Hidup Ini Sederhana, dan Bahagia Itu Mudah

3 weeks ago 12

Jakarta -

Judul Buku: Berani Tidak Disukai; Penulis: Ichiro Kishimo dan Fumitake Koga; Penerjemah: Agnes Cynthia; Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (Cetakan Pertama, 2019); Tebal: 352 hal.

Mengapa buku yang sebenarnya agak rumit dan "muter-muter" ini begitu membahana dan disukai --sampai dibikinkan edisi hard cover? Dicetak pertama menjelang akhir 2019, per awal 2024 buku ini sudah memasuki cetakan ke-24. Itu tidak termasuk edisi hard cover-nya.

Dengan judul menantang, bernada menjanjikan sebentuk superioritas yang heroik, semacam klaim kekerenan baru, rasanya tidak sulit untuk membuat buku ini dicomot dari tumpukannya di toko dan dibawa ke kasir tanpa perlu membaca keterangan di bagian sampul belakang, ini buku tentang apa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sub judulnya menyebut buku ini "fenomena dari Jepang", dan selebihnya kita langsung tahu ini buku self-help lain tentang mengubah hidup dan meraih kebahagiaan sejati. Pada akhirnya, semua buku memang tentang kebahagiaan. Lantas, apa yang baru?

Pada dasarnya ini buku psikologi yang "berat"; memperkenalkan teori psikologi Adler, yang disebut sebagai raksasa ketiga yang tak dikenal (dibandingkan Freud dan Jung yang semua orang tahu). Namun, penulisnya lihai menghindari istilah-istilah teknis sehingga mudah diterima dan dipahami pembaca luas.

Tentu saja, bicara teori psikologi, nyaris mustahil menghindari istilah-istilah teknis. Faktanya, sejak awal pembaca sudah dihadang dengan konsep teleologi (vs aetiologi), dan seterusnya kita akan bertemu dengan 'inferioritas', 'perasaan sosial', 'penerimaan diri' hingga 'dusta kehidupan'. Terdengar membosankan?

Kelebihan utama buku ini bukan kemampuannya menjelaskan istilah-istilah teknis itu dengan mudah, tapi soal kemasannya. Buku ini disajikan secara "novelty", menghadirkan seorang filsuf dan anak muda yang berdiskusi. Simak pembukaannya yang langsung mengusik rasa penasaran kita: Di sebuah kota berusia seribu tahun, tinggal seorang filsuf yang mengajari bahwa dunia ini sederhana, dan bahwa kebahagiaan dapat diraih dalam sekejap mata oleh setiap manusia.

Seorang pemuda yang tidak puas dengan hidupnya mengunjungi filsuf ini untuk mencari tahu inti masalahnya. Dia mendapati dunia ini sebagai gumpalan kontradiksi yang carut-marut dan, di matanya yang gelisah, gagasan apapun tentang kebahagiaan adalah hal yang tidak masuk akal.

Sebuah kota berusia seribu tahun langsung mengingatkan kita pada Kota Lembu Belang dalam kitab Zarathustra karya Nietzsche, dan tanya-jawab yang terjadi antara sang filsuf dengan anak muda mengingatkan pada gaya filsafat Socrates yang menghadirkan dialog.

Jadi, ini buku psikologi atau filsafat? Bisa dikatakan, ini oplosan yang cukup menyegarkan (dan mengesankan) antara pemikiran Socrates dan filsuf-filsuf Yunani Kuno lainnya, sanggahan teori Freud, stoikisme (yang hari-hari ini makin digemari), hingga Zen-Budhisme untuk menyampaikan gagasan inti bahwa dunia dan kehidupan ini sederhana, dan kebahagiaan itu mudah bagi semua orang.

Adler sendiri, sebagaimana kemudian diperkenalkan lewat tanya-jawab dalam buku ini, adalah sosok pemikir dan filsuf yang gagasan-gagasannya menjangkau jauh melampaui lingkup ilmu psikologi klinis. Pernyataan Adler bahwa "hanya dalam konteks sosial seseorang menjadi individu" jelas merupakan filosofi ala Hegel. Dan, dalam penekanannya terhadap interpretasi subjektif yang berada di atas kebenaran objektif, menggemakan kembali pandangan (lagi-lagi harus disebut) Nietzsche tentang dunia.

Di dunia yang sudah didefinisikan dengan 'mapan' oleh Freud, gagasan-gagasan dalam buku ini barangkali akan terasa konyol; menyangkal masa lalu, pengaruh lingkungan, dan hubungan sebab-akibat; bahwa trauma itu tidak ada; dan, kehidupan setiap orang dimulai pada titik sekarang....Yang benar saja! Atau, dalam pernyataan penulis bukunya sendiri: bukan hal yang mudah untuk menjadikan gagasan-gagasan Adler sebagai milik seseorang dan mempraktikkannya.

Akan ada beberapa (atau banyak?) poin yang membuat kita sebagai pembaca ingin memberontak, pernyataan yang sukar diterima, dan proposal yang mungkin sulit dipahami. Bentuk tanya jawab, yang disajikan dalam bab-bab yang relatif pendek sehingga enak diikuti, memungkinkan berbagai suara di kepala kita yang menolak gagasan dalam buku ini langsung terjawab, melalui suara si anak muda yang tidak serta-merta mengiyakan pernyataan-pernyataan sang filsuf.

Berangkat dari kredo "semua persoalan hidup adalah tentang hubungan interpersonal", kita ditantang dengan tawaran-tawaran yang menjungkirbalikkan keyakinan kita selama ini, dan mengubah pandangan tentang dunia dan eksistensi kita di dalamnya. Satu contoh, ketika membahas tentang keberadaan individu dalam komunitas, sang filsuf sebagai juru bicara Adler mencoba meyakinkan si anak muda yang bimbang. Bahwa ada dunia yang lebih luas di luar sana yang membentang jauh melampaui batasan...dan setiap diri kita adalah anggota dari dunia tersebut.

Kalau tidak ada tempat berlindung di sini (di sekolahmu, misalnya), engkau sebaiknya mencari tempat berlindung lain di luar (dinding sekolah). Relasi dengan sebuah komunitas yang bisa diputuskan semata dengan menyampaikan pemberitahuan untuk mundur adalah relasi yang bisa berjalan hanya sampai batas tertentu. Sesudah mengetahui betapa luas dunia ini, engkau akan melihat bahwa semua kesukaran yang kau lalui (di sekolah, di tempat kerja) hanyalah badai dalam secangkir teh. Saat engkau meninggalkan cangkir tersebut, badai yang bergolak itu akan hilang dan angin sepoi-sepoi akan menyambutmu sebagai gantinya.

Itu adalah satu contoh tawaran saja dalam buku ini, yang barangkali kedengarannya cukup ekstrem, atau setidaknnya bukan tak terbantah. Namun, seperti bentuk narasi yang disajikannya, buku ini adalah sebuah tawaran dialog, diskusi, tukar pendapat. Kita bisa saja tidak setuju dengan beberapa atau banyak poin, atau sebaliknya, mulai memikirkannya. Pada akhirnya, penulis buku ini yakin -=dan memang itulah tujuannya-- bahwa ide-ide Adler memiliki kekuatan untuk benar-benar mengubah hidup seseorang. Berani?

Mumu Aloha wartawan, editor, bergiat di Detikcom Book Club

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial