Sore itu, 20 November 2024, cuaca tak seberapa terik saat saya berkunjung ke Kedai Tillo Kopi di Jalan Kaplongan Raya, Jakarta Timur. Kedai kopi itu terletak di beranda rumah pemiliknya, Andy Simanungkalit (47) dan Laura Siregar (42). Di sebelah area duduk, ada taman, pohon mangga, dan dapur terbuka untuk sulung, Tongam (15), memasak menu kedai yang dipesan pelanggan.
Keluarga ini adalah pesekolah rumah (homeschooler), artinya Tongam dan adik-adiknya, Torkis (12), Tolap (11), dan Toras (7) tidak pergi ke sekolah formal. Ketika datang, saya disambut oleh anak ketiga. “Aku Tolap. Tolap pakai 'P', ya, bukan 'K',” canda si bocah lelaki seraya menjabat tangan saya.
Tolap masuk ke dalam, sedangkan si bungsu Toras berseliweran. Sesekali ia duduk di bar mengamati ayahnya, sang barista, menjalankan mesin kopi. Sementara itu, Torkis, anak tengah, menurut ibunya cenderung introver. Saya baru melihatnya saat masuk ke ruang keluarga.
Di antara empat saudara, hanya Tongam yang sempat mencicipi TK. Sekitar delapan tahun lalu, Laura dan Andy memutuskan mengasuh sekaligus mendidik anak melalui dinamika keseharian, alih-alih menitipkan mereka di institusi pendidikan. Alasannya fleksibilitas dan keinginan tumbuh bersama anak.
Laura tergugah dengan filosofi pendidik asal Inggris, Charlotte Mason, “children are born persons.” Berseberangan dengan pandangan umum bahwa anak terlahir bak kanvas kosong yang menanti diisi, Mason berpendapat anak lahir sebagai individu, sudah dengan warna dan coraknya masing-masing. Mereka manusia kecil yang punya keunikan, keingintahuan, dan kemampuan untuk mengetahui.
“Dengan memposisikan anak seperti itu, transfer pengetahuan dua arah. Ada kalanya orang tua jadi murid dan anak gurunya. Intinya, saling belajar dan mendengarkan. Itu saya rasa bisa optimal dengan sekolah rumah, kalau di sekolah kan guru memperhatikan murid satu kelas,” jelas Laura.
“Sebagai fasilitator, orang tua menyediakan opsi, kita undang anak untuk memilih apa yang ingin dipelajari atau bagaimana ia belajar. Dengan begitu, harapannya, rasa tanggung jawab dan kecintaan belajar anak bisa tumbuh,” imbuh perempuan yang menamatkan pendidikan sarjana psikologi itu.
Andy sebelumnya aparatur sipil negara di bidang teknologi informasi. Perlahan-lahan, Andy dan Laura meninggalkan pekerjaan kantorannya hingga membuka kedai pada 2018 agar selaras dengan komitmen sekolah rumah.
“Bukan sekadar memindahkan sekolah ke rumah atau memanggil guru ke rumah. Orang tua membagikan apa yang dimiliki, pengetahuan kami, kehidupan kami. Maka bentuk belajarnya berubah-ubah seiring perubahan hidup. Sebelumnya kami ada pegawai, lalu dia keluar. Jadi, setengah tahun ini, kami coba jalankan kedai berenam. Itu pembelajaran juga,” ujar Andy.
Kesibukan keluarga Simanungkalit dimulai pukul delapan dengan berkebun. Ada anak yang bertugas menyapu halaman, ada yang menyiram tumbuhan. Andy juga mengajarkan anak-anak mencangkul untuk menggemburkan tanah dan bagaimana memangkas bagian tanaman.
Usai berkebun, anak-anak menyiapkan sarapannya sendiri sesuai preferensi. Roti atau telur mata sapi. Bikin telur ceplok, ya, belajar juga. “Torkis pas pertama nyoba, baru sebentar dia tanya apakah telurnya sudah bisa diangkat. Saya bilang, ‘Yang kamu makan, warnanya transparan gini, nggak?’ Dia jawab, ‘Nggak, sih, putih susu.’ Begitulah sampai dia menemukan caranya,” Laura mengisahkan.
“Ada juga, kok, waktunya kita langsung memberi tahu anak step by step. Misalnya saat mengajari Tongam membuat makanan kedai. Di situ dia harus mengikuti resep, belajar fokus, nggak boleh masak sambil mikirin game, memperhatikan apinya seberapa besar, manajemen waktu, dan sebagainya,” tuturnya.
Menjelang jam buka kedai, yaitu pukul sebelas, anak-anak membantu menyiapkan kedai. Mereka bagi tugas menurunkan kursi, menata meja, dan mengeluarkan stok. Setelah itu, keluarga makan siang bersama, baru membuka kedai. Saat kedai beroperasi, semua pegang walkie-talkie. Tongam akan keluar jika ada pesanan makanan, Torkis cuci piring, Tolap jadi runner, dan Toras bantu mengupas singkong.
“Bisa dibilang kami belajar praktik. Karena saya juga menekuni woodworking, anak-anak belajar memotong kayu, bambu, bikin meja. Dari kedai, belajar pangan dan hospitality. Belajar teori seperlunya saja, karena nggak semua terpakai, tergantung minat anak yang masih berubah-ubah. Tongam sekarang minatnya masak, ketika dia mengajukan diri jadi koki kedai, ya, kami kasih kesempatan,” kata Andy.
Terkait pembelajaran akademis, keluarga itu menginduk ke materi dari pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), agar dapat mengikuti ujian paket A (SD), B (SMP), dan C (SMA). Lulusan sekolah rumah bisa mendaftar ke perguruan tinggi bila lolos ujian paket C. Laura, yang tidak memfavoritkan pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam, awalnya khawatir kesulitan menyampaikan materi. Namun, rupanya, dengan si sulung, ia bisa membicarakan ganjalan.
“Perlu penyesuaian setahun memang, tapi di kelas 6 Tongam hanya minta didampingi matematika. Sekarang, Tongam kelas 7, lagi seru belajar fisika kalor dan matematika aljabar. Kami beli modul yang berisi materi dan soal-soal di PKBM Faradika, biayanya Rp 1,6-3 juta per anak per tahun,” terang Laura.
Siang menjelang sore waktunya belajar modul. Ada dua komputer yang dipakai bergantian, tiap anak jatahnya 1,5 jam sehari. Jika sudah mengerjakan soal, anak bebas memilih aktivitas selanjutnya, apakah mau menggambar, main game, menari, merakit mainan, menguleni adonan, atau belajar bahasa asing dengan Duolingo.
“Biaya pendidikan memang untuk modul saja. Selebihnya ngikut ke pengeluaran rumah tangga. Misalnya, Tongam mau eksperimen baking, bahan yang dibeli kan bisa dinikmati oleh semua anggota keluarga. Lalu, kemarin kami mudik ke kampung halaman Andy di Tarutung, Sumatera Utara, itu sekalian karyawisata,” ucapnya.
Mereka mengunjungi Danau Toba, Ecovillage Silimalombu, kebun buah naga, dan beli cendol hangat di pasar dalam rangka mengenalkan anak akan memori masa kecil ibu dan ayah. Enaknya sekolah rumah, berlibur tak perlu menunggu libur semester, berebut tiket mahal, atau berdesakan di tempat wisata pada musim liburan.
Bagaimana dengan rapor? “Mggak ada, bukan gaya saya,” ujar Laura sambil tersenyum. “Jadi, sebelum tidur kami berenam chit-chat, evaluasi hari itu dan briefing buat besoknya.”
“Kuncinya komunikasi yang baik. Ternyata, ketika komunikasi suami-istri bagus, anak-anak merasakan dan jadi ikut kebawa,” Andy menimpali.
Menjalani hari-hari dengan anak, bagaimanapun, ada frustrasinya. Bila sedang butuh waktu sendiri, Laura meminta anak-anak meninggalkannya selama 30 menit. Membaca sharing orang tua pesekolah rumah di media sosial juga membantu.
“Dulu, saat anak-anak masih kecil, kami sering playdate, saling berkunjung. Sekarang, berkabar di medsos cukup dan ruang sosialisasi anak, ya, kedai. Lelah itu pasti, tapi gimana supaya nggak sampai burnout? Yang penting ketahui prioritas. Selama yang dilakukan dirasa sesuai, jangan terlalu keras pada diri. Jangan membandingkan cara maupun hasil kita dengan pihak lain,” kata Laura.
Tren sekolah rumah di Indonesia dimulai awal 2000-an, tak lama setelah Suharto lengser. Orangtua pesekolah rumah tumbuh dalam sistem pendidikan Orde Baru yang sangat tersentralisasi, sehingga bisa dibilang, sekolah rumah wujud perlawanan atas hegemoni itu.
Ellen Nugroho, dalam bab yang ia tulis di buku 'Education in Indonesia: Critical Perspectives on Equity and Social Justice' (2023), berpendapat bahwa paradigma yang menyamakan pendidikan dengan sekolah dan meragukan kemampuan orang tua mengajar anak-anaknya sendiri, mendasari permasalahan yang dihadapi keluarga homeschooling di Indonesia.
Online hub pertama untuk pesekolah rumah Indonesia, kata Ellen, adalah milis Sekolah Rumah, yang dibuat pada 6 Maret 2007 dan nonaktif pada 2013. Banyak anggota milis itu bermigrasi ke grup Facebook Indonesian Homeschoolers yang anggotanya 18.000 per Januari 2021. Pada bulan yang sama, lebih dari 300 keluarga terdaftar di Perkumpulan Homeschooling Indonesia. Ellen memperkirakan jumlah keluarga homeschooling Indonesia setidaknya empat kali jumlah tersebut.
Saya membaca riset di atas di sela-sela memperhatikan Tongam memasak bakmi goreng. Sesekali ia menjelaskan metodenya pada saya. “Supaya bumbu meresap, garam dan bumbu lainnya kita taruh di air, lalu rebus mi. Nanti airnya hampir nggak ada dan minya jadi kecoklatan.”
Remaja itu menyukai sekolah rumah karena bisa mengatur jadwal sendiri dan menjajal banyak hobi. “Enak sih, belajar kapan saja bisa, kalau ada acara nggak perlu izin. Hari ini aku belajar sejarah seni dan jenis-jenis seni, tapi cenderung overview, sih, nggak in-depth,” komentarnya.