Fesyen, Paspor Budaya, dan Navigasi Identitas

3 weeks ago 13

Jakarta -

Bayangkan sejenak bahwa pakaian yang kita kenakan sehari-hari menjadi semacam "paspor" yang menunjukkan siapa kita dan di mana tempat kita dalam masyarakat. Tidak ada stempel visa, hanya potongan kain, warna, dan gaya yang berbicara tentang asal-usul, nilai-nilai, dan kelompok yang kita pilih atau terpaksa kita masuki. Di dunia di mana identitas kita semakin dipertanyakan, apakah mungkin busana yang kita kenakan bukan hanya sekadar pilihan mode, melainkan sebuah pernyataan tentang identitas kita dalam masyarakat dunia?

Busana dapat berfungsi sebagai "dokumen" yang menunjukkan identitas seseorang, tetapi tidak dalam cara yang sederhana. Pilihan pakaian bisa menjadi simbol yang lebih kuat daripada kata-kata, memperlihatkan siapa yang memiliki akses ke sumber daya tertentu, siapa yang lebih tradisional, siapa yang inovatif, atau bahkan siapa yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam hiruk-pikuk mode sama sekali.

Bahasa Global

Menurut Sri Budi Lestari dalam artikel ilmiahnya berjudul Fashion sebagai Komunikasi Identitas Sosial di Kalangan Mahasiswa, fesyen adalah sebuah bentuk ekspresi individualistik dengan kandungan nilai-nilai yang ingin ditampilkan di dalamnya. Pada era globalisasi, selain sebagai penanda budaya pakaian juga berperan sebagai bahasa global. Berkat media sosial dan internet, tren mode bisa menyebar dengan cepat melintasi batas-batas negara.

Kaos trendi, sepatu sneakers luxury, atau jaket kulit biker yang terlihat di jalanan Jakarta, Paris, atau New York menjadi semacam "visa budaya" yang menunjukkan afiliasi seseorang dengan kelompok tertentu terlepas dari negara asalnya. Namun di balik kemampuan busana untuk melintasi batas-batas geografis, ada pertanyaan lebih mendalam tentang bagaimana busana mencerminkan identitas seseorang di dunia modern. Apakah mengenakan merek internasional berarti kita melepaskan diri dari akar budaya kita, ataukah kita sedang menciptakan identitas baru yang lebih cair, di mana pakaian menjadi jembatan antara lokal dan global?


Alat Politik

Di berbagai negara, warna dan pola pakaian memiliki makna yang sangat dalam. Sebagai contoh, batik di Indonesia tidak hanya mencerminkan keindahan dan keterampilan seni, tetapi juga kebanggaan budaya dan identitas nasional. Sari di India, kimono di Jepang, atau bahkan kilt di Skotlandia tidak hanya sekadar kain yang dikenakan, melainkan sebagai representasi visual dari sejarah, tradisi, dan filosofi hidup masyarakatnya.

Simbolisme menjadi semakin kompleks pada era modern. Pakaian yang dulunya menjadi identitas budaya kini sering dikomodifikasi dalam industri mode global. Batik yang dulu menjadi simbol nasionalisme Indonesia kini bisa dilihat di toko-toko fesyen di seluruh dunia. Apakah ini memperkuat identitas budaya atau justru mereduksinya menjadi sekadar komoditas internasional?

Di satu sisi, pengakuan global terhadap budaya lokal dapat dilihat sebagai bentuk apresiasi yang memperkuat identitas budaya. Ketika batik dikenakan di panggung internasional, ia membawa cerita, nilai, dan warisan bangsa kita ke dunia luar. Penerimaan global terhadap batik menunjukkan bahwa identitas budaya kita dihargai dan diakui di dunia yang semakin saling terhubung.

Namun, di sisi lain, komodifikasi budaya juga menjadi risiko. Ketika pakaian tradisional menjadi bagian dari industri mode global, sering makna mendalam yang melekat pada simbol-simbol tersebut hilang atau diredam. Batik yang dijual sebagai item fesyen di toko internasional mungkin tidak lagi mewakili nilai-nilai sejarah dan tradisi yang sebenarnya. Dalam konteks ini, budaya bisa diringkas menjadi sekadar tren yang cepat berlalu, terlepas dari makna yang seharusnya dipertahankan.

Selain itu, pakaian sering menjadi alat politik yang kuat. Di beberapa negara, apa yang dikenakan seseorang bisa menjadi pernyataan politik tersendiri. Contoh paling jelas mungkin terlihat dalam perdebatan tentang pakaian religius di negara-negara Barat, di mana hijab sering menjadi simbol yang diperebutkan antara kebebasan beragama dan sekularisme. Pakaian dalam konteks ini menjadi "paspor ideologis" yang dapat membuka atau menutup pintu kesempatan, bergantung pada siapa yang melihatnya.


Akses dan Status

Jika kita berpikir tentang pakaian sebagai paspor, salah satu aspek penting yang harus dipertimbangkan adalah bagaimana busana bisa menjadi penanda akses sosial dan ekonomi. Pakaian mewah sering menjadi simbol status yang menandai seseorang sebagai elite atau berdaya beli tinggi. Merek-merek seperti Gucci, Chanel, atau Louis Vuitton tidak hanya menjual produk, tetapi juga menjual status sosial dan siapa yang mampu membelinya memiliki akses lebih luas ke ruang-ruang sosial yang lebih eksklusif.

Di sisi lain, busana yang dikenakan oleh kelas pekerja sering menjadi representasi dari tantangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Sandal putih, celana training polos, hingga kaos hadiah partai menjadi penanda bahwa pemakainya berada dalam kategori sosial yang berbeda. Jika pakaian adalah paspor, maka item-item ini menunjukkan identitas kelas yang berbeda, membagi siapa yang dapat bergerak bebas dalam lingkungan elite dan siapa yang terjebak dalam batas-batas status sosial mereka.


Akar Budaya

Di tengah hiruk-pikuk tren mode global, pakaian khas Indonesia tetap menjadi simbol kuat dari kebanggaan dan penghargaan terhadap warisan budaya. Busana tradisional kita seperti batik dan kain tenun bukan hanya sekadar penanda identitas nasional, tetapi juga bagian dari kekayaan budaya yang patut kita banggakan. Mengenakan pakaian khas bangsa sendiri adalah pernyataan bahwa kita tetap menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan sejarah pada era globalisasi ini.

Sebagai bangsa yang kaya akan warisan budaya, pakaian tradisional kita adalah tanda yang menghubungkan kita dengan akar budaya, sekaligus menjadi simbol yang kita tunjukkan kepada dunia. Dengan memakainya, kita menunjukkan kebanggaan akan identitas kita, dan bahwa kita tetap kuat di tengah arus modernisasi yang cepat.

Busana bukan hanya sekadar cara untuk tampil, melainkan sebagai cerminan identitas kita, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat yang lebih besar.

Pakaian tidak hanya menghubungkan kita dengan kelompok budaya atau sosial tertentu, tetapi juga bisa membuka atau membatasi peluang kita dalam kehidupan. Ketika kita mengenakan pakaian, kita juga membuat pernyataan tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita ingin pergi. Fesyen adalah bahasa universal yang memungkinkan kita berkomunikasi di dunia yang penuh dengan keragaman identitas. Setiap pakaian yang kita kenakan adalah paspor yang menunjukkan navigasi kita melalui kehidupan.

Rintan Dwi Anggraini pengamat fesyen

(mmu/mmu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial