Jakarta -
Ahli Hukum Administrasi Negara, Ahmad Redi, menilai dalam membuktikan dugaan penyalahgunaan wewenang pejabat negara sejatinya harus mendapat pembuktian dulu dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, menurutnya ada kasus yang tidak harus melalui PTUN yakni apabila dugaan penyalahgunaan wewenang itu beririsan dengan hukum pidana.
Hal itu disampaikan Redi ketika dihadirkan jaksa dalam sidang praperadilan Tom Lembong terkait status tersangkanya dalam kasus dugaan korupsi impor gula di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/11/2024). Diketahui, pihak Tom Lembong beberapa kali mempermasalahkan bahwa dugaan penyalahgunaan wewenang itu seharusnya diuji di PTUN.
"Pertanyaannya adalah apakah penyalahgunaan wewenang itu perlu dibuktikan atau tidak di PTUN? Dalam konteks penyalahgunaan wewenang asli yang terbatas pada pemeirntahan, tanpa ada gesekan dengan aspek perdata dan pidana, maka penyalahgunaan wewenang itu harus dilihat apakah dia mencampuri kewenangan, apakah dia memaksa kewenangan, itu dibuktikan dulu ke PTUN, dalam konteks ketika UU 30 Tahun 2014, ketika dia dipilih sendiri, tanpa irisan dengan lain," ujar Redi saat menyampaikan pendapat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Redi mengatakan apabila dugaan penyalahgunaan wewenang itu sudah beririsan dengan dugaan tindak pidana. Maka, menurutnya, tidak perlu ada putusan PTUN.
"Ketika ini masuk ke hukum pidana, jadi yang dicari itu definisinya, jadi konteks dalam UU administrasi negara digunakan penyidik atau aparat penegak hukum untuk menguji, apakah ada penyalahgunaan kewenangan, jadi konsepnya, tanpa harus ada putusan PTUN dia berwenang, itu bisa ditindak, karena dalam konteks pidana tidak jelas apa itu penyalahgunaan wewenang, maka itu mengingat itu dalam administrasi negara," imbuhnya.
"Jadi ketika ada irisan hukum pidana, maka dipakai prinsip hukum materiil. Yang dipinjam adalah konsep hukum administrasi negara, kalau begitu apa masih perlu dibuktikan dulu di PTUN?" tanya jaksa menegaskan.
"Tidak pak, tidak perlu, karena yang dilihat konsepnya, bukan dalam konteks dengan atau tidak dengan secara hukum administrasi negara," jelas Redi.
Dalam persidangan ini, pihak Tom Lembong juga kembali bertanya hal yang sama untuk menegaskan. Namun, hakim memotong karena menilai penjelasan ahli sudah sangat jelas,"
"Dalam proses penilaian penggunaaan kewenangan atau katakanlah "ada penyalahgunaan kewenangan" sepengetahuan saudara, lembaga peradilan mana yang memiliki kewenangan untuk menilai adanya penggunaan kewenangan suatu penyelenggara negara terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan dalam konteks jabatan?" ucap kuasa hukum Tom Lembong.
"Jadi dalam konteks penyalahgunaan kewenangan dalam UU 30 Tahun 2014, penyalahgunaan kewenangan itu instrumen pengujinya di PTUN, dalam konteks penyalahgunaan kewenangan berdiri sendiri di prinsip UU 30/2014 tanpa kita geser ke asas hukum lain. Jadi kalau bicara prinsip hukum administrasi negara penyalahgunaan itu ada kewenangan PTUN, tapi sudah disampaikan juga kalau diskresi kan.....," ucap Redi terpotong.
"Ya Anda kan juga administrasi negara ya, jadi kalau ada pelanggaran tanpa ada irisan itu di PTUN, cukup," ucap hakim.
Duduk Perkara
Kasus dugaan korupsi dalam impor gula pada 2015-2016 ini baru menjerat dua tersangka. Keduanya adalah Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015-2016 dan Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI)
Dalam kasus ini ada beberapa istilah yang harus dipahami, yaitu gula kristal mentah (GKM), gula kristal rafinasi (GKR), dan gula kristal putih (GKP). Mudahnya, GKM dan GKR adalah gula yang dipakai untuk proses produksi, sedangkan GKP dapat dikonsumsi langsung.
Berdasarkan aturan yang diteken Tom Lembong sendiri saat menjadi Mendag, hanya BUMN yang diizinkan melakukan impor GKP, itu pun harus sesuai kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian serta dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Sedangkan dalam perkara ini--pada 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP--seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun, menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.
Jaksa mengatakan Tom Lembong menekan surat penugasan ke PT PPI untuk bekerja sama dengan swasta mengolah GKM impor itu menjadi GKP. Total ada sembilan perusahaan swasta yang disebutkan, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan terakhir PT KTM.
Setelah perusahaan swasta itu mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membelinya. Padahal, yang terjadi, menurut jaksa, GKP itu dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta itu ke masyarakat melalui distributor dengan angka Rp 3.000 lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET).
(zap/dhn)