Jakarta -
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mengatakan advokasi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah bagian dari upaya menjalankan amanat konstitusi yang berkaitan dengan perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara. Hal itu dikatakan Lestari dalam diskusi daring yang mengangkat tema 'Membangun Kesadaran Advokasi: Melawan Budaya Damai dan Menutup Aib' yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12.
"Pada dasarnya, konstitusi mengamanatkan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, dan upaya advokasi merupakan perilaku yang sesuai dengan amanat konstitusi," kata Lestari dalam keterangan tertulis, Rabu (16/10/2024).
Lestari menjelaskan bahwa data meningkatnya tindak kekerasan seolah bukan lagi pemantik kesadaran untuk menerapkan hukum secara adil. Akibatnya, publik menyimpulkan proses hukum akan berjalan apabila sebuah kasus menjadi pembicaraan warganet atau viral.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rerie, sapaan akrab Lestari, menegaskan budaya menyelesaikan persoalan hukum secara kekeluargaan demi menutup aib pada dasarnya meniadakan hak atas perlindungan hukum dan kewajiban menaati aturan hukum yang berlaku. Untuk merealisasikan amanat konstitusi terkait perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara diperlukan upaya membangun kesadaran advokasi.
Ia menuturkan kesadaran advokasi merupakan upaya aktif membela, mempertahankan, dan mempromosikan kepentingan individu atau kelompok melalui jalur hukum.
Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani mengungkapkan meski saat ini sudah ada sejumlah regulasi yang cukup baik sebagai instrumen perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan, tapi faktanya kasus kekerasan masih saja terjadi.
Tiasri menjelaskan kondisi ini harus menjadi perhatian serius agar menekan tren peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan, sekaligus mencermati efektivitas implementasi sejumlah regulasi yang ada dalam mencegah dan melindungi korban kekerasan.
Tiasri menilai sejumlah regulasi yang ada sudah cukup baik. Ia berpendapat maraknya kasus kekerasan yang terjadi karena adanya kontribusi dari budaya patriarki dan relasi kuasa pada keseharian masyarakat. Selain itu, praktik bias gender juga masih terjadi yang menjadikan perempuan rentan terhadap kekerasan.
Di sisi lain masih ada kebijakan di tingkat peraturan daerah yang masih menempatkan perempuan sebagai objek kebijakan itu. Tiasri menegaskan upaya meningkatkan pemahaman masyarakat terkait bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, bagaimana pencegahan, dan bagaimana mengatasinya harus dilakukan.
Dengan begitu, kesadaran untuk melindungi dan mendukung korban kekerasan menjadi kesadaran bersama, sehingga upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan dapat lebih efektif.
Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Neng Dara Affiah berpendapat kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memperkuat landasan hukum dalam upaya perlindungan terhadap tindak kekerasan. Berdasarkan undang-undang itu bisa juga dibentuk satgas pencegahan tindak kekerasan seksual di kampus dan lingkungan pendidikan lainnya.
Meski kehadiran UU TPKS belum mampu menekan peningkatan kasus kekerasan seksual, tapi dengan UU ini masyarakat mulai mengenali apa saja tindakan terkait kekerasan seksual. Neg Dara berharap masyarakat semakin paham tentang tindakan kekerasan seksual dan semakin berani juga untuk melaporkan ke satgas yang ada.
Neng Dara mengatakan bahwa di lingkungan pendidikan kesadaran untuk melaporkan tindakan kekerasan seksual sudah mulai tumbuh. Namun, yang dilaporkan sebagai pelaku tindak kekerasan seksual adalah orang terpelajar.
"Ternyata perilaku kekerasan seksual itu lintas kelas masyarakat, " ujarnya.
Menurutnya, perlu ada transformasi kebudayaan untuk mengubah paradigma bahwa perempuan bukan objek seksual semata. Dalam melakukan transformasi kebudayaan perlu adanya sinergi antara dunia pendidikan, agama, dan budaya.