Jakarta -
Setidaknya 40 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam tragedi yang terjadi pada hari Rabu (29/01) dini hari waktu setempat di festival keagamaan terbesar dunia, Maha Kumbh Mela, yang digelar setiap 12 tahun sekali dan berhasil menarik jutaan orang ke Prayagraj, sebuah kota di wilayah India utara.
Kerumunan mulai tidak terkendali saat orang-orang mulai berdesakan menuju ke pertemuan di tiga sungai suci, yakni Gangga, Yamuna, dan Saraswati, untuk melakukan ritual mandi suci, yang diyakini dapat membersihkan dosa dan membebaskan mereka dari reinkarnasi.
Saksi mata mengatakan kepada DW bahwa barikade keamanan diterobos, dan orang-orang mulai tersandung satu sama lain saat ribuan lainnya saling menginjak dan terinjak, dalam upaya menyelamatkan diri ke tepian sungai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kejadiannya sekitar pukul 01.45 dini hari. Orang-orang terhimpit dalam kerumunan, dan saya melihat gelombang manusia bergerak maju. Banyak perempuan dan anak-anak yang sedang tidur saat tragedi itu terjadi," kata Saurabh Singh, seorang peserta festival, kepada DW.
"Saya sampai tidak bisa berkata-kata, saat melihat kerumunan sebesar itu, dan satu jam kemudian, saya melihat jenazah sudah tergeletak di tanah."
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Indra Shekhar, yang sudah berkemah di festival itu selama lebih dari sepekan, mengunjungi lokasi kejadian setelah insiden terjadi, dan melihat ratusan orang dibawa dengan tandu sementara ambulans sudah menunggu untuk membawa korban ke rumah sakit.
"Tragedi ini seharusnya bisa dicegah dengan mudah, jika ada pengendalian massa yang lebih baik dan kehadiran petugas polisi yang memadai. Namun, pihak berwenang justru menutup lebih dari 28 jembatan platoon yang mengarah ke sungai untuk VIP, dan itu menyebabkan kekacauan," kata Shekhar kepada DW.
Yogi Adityanath, kepala menteri negara bagian Uttar Pradesh di India utara, mengatakan bahwa insiden berdesak-desakan itu terjadi saat orang-orang mencoba melompati barikade polisi demi dapat mencapai titik pertemuan di Sungai Sangam.
Sejarah insiden gagalnya pengendalian massa pada festival keagamaan
Maha Kumbh Mela sudah mengalami beberapa tragedi serupa dalam sejarah penyelenggaraan festivalnya. Risiko pada kerumunan besar ini sudah menjadi masalah di festival-festival sebelumnya, terutama pada 2003, 2010, dan 2013, yang menyebabkan ratusan orang tewas.
Pada Juli 2024, lebih dari 120 orang tewas dalam sebuah pertemuan keagamaan yang dipimpin oleh seorang guru spiritual di Kota Hathras, India utara. Diperkirakan lebih dari 250.000 orang menghadiri acara tersebut.
Kerumunan orang dilaporkan mulai berdesak-desakan saat pengawal sang guru spiritual mendorong para pengikut yang berlutut untuk mengambil tanah yang telah diinjak oleh sang guru.
Insiden berdesak-desakan di festival keagamaan ini terjadi akibat pergerakan massa besar yang dikombinasikan dengan terbatasnya langkah-langkah pengendalian massa.
"Hampir dalam semua kasus, kepadatan berlebih, buruknya manajemen massa, serta kepanikan dan rumor, yang menyebabkan terjadinya tragedi yang mengerikan itu," kata seorang pejabat senior di Layanan Keamanan Black Tiger kepada DW secara anonim.
Langkah-langkah keamanan yang telah diterapkan
Tragedi di festival Maha Kumbh Mela ini menimbulkan kekhawatiran baru mengenai pengendalian massa di acara keagamaan.
Menyadari bahwa festival keagamaan ini akan dihadiri sekitar 400–450 juta orang dalam enam pekan, pihak berwenang sudah memasang lebih dari 2.700 kamera CCTV, dengan lebih dari 300 di antaranya dilengkapi kecerdasan buatan (AI) untuk memantau kepadatan massa dan pola pergerakan secara real-time.
Drone juga dikerahkan untuk mengawasi kerumunan massa dan memberi gambaran kepada petugas mengenai titik-titik di mana kepadatan massa melebihi ambang batas.
Selain itu, lebih dari 40.000 petugas kepolisian juga sudah dikerahkan di lokasi untuk menjaga ketertiban dan mengendalikan kerumunan massa. Mereka didukung oleh pusat komando yang mengawasi operasi dengan data real-time dari sistem pengawasan.
Apa yang bisa diperbaiki?
Namun, meskipun langkah-langkah itu sudah diterapkan, pengendalian massa masih tetap gagal.
"Teknologi, bahkan AI sekalipun, belum mampu membantu pihak berwenang mengelola massa secara efektif dan mencegah kepadatan massa, mengingat India sudah mengalami berbagai insiden serupa dalam acara keagamaannya," kata Yashovardhan Azad, seorang mantan pejabat kepolisian, kepada DW.
"Jelas, teknologi ini belum cukup membantu, dan harus ada pola pikir serta pendekatan baru untuk menangani kerumunan sebesar ini."
Dalam festival ini, orang-orang juga menerima gelang pelacak yang dapat membantu untuk menemukan seseorang jika mereka hilang, serta meningkatkan keselamatan secara keseluruhan.
Anna Sieben, seorang profesor psikologi budaya dan sosial di Universitas St. Gallen, Swiss, sudah meneliti dinamika kerumunan massa selama bertahun-tahun. Ia menunjukkan, kebanyakan orang yang terjebak pada kerumunan sering kali tidak menyadari ada sesuatu yang salah.
Dirk Helbing, seorang profesor ilmu sosial komputasional di ETH Zurich, Swiss, juga mengaitkan kepadatan massa dengan fenomena yang ia sebut "crowd turbulence" atau turbulensi kerumunan massa.
Fenomena ini terjadi ketika terlalu banyak orang bergerak di ruang yang terbatas dengan tingginya kepadatan massa sehingga mereka terjepit satu sama lain dan hampir tidak dapat bergerak.
"Hal inilah yang mungkin terjadi di tragedi festival Maha Kumbh Mela. Bahaya selalu mengintai dalam pertemuan besar semacam ini. Itulah sebabnya, bahkan sebuah rumor saja bisa menyebabkan kepadatan massa, dan orang-orang tidak tahu apa yang sebenarnya memicu itu," kata Azad.
Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu