Jakarta -
Kasus dugaan impor gula tahun 2015-2016 yang diusut Kejaksaan Agung (Kejagung) menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong. Korps Adhyaksa menegaskan tidak ada politisasi dalam kasus ini.
Kasus dugaan korupsi dalam impor gula ini baru menjerat 2 tersangka yaitu Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015-2016 dan Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI).
Dalam kasus ini ada beberapa istilah yang harus dipahami yaitu Gula Kristal Mentah (GKM), Gula Kristal Rafinasi (GKR), dan Gula Kristal Putih (GKP). Mudahnya adalah GKM dan GKR adalah gula yang dipakai untuk proses produksi, sedangkan GKP dapat dikonsumsi langsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan aturan yang diteken Tom Lembong sendiri saat menjadi Mendag yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 (Selanjutnya disebut Permendag Nomor 117 Tahun 2015) tentang Ketentuan Impor Gula disebutkan hanya BUMN yang diizinkan melakukan impor GKP, itu pun harus sesuai kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian serta dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Sedangkan dalam perkara ini di mana saat tahun 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM yang kemudian diolah menjadi GKP.
Jaksa mengatakan Tom Lembong menekan surat penugasan ke PT PPI untuk bekerja sama dengan swasta mengolah GKM impor itu menjadi GKP. Total ada 9 perusahaan swasta yang disebutkan yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan terakhir PT KTM.
"Atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka TTL (Thomas Trikasih Lembong), Persetujuan Impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung," kata Abdul Qohar selaku Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Setelah perusahaan swasta itu mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membelinya. Padahal yang terjadi, menurut jaksa, GKP itu dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta itu ke masyarakat melalui distributor dengan angka Rp 3 ribu lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET).
"Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee sebesar Rp 105/kg. Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp 400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara," imbuh Abdul Qohar.
Kejagung Tegaskan Tak Ada Politisasi
Dalam konferensi pers Selasa 29 Oktober 2024, Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menegaskan tidak ada unsur politisasi dalam kasus ini. Dia menyebut pihaknya tidak pernah memilih siapa yang hendak dijadikan tersangka dalam mengusut suatu kasus.
"Bahwa penyidik bekerja berdasarkan alat bukti, itu yang perlu digarisbawahi, tidak terkecuali siapapun pelakunya ketika ditemukan bukti yang cukup maka penyidik pasti akan menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka," kata Dirdik Jampidsus Kejagug Abdul Qohar.
"Saya ulangi, tidak memilih atau memilah siapa pelakunya sepanjang memenuhi alat bukti yang cukup," tambahnya.
Penyidikan Sejak 2023
Qohar menjelaskan kasus ini telah diusut sejak Oktober 2023. Kejagung saat ini sudah memeriksa total 90 saksi.
"Penyidikan dalam perkara ini sudah cukup lama, sejak Oktober 2023. Jadi kalau dihitung mungkin satu tahun dengan jumlah saksi sekitar 90," ujarnya.
Tak hanya itu, kata Qohar, kasus ini bukan kasus biasa. Sehingga, katanya, penghitungan kerugian negara memerlukan waktu yang cukup lama dengan menggandeng para ahli.
"Tentu penyidikan tidak hanya berdiri di sana, kita juga minta penghitung kerugian uang negara, juga memerlukan ahli sehingga cukup lama, karena perkara ini bukan perkara yang biasa, bukan perkara yang sederhana," katanya.
Qohar menegaskan penyidikan kasus ini sudah berlangsung satu tahun jauh sebelum adanya pemilihan presiden (pilpres). Dia menyebut penyidik selalu melakukan kegiatan berlandaskan KUHAP.
"Kita sudah tahap penyidikan satu tahun, artinya penyidikan sebelum itu (Pilpres). Saya tidak punya data ini mulai kapan (penyelidikan), tapi yang pasti sistem dari penyidikan adalah penyelidikan, itulah tahap yang telah diatur dan ditentukan dalam KUHAP, cukup ya," tambahnya.
Senada dengan Qohar, Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menegaskan kasus ini berawal dari laporan masyarakat. Berangkat dari itu, pihaknya memeriksa saksi yang kini totalnya sudah 90 orang.
"Ya kan dari sekitar 90 orang saksi itu tentu. Sekarang kan gini dia, ada laporan pengaduan masyarakat, lalu dikaji ya, ditelaah, kemudian dilakukan penyelidikan untuk mengetahui apakah ini ada peristiwa pidananya. Ternyata ada, lalu di naikan ke penyidikan," kata Harli.
Harli menyebut penyidik menemukan adanya tindak pidana dalam impor gula tersebut. Dia juga mengatakan telah meminta keterangan ahli untuk membuat terang perkara ini.
"Tentu karena ini sudah penyidikan, penyidikan itu kan serangkaian tindak penyidik untuk membuat terang tindak pidana ini. makanya dikumpulkan melalui ada keterangan saksi, ada bisa dari surat, kembali 185 KUHAP itu," ujarnya.
"Ada keterangan ahli, seperti yang sudah disampaikan Dirdik kemarin, tentu kan adalah saksi yang sudah diperiksa. Karena apa? Kalau tidak gimana tahu bahwa 2015 ternyata menurut pemerintah ya, kita kan surplus gula, tidak perlu dilakukan importasi gula," imbuhnya.
Harli menegaskan tidak ada unsur politisasi dalam perkara ini. Dia meminta dukungan masyarakat untuk mengusut tuntas kasus ini.
"Tidak ada politisasi dalam perkara ini ya, dan kami sangat bersyukur rekan-rekan media melakukan dukungan, support dan ini bagian dari support masyarakat," ujar Harli.
Lihat Video: Terpopuler Sepekan: Tom Lembong Tersangka-Pegawai Komdigi Terjerat Judol
(whn/dhn)