Imlek dan Etnis Tionghoa yang Kian Inklusif

14 hours ago 4

Jakarta - Perayaan menyambut Tahun Baru Imlek atau Guo Xin Nian sudah diperingati sejak berabad-abad lalu. Kata imlek berasal dari dialek bahsa Hokkian yang berarti penanggalan bulan atau yinli dalam bahasa Mandarin. Perayaan ini jauh lebih tua ketimbang Natal atau Idul Fitri. Mereka bahkan ada jauh Sebelum Masehi (SM). Tahun Baru Imlek di Tiongkok lebih dikenal dengan sebutan Chunjie atau perayaan musim semi. Tahun Baru Imlek tahun ini ke 2576 dihitung sejak 551 SM yang diambil dari kelahiran Kong Hu Cu.

Sejak beberapa waktu lalu pernak-pernik Imlek muncul di mana-mana khususnya di pusat-pusat perbelanjaan. Perayaan Imlek terbilang unik karena dirayakan warga etnis Tionghoa selama 15 hari yang nanti akan berpuncak di Cap Go Meh. Dalam sejarahnya Imlek atau dikenal dengan Sin Tjia merupakan perayaan para petani yang jatuh pada tanggal satu pada bulan pertama tahun baru. Karena bermula dari perayaan kaum petani pernak-pernik Imlek tidak lepas dari produk pertanian seperti buah jeruk dan kue keranjang.

Musim semi disambut dengan suka cita karena musim dingin akan segera berlalu dan tibalah saat petani menanam lagi tanaman padi untuk wilayah Tiongkok Selatan dan kebanyakan gandum untuk Tiongkok Utara. Karena mengandalkan alam untuk kehidupan mereka, menyambut datangnya musim semi merupakan keharusan yang dirayakan. Perayaan Imlek dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama atau lebih dikenal dengan Cap Go Meh.

Makna Khusus

Bagi masyarakat Tionghoa yang bermukim di Indonesia, Imlek bukan sekedar hari raya yang patut diperingati karena tradisi yang sudah berlangsung berabad-abad melainkan Imlek mempunyai makna yang khusus. Ini karena sepanjang Orde Baru perayaan ini "dibekukan" pemerintah. Bagi masyarakat Tionghoa, Imlek menjadi penanda identitas dan kebangsaan, yang berarti kehadiran mereka diakui. Penghormatan terhadap perayaan Imlek merupakan penghormatan kepada agama Kong Hu Cu di samping agama resmi yang telah ada sebelumnya seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha.

Sejarah panjang perayaan Imlek di Tanah Air dimulai sejak tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998. Meski pada pengujung pemerintahan Soeharto disadari adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa melalui pencabutan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) dengan Keppres No 56 Tahun 1996. Berturut-turut pada 1998 Presiden BJ Habibie melalui Keppres No 26 Tahun 1998 tentang penghentian istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan kebijakan program pemerintah.

Dan, pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikeluarkan Keppres No 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa. Pada era Gus Dur ini masyarakat mulai akrab lagi dengan kebudayaan Tionghoa seperti tarian barongsai yang selama ini hanya boleh disaksikan di Kelenteng boleh hadir bersama kesenian lain di Tanah Air.

Sejak 2000 perayaan Tahun Baru Imlek mulai boleh diperingati. Pada era Gus Dur inilah masyarakat Tionghoa menikmati kebebasannya. Kemeriahan Imlek mulai dapat dirasakan di semua tempat bahkan pernak-perniknya membanjir di pusat perbelanjaan sejajar ketika menjelang perayaan keagamaan seperti Idul Fitri dan Natal. Puncak euforia kebebasan masyarakat Tionghoa terjadi pada era Presiden Megawati Soekarno Putri melalui Keppres No 19 Tahun 2002 yang secara resmi memberlakukan Imlek sebagai hari libur nasional.

Dan, ketika Presiden SBY berkuasa, melalui UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia antara lain menjelaskan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang yang disahkan dengan Undang-Undang menjadi warga negara. Selain itu melalui UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis saat ini hak dan kewajiban warga Tionghoa sama dengan warga negara Indonesia lain.

Semangat Kebangsaan

Saat ini warga Tionghoa telah menunjukkan semangat kebangsaan yang dapat diaktualisasi dalam bentuknya yang nyata baik dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Antara lain momentum untuk saling mengingatkan dan introspeksi sumbangan warga Tionghoa kepada bangsa Indonesia. Jika semangat itu tertanam kuat, maka akan tercipta masyarakat adil, demokratis, dan harmonis sebagai anak-anak bangsa yang bersatu padu.

Meski demikian masyarakat Tionghoa saat ini masih berada di pinggiran kekuasaan di negara ini. Kontribusi mereka di bidang politik masih terasa kurang. Kepala daerah dan wakil rakyat dari etnis ini masih minim. Inklusivitas perlu terus digalakkan agar tidak hanya di sektor bisnis mereka mendominasi. Sektor lain juga membutuhkan sentuhan dari etnis ini. Jangan berkesan inklusif karena sudah diterima sebagai warga bangsa Indonesia.

Di tengah masyarakat mereka perlu lebih membuka diri dalam gerak dan dinamika masyarakat. Hal-hal kecil dan sederhana seperti kegiatan di kampung --dasa wisma, PKK, kerja bakti, jalan sehat-- perlulah mereka juga berpartisipasi aktif dan tidak sekadar hanya berburu keuntungan sementara kontribusi bermasyarakat minim.

Mungkin memang akan banyak ketegangan ketika berada dalam sosial politik praktis. Ben Chu (2017) dalam buku China Whispers menyatakan masyarakat Tionghoa sebagai orang yang mematuhi kekuasaan. Bahkan Karl Marx menyebut warga Tionghoa sebagai warga negara yang terjebak dalam rezim kerja paksa pra-feodal yang tidak menyisakan ruang bagi semangat mengejar kebebasan.

Sifat dasar orang Tionghoa adalah politis pasif. Hal ini sejalan dengan ajaran Konfusius yang menyatakan, "Biarkan raja menjadi raja, rakyat menjadi rakyat, ayah menjadi ayah, dan anak menjadi anak." Namun demikian warga Tionghoa mewarisi dengan sistem pendidikan yang konon terbaik di dunia. Di negara Tiongkok orang Tionghoa mempunyai sistem ujian tinggi yang sangat ketat diberlakukan di seluruh penjuru negeri untuk seleksi masuk perguruan tinggi. Iklim pendidikan yang ketat dan masyarakat yang suka bekerja keras rupanya menjadi modal besar Tionghoa.

Legenda pekerja keras orang Tionghoa dikenal di seantero jagat. Mark Twain membedakan orang Tionghoa dan Amerika: "Orang kulit putih sering mengeluh karena ingin bekerja, tapi tidak demikian halnya dengan orang Tionghoa mereka selalu bisa menemukan sesuatu untuk dikerjakan."

Tionghoa beruntung dengan ajaran Konfusian mereka; kesetiaan pada keluarga, penghargaan terhadap pendidikan, rasa memiliki tanggung jawab sangat menguntungkan kapitalis Tionghoa, membantu mereka menginvestasi masa depan, mengadaptasi teknologi dan mengadopsi nilai-nilai baru dalam melakukan sesuatu. Imlek dapat menjadi ajang saling belajar dengan budaya masyarakat Tionghoa yang tidak pernah kenal lelah membangun peradaban.

Paulus Mujiran Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial