10 Tahun Jokowi dan Refleksi Tata Kelola Tambang

4 weeks ago 7

Jakarta -

Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo (16/8) menyinggung soal kebijakan sektor pertambangan khususnya yang terkait hilirisasi (smelter) untuk nikel, bauksit, dan tembaga yang telah meningkatkan pendapatan negara Rp 158 triliun selama 8 tahun terakhir, membuka lapangan kerja, termasuk pengambilalihan korporasi sektor ekstraktif yang dikuasai asing. Pernyataan Jokowi ini tentu hanya menggambarkan bagian yang menguntungkan bagi negara saja. Ibarat pepatah Minang, politik dan tata kelola industri ekstraktif selama Jokowi berkuasa hanya rancak di labuah, hanya menampilkan hal yang baik saja kepada publik.

Padahal sektor tambang seperti bermuka dua, di satu sisi digadang-gadang sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain berdampak buruk bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar tambang. Data Kementerian ESDM dalam APBN 2023 menyebut PNBP yang dihasilkan sektor minerba mencapai Rp 173 Triliun, sekitar 58% dari total PNBP sektor ESDM (Rp 300 Triliun). Namun adakah yang pernah menghitung berapa kerugian lingkungan dan masyarakat akibat aktivitas pertambangan? Ini menjadi pertanyaan kritis dan reflektif bagaimana tata kelola sektor tambang ke depan.

Politik Hukum

Politik hukum pertambangan pasca perubahan UU Minerba, termasuk UU Cipta Kerja, justru semakin memperbesar risiko korupsi di sektor tambang. Sentralisasi perizinan tambang yang diharapkan memperkuat pengawasan pada kenyataannya menambah kerentanan terjadinya korupsi. Hal ini semakin diperkuat oleh kuatnya melemahnya institusi penegak hukum, kuatnya konflik kepentingan pebisnis-politisi dalam bisnis tambang, menyempitnya ruang partisipasi hingga maraknya kriminalisasi terutama terhadap warga sekitar tambang.

Studi Transparency International (TI) Indonesia (2024) di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah menemukan fakta bahwa terjadi krisis sosial ekologis dan sosial ekonomi. Terjadi perampasan ruang hidup komunitas masyarakat lokal dengan modus isu-isu lingkungan dan konservasi (green grabbing). Selain itu beragam dampak negatif mulai bermunculan semenjak industri tambang nikel berkembang secara masif di kawasan ini, dari mulai krisis sosial-ekologis, konflik agraria, hingga pelanggaran HAM.

Masyarakat adat kehilangan warisan komunitas adat mereka yang telah mereka jaga turun temurun. Ketika masyarakat melakukan perlawanan, selalu berhadapan dengan intimidasi dan kriminalisasi dengan menggunakan tangan aparat. Potret rezim tambang semacam ini mengindikasikan tata kelola sektor ini tidak cukup mengakomodasi aspek-aspek antikorupsi, sosial, dan HAM.

Hasil penilaian TI Indonesia (2024) menemukan hal yang serupa, di mana mayoritas perusahaan tambang tidak memiliki kebijakan yang memadai dari aspek antikorupsi, sosial, dan HAM. Di sisi yang lain, upaya penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi dan lingkungan di sektor SDA tak selalu membuahkan putusan yang adil bagi publik, terlebih lagi bagi lingkungan hidup. Kondisi ini tak lantas membuat pemerintah bergeming, di ujung masa pemerintahan Joko Widodo membuat kebijakan yang tidak populer dengan memberikan "giveaway" izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan (ormas).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mempertontonkan Ironi

Pemerintah selalu mengklaim bahwa hilirisasi sektor tambang telah berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, setidaknya didasarkan kepada peningkatan pendapatan negara. Namun jika ditelusuri lebih dalam, terutama di daerah-daerah kaya tambang, kondisi kemiskinannya justru semakin memburuk. Belum lagi bicara soal tingkat kerusakan ekologis dan sosial yang ditimbulkan.

Ini mungkin pertanyaan retorik, namun apakah pemerintah serius menjadikan industri tambang bisa memberikan keadilan bagi masyarakat sekitar? Ekonom senior Faisal Basri (alm) dalam berbagai forum bahkan secara terbuka menyebut bahwa hampir 90% keuntungan dari kebijakan hilirisasi nikel justru hanya dinikmati oleh korporasi China. Kondisi ini mempertontonkan sebuah ironi, daerah kaya sumber daya alam namun masyarakatnya justru masih berjibaku dalam kemiskinan, bahkan ditimpa berbagai bencana akibat kerusakan ekologis. Fenomena ini mungkin yang disebut Auty (1993) sebagai kutukan sumber daya alam (the resource course).

Tata kelola sektor tambang selama 10 tahun Jokowi berkuasa tampak semakin mengukuhkan kekuatan oligarki di sektor ekstraktif. Jaringan oligarki tambang semakin solid mengendalikan setiap kebijakan yang menguntungkan bagi kelompoknya. Hal ini tentu tak bisa dilepaskan dari relasi yang baik dengan pemegang kekuasaan politik.

Rancang bangun pemerintahan sejak awal sebenarnya juga sudah memperlihatkan bagaimana korporasi tambang mengkooptasi jabatan-jabatan strategis di pemerintahan. Bagaimana membayangkan kebijakan sektor tambang akan menguntungkan rakyat sekitar tambang jika yang mengambil keputusan adalah mereka yang juga memiliki kepentingan atas tambang tersebut. Konflik kepentingan nyatanya menjadi begitu terbuka dipertontonkan.

Yang paling anyar adalah ketika pada akhir masa jabatannya (lame duck), Jokowi melantik Menteri ESDM yang baru Bahlil Lahadalia, aroma konflik kepentingan makin menyeruak. Sekalipun yang bersangkutan melakukan declare bahwa tidak lagi mengurus perusahaan, tetapi di balik itu dia tetap menjadi pemilik manfaat (beneficial owner) dari korporasi tambang.

Apakah ini menjadi cermin dari proyeksi pengelolaan tambang di rezim pemerintahan yang baru? Jika menilik visi misi Prabowo-Gibran, di dalam Asta Cita memang termuat tentang prioritas pemberantasan korupsi pada sektor yang terkait hajat hidup orang banyak, termasuk sektor sumber daya alam. Namun di sisi yang lain, kebijakan hilirisasi khususnya sektor pertambangan akan tetap dilanjutkan. Di sinilah pentingnya penguatan aspek-aspek antikorupsi dan HAM dalam pengelolaan industri ekstraktif. Ini menjadi pekerjaan rumah dan tantangan berat bagi pemerintahan ke depan agar ironi negeri tambang tak lagi berlanjut.

Reza Syawawi peneliti di Transparency International Indonesia

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial