Ahli Sidang Korupsi Truk Basarnas Jelaskan Kerugian Negara Harus Nyata-Pasti

14 hours ago 4

Jakarta -

Ahli Bidang Hukum Administrasi Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, W Riawan Chandra mengatakan kerugian keuangan negara harus bersifat pasti dan nyata jumlahnya dengan memenuhi dua syarat. Dia mengatakan dua syarat itu yakni syarat subjektum dan objektum.

Hal itu disampaikan Riawan yang hadir secara virtual sebagai saksi ahli kasus dugaan korupsi pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle (RSV) di Basarnas. Sidang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Duduk sebagai terdakwa, eks Sestama Basarnas Max Ruland Boseke, mantan Kasubdit Pengawakan dan Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Badan SAR sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) Basarnas tahun anggaran 2014 Anjar Sulistiyono, serta Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta. Steven merupakan anak magang di CV Delima pada 2014.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mulanya, Riawan mengatakan Basarnas termasuk lembaga negara yang mengelola keuangan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lalu, dia mengatakan kerugian keuangan negara harus bersifat nyata dan pasti dengan memenuhi syarat unsur subjektum dan objektum.

"Tadi ahli menyebut kerugian keuangan negara tersebut yang nyata dan pasti jumlahnya, ahli bisa berikan penjelasan maksudnya seperti apa sih yang nyata dan pasti ini?" tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (30/1/2025).

"Terminologi kerugian negara yang sifatnya nyata dan pasti jumlahnya ini disebut juga dengan kerugian yang bersifat aktual atau faktual di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 tahun 2016. Nah kalau saya memaknai untuk dikatakan terpenuhi aktualus itu ada dua unsur yaitu ada unsur subjektumnya dan ada unsur objektumnya," jawab Riawan.

Riawan menjelaskan syarat unsur subjektum yakni perhitungan kerugian keuangan negara harus dilakukan lembaga yang berwenang. Di antaranya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), hingga inspektorat jenderal.

"Unsur subjektumnya ini adalah perhitungan yang dilakukan oleh aparat atau lembaga negara atau lembaga pemerintah yang berwenang, dalam hal ini bisa BPK, kemudian kalau di dalam pengawasan internal fungsional itu ada BPKP, dan kemudian juga ada pengawasan internal yaitu inspektorat. Baik inspektorat jenderal, inspektorat di kementerian maupun inspektorat yang ada di daerah," katanya.

"Nah, hal ini diperkuat saat ini dengan adanya surat edaran MA Nomor 2 tahun 2024 yang menegaskan kewenangan dari lembaga lembaga tadi untuk memenuhi unsur subyektum yang tadi saya sebutkan," sambungnya.

Dia mengatakan syarat unsur objektum yakni adanya kekurangan uang, surat berharga maupun barang yang nyata jumlahnya. Dia mengatakan kekurangan itu diakibatkan kelalaian atau perbuatan melawan hukum.

"Yang kedua unsur objektumnya, itu yang ada di Pasal 1 angka 22 pada frasa kedua yaitu sudah terjadi adanya kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya dan itu bisa dikatakan lebih lanjut sebabnya adalah karena perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai," ujar Riawan.

Riawan juga menjelaskan ada 8 lingkup kerugian keuangan negara berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Di antaranya pengeluaran negara jauh lebih besar dari ketentuan, negara mengeluarkan uang atau barang yang tidak semestinya, serta hak yang diterima negara jauh lebih kecil dari yang seharusnya.

"Putusan MK Nomor 48 PUU 11 Tahun 2013 menguraikan lebih lanjut lingkup kerugian negara tadi, meliputi adanya 8 lingkup kerugian negara. Tidak saya sebutkan semua udah ada di BAP. Di antaranya adalah pengeluaran suatu sumber atau kekayaan negara atau daerah lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku," kata Riawan.

"Kemudian juga pengeluaran suatu sumber negara atau daerah terdapat berupa uang maupun barang yang seharusnya tidak dikeluarkan. Ada 8 macam dan yang ke-8 adalah hak negara atau daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima," tambahnya.

Max Ruland Boseke dkk Didakwa Rp 20,4 M

Sebelumnya, Max Ruland Boseke, Anjar Sulistiyono, dan William Widarta didakwa merugikan keuangan negara Rp 20,4 miliar. Max dkk didakwa melakukan korupsi terkait pengadaan truk pengangkut personel dan rescue carrier vehicle pada 2014 di Basarnas.

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum," kata jaksa KPK Richard Marpaung di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, 14 November 2024.

Perbuatan ini dilakukan pada Maret 2013-2014. Jaksa mengatakan kasus ini memperkaya Max Ruland sebesar Rp 2,5 miliar dan William sebesar Rp 17,9 miliar.

"Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya William Widarta sebesar Rp 17.944.580.000,00 (Rp 17,9 miliar) dan memperkaya Terdakwa Max Ruland Boseke sebesar Rp 2.500.000.000,00 (Rp 2,5 miliar), yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian," ujarnya.

(mib/whn)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial