Kabar Australia: Pekerja Migran Masih Jadi Korban Eksploitasi 'Mengkhawatirkan'

1 month ago 29

Anda sedang membaca rangkuman beberapa berita-berita yang ramai dibicarakan di Australia pekan ini.

Mulai dari eksploitasi pekerja migran di Australia, larangan media sosial bagi anak berusia di bawah 16 tahun, dan upaya memecahkan masalah rasisme.

Migran jadi korban eksploitasi di Australia

Sebuah laporan yang dibuat utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Tomoya Obokata, menemukan migran dengan visa sementara di Australia masih dieksploitasi oleh pimpinannya, pengusaha penyedia tenaga kerja, dan agen migrasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menemukan kebanyakan dari migran masih sering ditipu oleh perusahaan perekrut, menerima upah di bawah standar atau tidak menerima upah sama sekali, dan terjebak dalam kondisi kerja yang tidak aman.

Profesor Tomoya mengaku "sangat prihatin" dengan perlakuan terhadap pekerja migran sementara Australia.

Khususnya terhadap kesejahteraan pekerja dalam skema Pacific Australia Labour Mobility (PALM), jalur Pekerja Domestik (diplomatik atau konsuler), dan mereka yang memegang Visa Temporary Skill Shortage, Visa Working Holiday (WHV), serta visa pelajar.

"Skema-skema ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang signifikan antara pengusaha dan pekerja," bunyi laporan tersebut.

"Karena karyawan terikat pada satu pengusaha, dan mobilitas dilaporkan sangat sulit, dan/atau bergantung pada pengusaha mereka untuk perpanjangan kontrak atau untuk jadi penduduk tetap."

Laporan tersebut juga menemukan mahasiswa internasional dipaksa bekerja sampai melanggar ketentuan visa mereka.

Baca selengkapnya di sini

Larangan main medsos untuk di bawah 16 tahun

Australia sudah secara resmi melarang penggunaan media sosial bagi anak-anak dan remaja di bawah 16 tahun.

Ini berarti siapa pun yang berusia di bawah 16 tahun akan diblokir dari penggunaan platform termasuk TikTok, Instagram, Snapchat, dan Facebook.

Menurut pemerintah Australia, langkah ini diperlukan untuk melindungi kesehatan mental dan kesejahteraan remaja ini.

Undang-undang tersebut disahkan di parlemen Australia, Kamis kemarin, yang langsung mendapat sorotan media dari seluruh dunia, seperti Rusia, India, Inggris, serta negara-negara Eropa.

Meski banyak yang setuju dengan larangan ini, tidak sedikit yang mempertanyakan bagaimana undang-undang tersebut dapat diterapkan dan apakah undang-undang serupa akan diperkenalkan di negara lain.

Baca berita lengkapnya di sini

Titik kritis pemberantasan rasisme

Laporan terbaru dari Komisi Hak Asasi Manusia di Australia menemukan Australia berada di titik kritis dalam perjuangan memberantas rasisme, sehingga upayanya harus difokuskan pada warganya sendiri dan mencakup menyelidiki dampak penjajahan dengan mengungkap kebenaran.

"Tidak akan ada keadilan rasial di negara ini tanpa keadilan rasial bagi masyarakat Aborigin," kata Komisaris Diskriminasi Ras Giridharan Sivaraman.

"Pengungkapan kebenaran tentang ketidakadilan historis dan yang sedang berlangsung terhadap masyarakat pribumi Australia sangat penting."

Laporan tersebut menemukan kampanye referendum 'The Voice' yang tak lolos di parlemen mencerminkan tingkat rasisme yang "mengejutkan" terhadap masyarakat Aborigin dan Kepulauan Selat Torres.

Pandemi COVID-19 dan perang di Gaza juga membuat para migran dan warga bukan kulit putih terpapar rasisme dan diskriminasi, menurut laporan tersebut.

Komisi HAM Australia menyerukan agar rasisme struktural, yang "tersirat" dalam lembaga-lembaga seperti sistem peradilan, layanan kesehatan, tempat kerja, dan bahkan di Gedung Parlemen, dibongkar.

Laporan selengkapnya di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial