Jakarta -
Analisis politik cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar-Abdalla, Sepuluh Tahun Era Jokowi (Kompas, 3/10) membuat saya terkesiap. Selain ada banyak argumen yang kedodoran, artikel itu juga menunjukkan bagaimana seorang intelektual NU berakrobat untuk memberikan legitimasi moral terhadap tirani kekuasaan yang sebetulnya sudah kelimpungan.
Agar komunitas pembaca memperoleh perspektif yang berbeda, saya bermaksud untuk membangun kontra-argumen dan mempersoalkan sikap dan pandangan Ulil Abshar-Abdalla dalam posisinya sebagai representasi elite dari organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Bukan "Batang Pohon"
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai pembela Jokowi, Ulil menggunakan parameter sederhana dengan memakai analogi batang pohon dan cabang/ranting pohon. Menurutnya, ada "batang pohon" yang cukup besar yang telah ditegakkan Jokowi dalam 10 tahun pemerintahannya, meski Ulil mengakui ada sejumlah kekurangan dalam cabang/ranting.
Bagi Ulil, Jokowi telah melakukan sejumlah capaian penting dan besar dalam 10 tahun pemerintahannya. Para pengkritik Jokowi, menurut Ulil, hanya fokus mengkritik Jokowi pada urusan-urusan cabang/ranting yang tidak terlalu pokok. Inilah cara pandang Ulil yang sangat problematis, karena saya justru melihat lebih jauh pada "akar pohon" yang dirobohkan Jokowi.
Alih-alih menegakkan "batang pohon", saya melihat—sebagaimana sejumlah elemen masyarakat sipil yang kritis—bahwa Jokowi merusak "akar pohon" itu sendiri. Akar pohon itu adalah sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan bernegara: konstitusi.
Jokowi mengacak-ngacak konstitusi demi kepentingan dan ambisi pribadi dan keluarganya. Jokowi menunjukkan secara vulgar dan brutal watak ketamakan saat berkuasa (greedy power) melalui politik dinasti yang melanggar etika dan semangat sila ke-4 Pancasila. Patut disayangkan, Ulil tidak melihat kerusakan mendasar yang dilakukan Jokowi sebagai hal yang pokok—dan secara tidak langsung hanya menempatkannya sebagai kekurangan pada cabang/ranting semata.
Dengan menggunakan analogi "batang pohon", Ulil menyebut dua capaian penting Jokowi: pembangunan dan politik. Di bidang pembangunan, Jokowi dipandang sebagai presiden yang memiliki passion begitu besar dan berhasil membangun infrastruktur. Pembangunan yang dilakukan juga diarahkan ke luar Jawa termasuk memindah ibu kota ke IKN. Sementara di bidang politik, Ulil memandang Jokowi meninggalkan warisan penting, yaitu politik harmoni yang layak diteruskan oleh pemimpin Indonesia mendatang.
Argumen Ulil tidak kokoh dan bahkan rapuh. Terkait dengan pembangunan, Ulil mengabaikan "sisi gelap" pembangunan di masa pemerintahan Jokowi: mulai dari isu kerusakan ekologi yang serius, peminggiran masyarakat adat, beban hutang negara yang membengkak, dan kedaulatan negara yang dipertaruhkan karena ketergantungan kita yang besar pada pemberi hutang.
Pembunuhan Demokrasi
Alih-alih politik harmoni, Jokowi telah merusak dan bahkan membunuh demokrasi secara gradual dan sistematis.
Memang Jokowi pada mula kemunculannya pada 2014 dianggap sebagai "a new hope", seperti kata Majalah Time yang dirujuk Ulil. Tahun 2014 menandai momen politik yang penting. Masyarakat dihadapkan pada dua pilihan: memilih Jokowi berarti mempertahankan demokrasi atau memilih Prabowo Subianto berarti memutar balik Reformasi ke kekuasaan otoritarianisme Orde Baru. Kemenangan Jokowi, dalam jangka pendek, dipandang akan menghambat potensi regresi neo-otoriter, sebagaimana dikemukakan dua Indonesianis terkemuka Aspinall dan Mietzner (2014).
Apa yang akhirnya terjadi kemudian? Jokowi sendiri memutar balik Reformasi ke jalur regresi neo-otoriter. Demokrasi dikorupsi, dibajak, dan ditikam oleh figur sipil yang populis. Jokowi telah menarik mundur demokrasi jauh ke belakang: ke titik nol Reformasi
Banyak riset dan pendapat yang telah dilakukan sejumlah intelektual yang menilai bahwa di bawah pemerintahan Jokowi demokrasi dalam keadaan genting dan bahaya. Saiful Mujani dan William Liddle (2021) menganggap demokrasi di Indonesia sedang mengalami fase kemunduran. Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (2024) mengungkapkan bahwa kemunduran demokrasi di bawah rezim Jokowi berada pada titik paling terendah sejak dua dekade reformasi (Aspinall dan Mietzner, 2024). Bahkan, demokrasi dipandang berada di tubir jurang, dan telah jatuh, pada populisme otoriter (Sukidi, 2024).
Pembunuhan terhadap demokrasi di era Jokowi dilakukan dengan strategi yang lembut dan licik: Ia merangkul musuh politik dan membangun koaliasi politik yang super gemuk sehingga kekuasaan berjalan tanpa kekuatan penyeimbang. Loyalitas politik diikat dengan cara memberikan insentif dan bahkan ancaman jerat hukum.
Selain itu, Jokowi mengkooptasi banyak akademisi dan juga ormas keagamaan sebagai salah dua pilar penting dari masyarakat sipil. Kooptasi terhadap akademisi dilakukan dengan cara mengakomodasi mereka ke dalam kekuasaan, memberi mereka jabatan-jabatan penting dan terlibat dalam penentuan pimpinan kampus.
Hal yang sama juga dilakukan terhadap ormas keagamaan. Pemberian banyak bantuan—terakhir berupa konsesi pengelolaan tambang—ke ormas-ormas keagamaan membuat mereka tidak mampu mengambil jarak kritis terhadap kekuasaan. Hal itu terbukti dari absen dan hilangnya suara-suara kritis dari kampus-kampus (Fathul Wahid, 2024) dan ormas-ormas keagamaan besar seperti NU dan Muhammadiyah. Artikel Ulil yang memberikan sokongan politik secara buta terhadap Jokowi jelas mengonfirmasi dan meneguhkan penilaian itu.
Kamil Alfi Arifin dosen Ilmu Komunikasi dan peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia (PSAD UII), Yogyakarta
(mmu/mmu)