Jakarta -
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro menyatakan bahwa penerima beasiswa atau awardee LPDP yang bersekolah di luar negeri tidak harus kembali ke Indonesia. Beliau berpendapat, kontribusi para awardee terhadap negara masih bisa dilakukan dengan mengharumkan nama Indonesia melalui karier masing-masing di ranah internasional.
Masyarakat dan media secara aktif bersuara terkait pernyataan tersebut. Banyak yang menentang opini Prof. Satryo dengan alasan balas budi pajak rakyat dan pendistribusian beasiswa yang saat ini kurang terkontrol. Namun tidak sedikit pula yang mendukung dengan alasan minimnya fasilitas dan arena untuk awardee LPDP berkontribusi di dalam negeri. Sebagian pihak merasa pendapat Mendikti Saintek ini juga bertentangan dengan pernyataan Wamendikti Saintek, Prof. Stella Christie, yang ingin mengkaji ulang alokasi dana LPDP yang dirasa tidak tepat sasaran.
Jika kita fokus kembali kepada aturan pemberian beasiswa oleh LPDP saat ini, jelas dikatakan bahwa penerima beasiswa yang melaksanakan studi di luar negeri harus kembali ke Indonesia dan mengabdi selama dua kali masa studi ditambah satu tahun berturut-turut. Rencana kontribusi yang jelas setelah menyelesaikan studi juga merupakan poin penilaian besar dalam proses seleksi beasiswa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, hal ini mengingatkan saya dengan pertanyaan besar yang pernah saya diskusikan dengan teman-teman mahasiswa Indonesia di Osaka, Jepang: Apakah kontribusi ke negara harus pulang?
Kontribusi kepada negara memang akan lebih tepat sasaran apabila kita berada di tengah-tengah masyarakat untuk memahami apa yang mereka butuhkan. Namun proses untuk mencapai solusi tidak bisa dibatasi di area dan waktu tertentu. Kita juga harus menyadari bahwa perkembangan di dalam negeri terkadang tidak sejalan dengan rencana pengabdian yang sudah ditulis matang-matang oleh para awardee LPDP.
Terkadang kembali ke Tanah Air juga tidak menjamin bahwa target kontribusi yang telah mereka canangkan akan tepat sasaran atau terfasilitasi dengan baik. Lalu, apakah keilmuan mereka harus terbuang sia-sia hanya karena perubahan kondisi yang berada di luar kuasa mereka?
Alih-alih berfokus pada pertanyaan harus pulang atau tidak, pemerintah lebih baik fokus pada pertanyaan yang lebih besar: bagaimana mewujudkan kontribusi anak bangsa dengan mewadahi potensi mereka sesuai ekosistemnya. Bentuk balas budi dalam realisasi rencana awardee LPDP tidak boleh dilihat secara kaku. Dalam menyusun sistem dan rencana, ada yang dinamakan sebagai komponen kontrol.
Apabila keluaran (output) yang dihasilkan tidak sesuai dengan tujuan yang diinginkan, maka sistem kontrol dapat mengulang atau bahkan menyarankan perubahan terhadap sistem sebelumnya. Apabila evaluasi pasca studi menunjukkan kesempatan berkembang memang lebih mudah di negeri orang, maka tidak ada masalah untuk tidak kembali pulang selama tujuan awal tetap tercapai dan tidak berubah: berkontribusi untuk Indonesia.
Baik pernyataan Mendikti maupun Wamendikti tidaklah bertentangan. Justru, keduanya sama-sama menyoroti problematika nyata dalam sistem beasiswa LPDP itu sendiri. Audit penyaluran dana harus dilakukan secara ketat, agar uang rakyat tidak terbuang sia-sia. Seleksi awardee juga harus tepat sasaran demi meminimalisasi penyelewengan beasiswa. Di sisi lain, kesempatan harus dicari secara luas dan fleksibel serta dimanfaatkan dengan baik. Di mana pun dan kapan pun kesempatan datang, semua harus digunakan demi kemaslahatan negara.
Penting dipahami bahwa pendidikan dan riset adalah investasi jangka panjang. Kesalahan besar jika kita terlalu menyempitkan kontribusi pendidikan hanya dalam area tertentu dan durasi tertentu. Akhir kata, saya masih menaruh harapan kepada pemerintah Indonesia agar dapat memberikan kebijakan terbaik bagi anak-anak terbaik bangsa.
Afif Hamzens mahasiswa PhD di Osaka University
(mmu/mmu)