Jakarta -
Peringatan Hari Museum Nasional setiap 12 Oktober,merupakan momen kolektif merumuskan kembali eksistensi museum sebagai pelestari budaya warisan bangsa. Ia tidak hanya sekadar lembaga yang berfungsi melindungi, memanfaatkan koleksi, dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat (Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015 tentang Museum), lebih dari itu juga sebagai ruang kembali ke masa silam, menekuri tiap derap dinamika kultural suatu bangsa. Barangkali ini menjadi alasan di balik lahirnya sepuluh resolusi penting dalam pertemuan Musyawarah Museum se-Indonesia (MMI) pertama kali pada 12 Oktober 1962 di Yogyakarta. Salah satunya agar museum dijadikan alat penggalang persahabatan bangsa-bangsa serta membantu perkembangan kebudayaan dunia.
Dalam museum, koleksi artefak sejarah, dokumentasi dan arsip, serta ragam koleksi lainnya menjadi penanda ihwal langskap kebudayaan di masa lalu. Membayangkan heterogenitas budaya dari berbagai periode telah melahirkan arti penting sebuah peradaban yang begitu menakjubkan. Bagaimana suatu komunitas masyarakat pada masa lalu memiliki pengalaman kolektif dalam merajut narasi ihwal kehidupan. Museum, dengan demikian, adalah rumah yang bercerita tentang perjalanan peradaban.
Memantik Imajinasi Kolektif
Pengunjung akan disuguhi renungan soal masa lalu tiap kali berkunjung ke museum yang ada di Tanah Air, baik museum nasional maupun lokal. Berkunjung ke museum menjadi momentum merefleksikan ulang soal masing-masing lokus yang memiliki ceritanya masing-masing. Cerita-cerita yang tidak hanya berfungsi sebagai edukasi sejarah, melainkan juga akan mendedahkan mata untuk senantiasa mengkhidmati tiap derap dinamika yang terus bergulir sebagai sublimasi perwujudan membentengi diri agar tidak menjadi pribadi yang ahistoris.
Pribadi yang tak lupa sejarah merupakan pribadi yang senantiasa kritis dan reflektif. Dengan merenungkan masa lalu, kita dapat melihat bagaimana sejarah membentuk masa kini. Ketokohan para Bapak Bangsa, misalnya, yang berperan dalam menegakkan kedaulatan Nusantara pada masa silam akan memantik imajinasi kolektif kita bahwa Indonesia adalah bangsa yang diperjuangkan, yang terlahir dari gugusan ide-ide dan aktivisme yang tak kenal lelah.
Imajinasi tersebut pada titik tertentu memungkinkan kita untuk senantiasa berpikir kritis soal isu-isu sosial dan politik terkini, seperti kolonialisme, hak asasi manusia, serta kebudayaan, dan ekonomi. Di samping itu, koleksi dan pameran di museum tidak hanya sekadar berfungsi merayakan warisan budaya, melainkan juga dapat memperkuat identitas komunitas dan menjadi pengingat sekaligus pengingat generasi mendatang tentang akar kebudayaan mereka.
Melalui berbagai artefak, misalnya, kita hendak disuguhi gambaran imajiner bagaimana diaspora kebudayaan dan identitas komunal orang-orang di masing-masing lokus di masa lalu terbentuk. Dalam Komunitas-Komunitas Imajiner: Renungan tentang Asal Usul dan Penyebaran Nasionalisme (1999) Ben Anderson menyebut tujuan pengumpulan artefak untuk mengkonstruksi sejarah suatu negara atau bangsa dapat memunculkan rasa persatuan di antara anggota atau warga suatu tempat. Dalam konteks ini museum menjadi semacam prostesis memori kolektif suatu bangsa.
Sejalan dengan fungsi tersebut, filsuf cum sosiolog Theodor W. Adorno juga meneguhkan betapa museum memainkan peran penting dalam membangun identitas budaya dan nasional. Hal ini akan terwujud apabila museum dapat konsisten memainkan perannya sebagai katalisator diskusi budaya. Refleksi mengenai nilai-nilai budaya, tradisi, dan perkembangan sosial sudah seyogianya terus digalakkan di beberapa museum Tanah Air. Dengan memanfaatkan koleksi sebagai bahan dialog, para pengunjung tidak hanya disuguhi interpretasi tunggal atas keberadaan koleksi yang ada, melainkan juga dapat saling bertukar gagasan satu sama lain. Interpretasi yang beragam inilah yang memungkinkan adanya negosiasi makna, di mana berbagai narasi kultural dan sejarah saling dipertimbangkan.
Implikasinya museum menjadi ruang di mana berbagai nilai, cerita, ide, dan perspektif budaya yang berbeda dapat dipertemukan, dibahas, dan dipahami. Bagaimanapun Indonesia merupakan bangsa yang memiliki heterogenitas suku dan budaya yang berbeda-beda. Karena itu melalui pameran dan program, museum dapat menyuguhkan narasi yang lebih komprehensif dan inklusif tentang keragaman itu, membuka suara kepada mereka yang sering termarginalkan. Hal semacam inilah yang pada gilirannya akan menjadikan seseorang tidak bersikap superior atas budaya orang lain.
Bergelut dengan Kesunyian
Sayangnya keberadaan museum sebagai ruang mengimajinasikan masa lalu dan ruang negosiasi kultural, mutakhir ini kerap harus bergelut dengan kesunyiannya. Museum dikunjungi hanya sebatas formalisme temporal dalam setiap agenda institusi akademik dan pariwisata, bukan menjadi sebuah kebutuhan berkelanjutan. Kenyataan ini akan semakin menggiring pengunjung ke dalam sebuah paradigma bahwa museum hanyalah tempat pelestari peninggalan sejarah dan warisan budaya, tak lebih dari itu. Sehingga pada tataran lebih lanjut akan berimplikasi pada semakin berkurangnya atensi masyarakat terhadap museum.
Momentum Hari Museum Nasional mesti didudukkan dalam kerangka pembacaan yang lebih sublim tentang tantangan dan harapan museum ke depan. Sejak September 2023, Kemendikbudristek membentuk Indonesian Heritage Agency (IHA) yang bertugas untuk menangani pengelolaan museum dan cagar budaya nasional. Keberadaan lembaga tersebut diharapkan berfungsi sebagai ruang kolaboratif terbuka yang dapat memperkaya pengetahuan historis dan kultural yang bisa diakses masyarakat. Di samping itu, adanya IHA juga menandakan bahwa museum dan cagar budaya hendak dikelola dengan cara yang lebih profesional.
Pengelolaan yang lebih profesional akan semakin memungkinkan museum menjadi ruang yang interaktif. "Reimajinasi" yang menjadi pesan utama MMI tahun ini bertujuan agar kisah yang berakar dalam sejarah mampu relevan dengan semangat zaman dan kebutuhan publik modern, baik dari segi sosial maupun budaya. Langkah semacam ini barangkali juga dapat ditiru oleh beberapa museum yang berbasis di daerah-daerah di seluruh Tanah Air.
Di samping itu edukasi dan kesadaran ihwal pentingnya museum sebagai sumber pengetahuan dan warisan budaya penting untuk ditransmisikan kepada masyarakat. Pihak pengelola museum dalam hal ini perlu menyusun kolaborasi dengan sekolah, universitas, dan organisasi lokal untuk menyelenggarakan berbagai seminar yang berorientasi pada peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keberadaan museum dalam mengelola dan merangkul keragaman budaya bangsa.
Tak lupa pemanfaatan media sosial sebagai ruang mempromosikan acara, pameran, dan konten menarik juga menjadi sebentuk upaya mengaktualisasikan eksistensi museum di tengah perkembangan teknologi digital. Upaya ini mesti diiringi dengan peningkatan kualitas SDM pengelola museum. Jika perlu kurikulum museologi yang telah diajarkan di beberapa universitas semakin dikembangkan guna menyiapkan generasi yang berwawasan holistik dalam mengelola museum di beberapa wilayah di Tanah Air. Hanya dengan pengelolaan yang baik, museum tidak akan lagi menjadi sekadar ruang singgah, melainkan telah menjadi semacam kebutuhan untuk mengimajinasikan masa lalu sekaligus ruang negosiasi budaya. Semoga.
Muhammad Ghufron alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penikmat sejarah, editor lepas
(mmu/mmu)