Menghindari Paradoks Puasa

1 week ago 12

Jakarta -

Ungkapan bijak idamuhu al-ju atau lauk paling nikmat adalah rasa lapar sebenarnya memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya hidup sederhana serta pengendalian hawa nafsu. Inilah salah satu esensi dan hikmah utama dari ibadah puasa pada bulan Ramadhan.

Kondisi lapar, terutama saat berpuasa, dapat menjadikan menu makanan yang paling sederhana sekalipun terasa sangat lezat, sehingga sejatinya tidak ada alasan bagi kita untuk mencari kemewahan atau kelezatan makanan yang berlebihan. Namun belakangan ini, hikmah puasa tersebut tampak memudar, terutama saat berbuka puasa di tempat di mana beragam pilihan makanan lezat disajikan dalam jumlah melimpah serta pengunjung dibebaskan menikmati menu sepuasnya. Baik ketika berbuka puasa bersama di rumah seseorang, atau di restoran, hotel, dan tempat makan yang berkonsep all you can eat atau buffet.

Kalap makan, itulah yang masih sering terjadi. Sebuah istilah yang mungkin terdengar tajam, tetapi sebenarnya lebih menggambarkan realitas yang ada. Kondisi ketika seseorang makan dengan amat lahap, cenderung berlebihan, seringkali tanpa memperdulikan rasa kenyang apalagi kebutuhan tubuh. Bahkan mengarah kepada tindakan food waste, pemborosan makanan; makanan telanjur diambil dalam jumlah berlebihan, namun pada akhirnya tidak dihabiskan dan akhirnya terbuang dengan sia-sia. Saya telah beberapa kali menyaksikan kejadian serupa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alliaesthesia

Martin Easwood (2003) dalam bukunya Principles of Human Nutrition menyebutkan ritual makan biasanya diakhiri dengan perasaan kenyang. Itu terjadi ketika excitatory stimulus atau sensasi lapar yang terjadi pada awal makan telah teratasi, yang disebut dengan istilah alliaesthesia, pengendalian terhadap perasaan menyenangkan terhadap makanan. Yakni, saat seluruh saluran pencernaan bagian atas menghasilkan rangsangan sensorik untuk memberikan sinyal bahwa proses makan harus dihentikan.

Secara sederhana, alliaesthesia adalah fenomena di mana persepsi sensorik, misalnya rasa makanan, dipengaruhi oleh keadaan fisiologis tubuh. Contoh paling mudah, saat lapar makanan terasa lebih enak, dan ketika telah kenyang maka makanan yang sama akan terasa tidak menarik lagi, sehingga cenderung berhenti makan. Dalam kondisi normal alliaesthesia sangat berperan dalam mengarahkan perilaku makan berdasarkan kebutuhan tubuh untuk menjaga homeostasis atau keseimbangan energi.

Hal tersebut hampir serupa dengan cara kerja leptin, yang bertugas memberikan sinyal rasa kenyang. Leptin adalah hormon yang dibuat oleh sel lemak untuk mengendalikan nafsu makan dengan mengirimkan sinyal ke otak (hipotalamus) bahwa perut sudah penuh dan terasa kenyang, sehingga tubuh tidak lagi membutuhkan asupan makanan.

Masalah muncul ketika terjadi "anomali alliaesthesia", gangguan yang menyebabkan seseorang tetap merasa ingin terus makan meskipun sebenarnya tubuh sudah merasakan sinyal kenyang. Penyimpangan seperti itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti hormonal, neurologis, ataupun psikologis.

Waktu yang Ideal

Puasa Ramadhan seharusnya menjadi waktu yang ideal untuk mengendalikan nafsu makan, namun kenyataannya banyak yang justru kalap makan terutama saat berbuka puasa sehingga menciptakan paradoks puasa.

Rupanya, faktor psikologis telah menjadi salah satu sebab utama paradoks tersebut. Pertama, emotional eating, di mana seseorang makan karena lapar emosional dan bukan karena lapar fisik atau kebutuhan fisik. Bertujuan untuk meredakan emosi seperti stres, kecemasan, kesedihan, atau bahkan kegembiraan. Meskipun kenyang, makanan tetap dilahap dan dirasakan sebagai "hadiah" atau pelipur lara.

Kedua, mindless eating. Makan terlalu cepat dapat membuat otak tidak sempat menerima sinyal kenyang dari hormon seperti leptin, sehingga seseorang terus makan. Otak membutuhkan hampir setelah 20 menit untuk memberikan sinyal kenyang dan berhenti makan. Cara sederhana untuk menghindari paradoks puasa seperti ini bisa dilakukan dengan mengunyah makanan secara perlahan, nikmati makanan, sehingga ada kesempatan juga untuk menghargai makanan. Cobalah untuk makan dengan penuh perhatian, tanpa distraksi, dan tanpa melakukan aktivitas lain selain makan. Itulah yang disebut dengan mindful eating.

Sebab lainnya adalah faktor literasi gizi yang masih rendah. Mudah membuktikannya. Sebagian besar umat Islam masih lebih banyak mengonsumsi menu makanan tinggi karbohidrat dan lemak ketimbang makanan sumber protein maupun serat. Sayangnya, makanan sumber karbohidrat dan lemak, secara nutrisi merupakan "jebakan"; keduanya memiliki efek termal makanan (thermal effect of food/TEF) yang rendah (karbohidrat 5-10%; lemak 0-3%), sedangkan protein memiliki TEF paling tinggi 20-30% (Halton et al., 2004).

TEF adalah jumlah energi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk mencerna, menyerap, dan memproses makanan yang dikonsumsi. Ketika kita mengonsumsi makanan tinggi protein dan serat, tubuh memerlukan lebih banyak energi untuk mencerna dan memprosesnya. Salbe, et al. (2004) dalam artikelnya yang bertajuk Negative relationship between fasting plasma ghrelin concentrations and ad libitum food intake menjelaskan bahwa jenis makanan dengan TEF tinggi dapat memberikan rasa kenyang yang lebih lama.

Efek termal makanan yang tinggi juga memberikan beberapa manfaat kesehatan, contohnya membantu meningkatkan metabolisme, mengendalikan nafsu makan, mengurangi lemak tubuh, meningkatkan kesehatan pencernaan, karena tubuh harus memproduksi lebih banyak enzim pencernaan untuk mencerna makanan tersebut.

Agar terhindar dari anomali alliaesthesia dan paradoks puasa Ramadhan, maka jauhilah emotional eating, tinggalkan mindless eating sekaligus perbaiki literasi gizi dengan meningkatkan konsumsi menu tinggi protein dan serat yang selama ini memang masih kurang, agar merasakan kenyang lebih lama serta imunitas tubuh yang meningkat. Hasilnya badan menjadi lebih kuat untuk banyak aktivitas Ramadhan yang sarat makna.

Sunardi Siswodiharjo food enginner dan pemerhati gaya hidup, tinggal di Malang

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial