagai rasio utama. Selain itu, kita harus menyadari untuk mencapai tujuan kepentingan nasional tersebut; maka terdapat dua aspek penting yang harus dipenuhi yaitu aspek militer dan penguasaan ekonomi.

Trump dan Partai Republik mempunyai kecenderungan lebih agresif dan konfrontatif dalam kebijakan luar negeri khususnya di wilayah Indo-Pasifik. Hal ini karena pendekatan Trump yang menekankan kehadiran kekuatan militer dan aliansi keamanan guna mencapai keseimbangan.

Selain itu, Trump cenderung konfrontatif dalam menghadapi dan membendung kekuatan China secara langsung dalam hal ekonomi dan perdagangan. Hal ini berpotensi melahirkan risiko ketegangan ekonomi di antara China dan Amerika Serikat. Secara keseluruhan, pendekatan Donald Trump mencerminkan realisme klasik, di mana keamanan nasional dan kekuatan militer menjadi prioritas utama.

Lalu, bagaimana prospeknya bagi kepentingan strategis Indonesia? Pendekatan yang lebih menguntungkan bagi Indonesia tetap tergantung pada prioritas kebijakan luar negeri Indonesia sendiri. Jika tujuan utama Indonesia adalah menahan dominasi militer China di Laut China Selatan, pendekatan Trump mungkin lebih menguntungkan dalam jangka pendek. Kehadiran militer yang lebih kuat dari AS di kawasan dapat memberikan Indonesia perlindungan tambahan dari ekspansi China dan menjaga keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut.

Pasca Perang Dingin, Partai Demokrat cenderung mengalami peningkatan anggaran total sebesar 189.22% sementara Partai Republik adalah 139.48%. Hal ini menjadi paradoks, karena meskipun Partai Republik mempunyai image yang agresif atau hawkish namun faktanya Partai Demokrat yang dovish cenderung mempunyai peningkatan anggaran yang lebih besar.

Selaras dengan bagaimana terdapat hubungan kausalitas antara pengeluaran militer dan upaya mitigasi risiko geopolitik, naiknya anggaran/pengeluaran militer Amerika Serikat disebabkan oleh upaya mitigasi risiko geopolitik yang cukup tinggi. Atas dasar tersebut, variabel presiden atau partai pemenang pemilu presiden tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dalam melihat tingkat "agresivitas" dari Amerika Serikat di sektor militernya.

Seperti yang pernah disampaikan Ghosh (2001), penggunaan atau ancaman angkatan laut (kekuatan bersenjata) yang terbatas, selain sebagai tindakan perang, dalam rangka mengamankan keuntungan atau mencegah kerugian, baik dalam rangka memajukan suatu pertikaian internasional atau terhadap warga negara asing di dalam wilayah atau yurisdiksi negara mereka sendiri.

Kebijakan yang agresif dari sebuah negara sendiri pada dasarnya linear dengan kehadiran, jumlah, dan kualitas dari alutsista negara tersebut. Berdasarkan data IISS pada 2024 paling tidak Amerika Serikat menempatkan 224 pesawat tempur dan 205 kapal tempur didukung 790 helikopter di Kawasan Indo-Pasifik.

Kehadiran alutsista Amerika Serikat sendiri di Kawasan Indo-Pasifik tersebar di beberapa wilayah seperti di Jepang, Korea Selatan, dan Guam di mana terdapat pangkalan Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika Serikat. Hal ini tentu dibutuhkan karena kehadiran elemen-elemen seperti ini adalah aspek yang penting dalam proyeksi kekuatan dari Amerika Serikat guna membendung dominasi China di Kawasan Indo-Pasifik. Hal ini menjadi indikator cukup jelas bahwa Indo-Pasifik adalah kawasan yang menjadi perhatian dari Amerika Serikat.

Intervensi Amerika Serikat di Taiwan; sebagai sekutu utama Amerika Serikat, posisi Taiwan sangat strategis baik secara geopolitik atau ekonomi. Amerika Serikat selalu menunjukkan dukungan yang konsisten untuk mempertahankan status quo di Taiwan, termasuk penjualan senjata dan kerja sama pertahanan dengan Taiwan. Jika China memutuskan untuk melakukan operasi militer dalam proses unifikasi dengan Taiwan, proses ini akan memicu intervensi secara militer oleh Amerika Serikat.

Jika terjadi konflik skala besar antara AS dan China terkait Taiwan, Indonesia perlu mempertimbangkan kemungkinan terjebak dalam ketegangan ini. Sebagai negara netral, Indonesia harus siap menghadapi konsekuensi ekonomi dan keamanan regional, termasuk pengelolaan wilayah perairan yang berdekatan dengan konflik hingga evakuasi pekerja migran Indonesia di Taiwan.

Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Untuk menghadapi Trump dan mengimbangi kebijakan Partai Republik, setidaknya Indonesia dapat memainkan beberapa peran. Kita dapat melakukan optimalisasi posisi dalam aliansi strategis Indo-Pasifik untuk memperkuat posisi strategis Indonesia di kawasan Laut China Selatan yang terpengaruh kekuatan militer China. Selanjutnya, Presiden Prabowo dapat meningkatkan kapasitas pertahanan maritim untuk mengimbangi rencana ekspansi dan dominasi Amerika maupun China di kawasan Indo-Pasifik melalui modernisasi, pengadaan alutsista, dan asesmen kesiapan tempur sesuai kebutuhan yang ada di Indo-Pasifik.

Indonesia dapat memanfaatkan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang proaktif di Indo-Pasifik. Indonesia harus bisa memanfaatkan kehadiran militer AS yang lebih besar di kawasan Indo-Pasifik sebagai peluang untuk meningkatkan kerja sama pertahanan bilateral. Indonesia juga harus siap mengelola ketegangan yang mungkin timbul dari pendekatan Amerika Serikat yang lebih agresif terhadap China.

Selain itu, Indonesia juga harus terus mempertahankan pendekatan Bebas-Aktif guna memastikan tidak terseret dalam konflik berbasis blok politik atau militer. Selain itu, meskipun kehadiran Amerika Serikat sangat penting, Indonesia harus tetap menjaga hubungan baik dan kerja sama dengan China. Indonesia tidak boleh membiarkan Amerika Serikat dan aliansinya memberlakukan pola kebijakan yang sama seperti NATO dan Rusia di mana Rusia terisolasi total. Isolasi atau antagonisme berlebihan terhadap suatu negara justru meningkatkan tingkat resistensi disebabkan oleh aspek psikis atau psychological reactance.

Kemungkinan peran aktif Amerika Serikat di Kawasan Indo-Pasifik harus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mendorong kerja sama dalam hal teknologi dan keamanan siber. Selain itu, kemungkinan peran aktif Amerika Serikat harus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk melakukan revitalisasi industri pertahanan nasional guna mendukung ketahanan nasional.

Di sisi lain, Trump cenderung menekankan pentingnya melawan dominasi China dalam hal ekonomi serta memberlakukan kebijakan perdagangan yang cenderung protektif. Hal ini tentu meningkatkan ancaman non-tradisional terhadap Indonesia yaitu "perang dagang" di antara kedua negara yang bisa berimbas pada ekonomi nasional Indonesia.

Choirul Anam, S.E, M.E, Ak, C.A, Ph.D peneliti kebijakan publik Charles University, Praha

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial