Nasib Tragis Guru Darma di Bandung

1 day ago 5

Suara jeritan menggema di kehingan malam di sebuah sudut kota Bandung, Kamis, 3 April 1904. Di malam Jumat itu, sebagian besar warga di kota yang dijuluki Paris van Java itu sudah terlelap di tempat peraduannya. Tapi mendadak mimpi indah mereka buyar ketika mendengar suara jeritan perempuan yang begitu keras.

Terutama warga Bandung yang berdekatan dengan rumah yang ditempati keluarga Ida Bagus Nyoman Dharma Kusuma, 44 tahun. Dia pengajar di Kweekschool voor Onderwijzers op Inlandsche Schoolen atau Sekolah Pendidikan Guru Pribumi. Gedung sekolah yang terkenal sebagai ‘Sakola Raja’ itu kini menjadi kantor Kepolisian Resort Kota Besar Bandung di Jalan Merdeka, Sumur Bandung, Kota Bandung.

Jeritan ternyata berasal dari teriakan istri Darma, Mien Knust, lengkapnya Maria Wilhelmina Knust, 28 tahun. Perempuan kelahiran Padang, 5 Januari 1876, histeris setelah terbangun dan mendapati suaminya tewas. Darma ditemukan telah bersimbah darah dengan leher tergorok di samping Mien, di tempat tidur mereka.

Jeritan Mien seketika membangunkan seluruh penghuni rumah dan para tetangga sekitar. Anak Darma, dari hasil pernikahannya dengan istri pertamanya Hermine Tidens Hidema, yaitu Janet Pouline atau Neti, 12 tahun, bangun mendatangi kamar ayahnya. Gadis kecil itu histeris melihat kondisi ayahnya yang mati mengenaskan.

“Pembunuhan itu sungguh amat sadis, yaitu dengan memotong kepalanya. Latar belakang pembunuhan itu ruwet dan sensasional,” tulis Capt R.P. Suyono dalam bukunya ‘Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial’ terbit pada 2004.

Menurut Suyono, ketika kematian istri pertama Darma, Hermine, pun tersiar berita tidak sedap dari mulut ke mulut. Hermine dikabarkan meninggal dunia secara tak wajar. Justru saat itulah, Darma malah menikahi anak tirinya, yang tak lain adalah anak Hermine dengan suami pertamanya, yakni Mien Knust, ketika berusia 16 tahun.

“Mulanya Mien yang berumur enam belas tahun sama sekali tak suka kawin dengan bapak angkatnya yang berasal dari Bali. Tapi Mien menuruti saja omongan Darma. Jadilah Mien Mevrouw (nyonya) Darma,” jelas Rosihan Anwar dalam bukunya ‘Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia Jilid 1’ terbitan 2004.

Berita kematian guru Darma menggemparkan Bandung. Berita kematiannya menghiasi headline koran-koran di Hindia Belanda. Apalagi sosok Darma yang merupakan anak bangsawan dari Bali yang cerdas dan berprestasi. Pria kelahiran tahun 1860 itu sempat mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekilah pendidikan guru di negeri Kincir Angin alias Belanda.

Saat tinggal di Belanda, Darma diberi nama Christiaan Darma. Dia tinggal bersama keluarga Tuan Eker, Kepala Lembaga Pendidikan di mana Darma bersekolah. Setelah tamat, Darma kembali ke Hindia Belanda dan ditempatkan sebagai pengajar di sekolah pendidikan guru khusus bagi kalangan pribumi di Bandung.

Setelah menetap di Bandung, Darma tinggal di rumah seorang janda asal Belanda, yakni Hermine Tidens Hidema. Saat itu, Hermine sudah memiliki seorang anak perempuan, yakni Mien Knust. Keduanya lalu terlibat cinta kasih dan menikah. Pasangan ini lalu dikarunia seorang anak bernama Janet Pouline alias Neti yang lahir pada Juni 1892.

Mereka sempat pindah rumah karena sering mendapatkan intimidasi dari kalangan warga keturunan Eropa yang tak senang dengan pernikahan keduanya. Darma dan Hermine bersama anak-anaknya pindah ke pemukiman warga pribumi. Namun lambat laun, hubungan keduanya kurang harmonis. Hermine merasa menyesel telah menikah dengan Darma dan dia sering berpergian ke luar kota.

Suatu hari, Hermine marah besar ketika pulang mengetahui Darma kepergok memiliki hubungan asmara dengan anaknya, Mien Knust. Keduanya lalu bercerai dan tak lama kemudian Hermine ditemukan meninggal mendadak. Dokter menyatakan Hermine meninggal dunia karena serangan jantung akibat stres.

Kasus pembunuhan Darma yang penuh intrik itu dikenal luas pada masanya. Beritanya disebarluaskan koran De Locomotief, pada 19 Desember 1908. Guna menyelidiki kasus tersebut sampai dikirim jaksa penuntut umum senior dari Batavia (kini Jakarta) ke Bandung, yakni Meneer (Tuan) Tittlebaum. Banyak kejanggalan yang ditemukannya.

Misalnya, memintai keterangan Mien, istri korban yang mengaku tengah tidur nyenyak saat kejadian pembunuhan. Dia terbangun justru langsung melihat sosok pria pribumi berambut keriting dengan pakaian hitam dan sepatu putih berdiri di dalam kamar. Dia juga mengaku, uang senilai 3.000 gulden hilang dari dalam brankas.

Tittelbaum tak percaya begitu saja dengan keterangan Mien. Dia curiga, kenapa Mien tak mendengar keributan saat suaminya digorok lehernya? Padahal dia tidur disamping suaminya di ranjang yang sama? Di tambah saat itu pakaian yang dikenakan Mien tidak ada noda darah. Kondisi pintu, jendela, bahkan brankas tidak rusak akibat dicongkel.

Jaksa Tittelbaum memerintahkan anak buahnya segera mengirimkan sampel usus korban ke Batavia untuk diperiksa. Sebab dia mendapat informasi bahwa korban sebelumnya sempat mendapat suatu percobaan pembunuhan dengan racun. Hal ini juga ada hubungan dengan keterangan menarik dari anak kandung Darma-Hermine atau adik tiri sekaligus anak tiri Mien, yaitu Neti.

Neti mengaku sebelum kejadian pembunuhan terjadi, matanya berat karena kantuk yang berat. Begitu dia terbangun setelah kejadian, kepalanya berat dan pusing. Neti curiga apakah ada seseorang yang membubuhi makanan dan minumannya.

Selanjutnya Tittelbaum melakukan eksperimen dengan membawa Mien dan Neti ke kamar jenazah di rumah sakit untuk melihat jasad Darma. Begitu diperlihatkan jasad suaminya, Mien berteriak histeris. Sementara Neti langsung pingsan karena ngeri melihat luka yang dialami ayak kandungnya.

Di waktu yang bersamaan, penyelidik mendapatkan keterangan serta desas-desus soal perselingkuhan Mien dengan pria Belanda keturunan Armenia berusia 30 tahun, yakni Johannes atau Johan Henri Koch. Dia berasal dari keluarga pedagang kaya dan pemilik toko di Batavia. Sayangnya, Johannes pandai merayu, playboy dan penipu.

Karena sering membuat masalah, dia kabur ke Bandung dengan menguras uang di toko orang tuanya. Di Kota Kembang, dia mudah sekali mendapatkan teman, khususnya kaum hawa, apalagi kalau tidak mengandalkan wajahnya yang ganteng alias macho. Di Bandung, Johannes dikenalkan temannya bernama Betsy kepada Mien yang saat itu sudah memilik suami, Darma.

Mien yang hidup kesepian langsung kesengsem pada ketampanan pria yang lebih tua dua tahun usianya itu. Mien sering sembunyi-sembunyi bertemu dan memadu kasih dengan Johannes. Mien sering curhat tentang pernikahannya yang tak bahagia dengan pria pribumi.

Johannes menyambut dengan baik, apalagi karena ingin merongrong kekayaan Mien. Bahkan dari desas-desus itu, Mien telah memint agar Johannes mau menghabisi nyawa suaminya, Darma. Apalagi Mien kuatir hubungan gelapnya dengan Johannes terbongkar oleh Darma.

“Mien berjanji akan memberikan hadiah besar seribu gulden, apabila Johannes mau membunuh Darma,” terang Rosihan Anwar dalam bukunya tersebut.

Dikutip dari De Locomotief, 19 Desember 1908, seorang saksi dalam persidangan bernama Nyonya Hoogbruyn mengatakan pernah mendengar adanya perselisihan antara Darma dan Mien beberapa tahun sebelumnya. Nyonya Hoogbruyn juga mengatakan Mien dan Johannes beberapa kali bertemu merencanakan pembunuhan.

Dalam aksinya, Johannes meminta bantuan rekannya bernama Ballodi, orang Ambon yang tinggal di Bandung. Dia dikenal sebagai pencuri dan sering menawarkan jasa sebagai pembunuh bayaran. Skenario pembunuhan dibuat, mulai dengan cara meracun dan menyusupkan Ballodi sebagai pembatu di rumah Darma.

Dua upaya itu gagal total, apalagi Darma sangat menolak kehadiran pembantu baru di rumahnya. Kegagalan itu tak menyurutkan rencana Johannes untuk menghabisi nyawa Darma. Hingga suatu malam pembunuhan itu benar-benar terjadi.

"Pada saat terjadi kejahatan, kabarnya Nyonya Mien Darma berada di tempat tidur di sebelah suaminya. Rupanya dia ikut membantu dalam pembunuhan Darma," tulis Rosihan.

Akhirnya Ballodi, Johannes dan Mien ditangkap dan diseret ke pengadilan. Entah bagaimana jalan ceritanya, dalam kasus tersebut hanya Ballodi yang dinyatakan bersalah. Para jaksa dibuat pusing dengan keterangan Johannes dan Mien, yang pandai berkelit dari semua tuduhan yang dilayangkan kepada mereka.

Ballodi divonis dengan hukuman 20 tahun kerja paksa. Saat dibacakan vonisnya, Ballodi pun terlihat tenang-tenang saja. Sementara, Johannes dan Mien dinyatakan tidak bersalah karena kurang bukti, mereka bebas.

Johannes dan Mien diketahui telah menikah pada 1911 di Bandung. Empat tahun kemudian, pada 12 November 1915, Mien bercerai dengan Johannes.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial