Jakarta -
Tagar "kabur aja dulu" (#KaburAjaDulu) sempat menjadi trending topic diberbagai media sosial. Kesulitan mencari pekerjaan mendorong seruan pencari kerja untuk bekerja di luar negeri. Tidak hanya itu, mereka yang sedang sekolah di luar negeri juga diimbau untuk menetap di luar negeri sampai perekonomian membaik. Kondisi ini disebut brain drain, yaitu ketika penduduk terdidik memilih meninggalkan Indonesia untuk tinggal dan bekerja di luar negeri sehingga Indonesia kehilangan orang-orang pintar yang punya potensi besar membangun dan memajukan negeri ini.
Dalam teori ekonomi pendidikan, terdapat dua manfaat dari pendidikan, yaitu (i) manfaat yang dinikmati secara privat berupa gaji tinggi dan (ii) manfaat publik, yaitu manfaat yang dinikmati secara tidak langsung oleh masyarakat. Penduduk terdidik akan memiliki produktivitas tinggi sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan tercipta kesejahteraan masyarakat. Brain drain sejatinya akan merugikan Indonesia karena para cendekia dan tenaga kerja berpendidikan tinggi atau tenaga kerja terampil tidak berpartisipasi dalam pembangunan.
Indonesia saat ini sedang menikmati bonus demografi yaitu kondisi di mana penduduk usia produktif mendominasi struktur penduduk. Struktur penduduk demikian sesungguhnya dapat menjadi peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah kualitas penduduk yang tinggi dan terbukanya lapangan pekerjaan baru agar penduduk usia produktif tersebut bekerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun saat ini mencari pekerjaan menjadi sangat sulit. Akibatnya banyak pencari kerja yang terpaksa bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan pendidikannya, bekerja di sektor informal, memiliki pekerjaan tidak tetap, atau bahkan menganggur. Dampaknya, bonus demografi yang seharusnya menjadi peluang akan diwarnai dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak optimal karena tidak terpenuhinya salah satu syarat tadi.
Masa depan Indonesia terletak kepada penduduk muda yang ikut serta secara aktif dalam pembangunan. Salah satu ukuran ketenagakerjaan yang menunjukkan partisipasi kegiatan anak muda (15-24 tahun) dalam pasar kerja adalah Youth Not in Employment, Education, and Training (NEET). Padahal dalam rentang usia tersebut, pemuda semestinya sedang menuntut pendidikan atau bisa juga bekerja. Pemuda yang masuk kategori NEET ini misalnya ibu/bapak rumah tangga, pencari kerja, dan mereka yang putus asa mencari kerja meskipun sebenarnya punya kompetensi dan kapabilitas (discourage workers).
Pada 2024 Badan Pusat Statistik mencatat NEET di Indonesia sebesar 20,3 persen dari penduduk muda. Menilik standar International Labor Organization, rasio ini dikatakan tinggi karena melebihi 20 persen dari penduduk mudanya. Kondisi NEET yang tinggi berpotensi menimbulkan permasalahan dalam pembangunan ekonomi dan dapat menimbulkan scaring effect. Semakin lama seseorang menjadi NEET maka semakin sulit ia memasuki pasar tenaga kerja karena termarginalisasi dan ketinggalan zaman (obsolete). Di Indonesia diprakirakan terdapat 369,5 ribu anak muda (usia 15-29 tahun) yang dapat digolongkan dalam kategori ini.
Kesulitan mencari pekerjaan bagi penduduk muda menjadi semakin kompleks dengan persaingan yang semakin ketat. Pencari kerja yang baru lulus sekolah harus bersaing dengan tenaga kerja yang ingin pindah kerja atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Data BPS menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengangguran terbuka, dari 4,79 juta pada 2023 menjadi 7,47 juta pada Agustus 2024. Sementara itu, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK juga diprediksi akan bertambah sebesar 280 ribu orang dari 60 perusahaan tekstil. Ini hanya sebagian cerita dari PHK yang muncul ke permukaan.
Kompleksitas dalam pasar tenaga kerja diprakirakan akan semakin tinggi dengan efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah. Di satu sisi dana yang dikumpulkan akan menjadi sumber dana investasi melalui Danantara dan diharapkan Indonesia akan menikmati imbal balik berupa pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di masa depan. Di sisi lain, penurunan pengeluaran pemerintah juga diprakirakan menjadi faktor yang akan menurunkan pendapatan nasional saat ini. Dengan efisiensi maka akan terjadi perlambatan ekonomi yang akan makin menyempitkan lapangan kerja atau dengan kata lain makin sulit kerja.
Tagar #KaburAjaDulu menggambarkan bagaimana anak muda Indonesia merasa gemas terhadap kondisi ekonomi. Tagar ini juga ingin menunjukkan bahwa anak muda punya potensi, yang dibuktikan keberhasilan mereka mendapatkan pekerjaan yang baik di luar negeri. Bekerja di luar negeri bukan merupakan bentuk kurangnya nasionalisme tetapi hanya terdorong pada adanya peluang bekerja yang lebih baik serta cara mereka untuk bertahan hidup.
BPS menghitung bahwa rata-rata upah di Indonesia pada 2024 sebesar Rp 3.267.618 dan rata-rata upah lulusan sarjana sebesar Rp 4.685.241. Upah rata-rata ini lebih rendah dibandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta pada 2024 yang senilai Rp 5.067.381. Upah minimum menggambarkan upah yang minimal harus diterima agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Nilai upah rata-rata harus diterjemahkan bahwa pasti ada yang menerima upah tinggi namun banyak yang menerima upah yang rendah.
Bekerja di luar negeri semestinya disikapi dengan penghargaan bahwa anak bangsa Indonesia dapat bersaing dan secara mandiri dapat mencari peluang kerja. Kata "dulu aja" dalam tagar #KaburDuluAja dapat diartikan bahwa saat ini kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia sedang tidak kondusif dan mereka yang memilih untuk bekerja di luar negeri akan kembali pada saat yang tepat untuk berkarier dan membangun Indonesia.
Tagar #KaburAjaDulu perlu disikapi dengan seksama untuk mendorong tenaga kerja terdidik agar tetap berkarya di Indonesia. Pemerintah setidaknya perlu memastikan tiga hal mendasar. Pertama, kebijakan yang ditempuh menyentuh seluruh sendiri kehidupan bernegara dan dikomunikasikan secara efektif. Kedua, menghilangkan stigma dan realitas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tidak menciptakan lapangan pekerjaan (jobless growth). Ketiga, mengimplementasikan perencanaan dan pemetaan pendidikan yang sesuai dengan arah kebijakan sektor unggulan ekonomi sehingga lapangan pekerjaan sesuai dengan ketersediaan lapangan kerja.
Selain itu, kebijakan yang menyangkut ekosistem pasar kerja juga perlu diperkuat dengan; pertama, memperluas akses terhadap upgrading keterampilan untuk pekerja dan pencari kerja supaya tidak obsolete. Kedua, meningkatkan akses kepada platform cari kerja yang menyediakan informasi tentang lowongan kerja. Semoga ke depan tagar di trending topic media sosial akan berubah menjadi #KerjaDisiniAja sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih pro-job for all.
Dr. Dwini Handayani dosen dan peneliti di Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Sekretaris Umum Koalisi Kependudukan Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu