RUU Minerba, Percepatan Hilirisasi dan Inklusivitas

1 month ago 29

Jakarta -

Di tengah berbagai gempuran kontroversial mengenai wacana pengesahan Rancangan Undang-Undang No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang dinilai tergesa-gesa dalam proses legislasi, sehingga masyarakat memberikan kritikan tajam dalam pembuatan regulasi strategis ini, ada beberapa alasan penolakan dari masyarakat sipil atas isi RUU Minerba yang diperuntukkan bagi perguruan tinggi. Mulai dari pengelolaan tambang selama ini selalu berdampak negatif terhadap lingkungan, bertolak belakang dengan tugas utama dari perguruan tinggi dalam aktivitas tri dharma, hingga potensi negatif lainnya dalam tata kelola pertambangan maupun perguruan tinggi.

Namun, gelombang penolakan masyarakat sipil tersebut adalah hal yang terjadi sebaliknya. Revisi UU Minerba guna mendorong percepatan hilirisasi mineral dan batubara serta inklusivitas.

Pemerintah berupaya untuk meningkatkan nilai tambah produk melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Ini menjadi langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan lapangan kerja baru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tulisan ini hendak merefleksikan secara mendalam, bagaimana RUU Minerba ditujukan sebagai pengejawantahan konstitusi-ekonomi Indonesia, mempercepat hilirisasi hasil pertambangan, serta inklusifitas pengelolaan yang dapat dikelola dari Perguruan Tinggi di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat.

Konstitusi-Ekonomi Pengelolaan Minerba

Konstitusi ekonomi menekankan peran negara yang memiliki kebijakan ekonomi untuk mempercepat relasinya dengan pihak swasta, kecenderungan perkembangan kondisi ekonomi global berdampak dalam kebijakan ekonomi Indonesia yang mereduksi peran besar negara. Hal tersebut sesuai dengan amanah pembukaan UUD 1945 dan tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, berkaitan dengan penguasaaan bumi, air, mineral untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, serta memenuhi hak dasar ekonomi-sosial warga negara, yang tertuang dalam enam pasal, yaitu Pasal (23), (27), (28), (31), (33) dan (34).

Pada enam pasal tersebut menjadi jelas mengapa para pendiri bangsa menegaskan bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam (SDA) strategis. Melalui pendekatan political-economy analysist of law, Richard Posner (Posner, 1986) memperkenalkan teori bahwa efisiensi diberlakukan untuk tujuan menciptakan keuntungan lebih besar dari cost yang dikeluarkan, dengan memanfaatkan sumber daya semaksimal mungkin.

Mungkin saja karena tugas sosial-ekonomi negara terhadap rakyat sangat berat, sehingga akan mengandalkan SDA seperti mineral dan Batubara sebagai sumber pembiayaan dengan tujuannya untuk akses pendidikan yang layak dan murah, menciptakan lapangan kerja, alokasi yang cukup untuk subsidi BBM, listrik, dan pupuk secara merata, agar akses dan pertumbuhan ekonomi masyarakat luas dapat berkembang dengan baik, serta pengelolaan energi yang berkelanjutan. Percepatan hilirasi tersebut menjadi urgensi untuk dilakukan.

Maka, dalam implementasi di lapangan, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Hal inilah yang menjadi dasar untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam melakukan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Pelibatan tersebut tidak lain adalah untuk memperluas partisipasi publik dalam sektor pertambangan.

Partisipasi masyarakat ini juga sebagai upaya terencana untuk melibatkan masyarakat yang akan terkena dampak (positif dan atau negatif) dalam proses pengambilan kebijakan dan keputusan (Butar, 2010). Peran partisipasi juga menjadi sangat krusial dalam kegiatan yang melibatkan seluruh aspek, proses, dan inisiatif yang diwujudkan sebagai kegiatan nyata, termasuk kemauan, kemampuan, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi.

Selain itu, peran masyarakat juga dapat membangun ketanggapan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial serta mengembangkan serta memelihara budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Langkah strategis ini penting untuk menyesuaikan regulasi dengan dinamika global dan kebutuhan nasional, terutama dalam mendorong hilirisasi dan inklusivitas.

Mengapa Perguruan Tinggi?

Dari sebelas poin yang menjadi topik perbincangan dalam revisi ketiga UU Minerba, memang tercatat rencana prioritas pemberian WIUP kepada perguruan tinggi. Prioritas pemberian WIUP kepada perguruan tinggi disematkan dalam Pasal 51A.

Pada Ayat (1) pasal tersebut, tertulis WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi secara prioritas. Pada ayat berikutnya, pertimbangan pemberian WIUP tersebut adalah akreditasi perguruan tinggi dengan status paling rendah B.

Dewan perwakilan rakyat (DPR) memiliki keyakinan kuat bahwa perguruan tinggi (PT) memiliki kapasitas riset dan pengembangan. Kampus memiliki sumder daya manusia yang berkualitas. Apalagi jika kampus juga memiliki jurusan pertambangan.

Keterlibatan kampus dalam usaha pertambangan ini tentu tidak sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai akademik, sebab dikelola di tangan yang tepat dan profesional. Dengan begitu, tentu DPR tidak menganggap bahwa perguruan tinggi menjadi alat politis yang bisa berdampak merusak citra dan reputasi lembaga pendidikan.


Dunia mining justru dibuat high technology, high capital, serta high method. Hal inilah yang menjadi tugas dan tanggungjawab perguruan tinggi. Melalui link and match PT dengan dunia industri, penting adanya sinergitas dan transfer ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk riset dan pengembangan pengelolaan mineral dan batubara, meminimalisir dampak kerugian yang ditimbulkan dalam aktivitas pertambangan, sehingga kampus tak berada di 'menara gading"' tak bisa membumikan teori yang ada di kampus.

Justru ketika tambang ini tidak dikelola oleh pihak profesional dengan sumber daya yang berkualitas, maka akan menjadi ancaman serius terutama dalam keberlanjutan lingkungan. Kehadiran perguruan tinggi tidak hanya semata untuk menambah pendapatan yang bisa memperkuat sektor pendidikan tetapi juga menyelamatkan ekonomi dan tetap memberikan suara kritis apabila dalam pengelolaannya terjadi ketidaksesuaian.

DPR justru akan menerima masukan dan saran dengan terbuka dari perguruan tinggi ketika terjadi adanya penyimpangan. Tidak berarti bahwa keterlibatan kampus ini dianggap menjinakkan fungsi kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Ketika muncul opini publik seperti ini malah keliru dan perlu diluruskan. Kampus memiliki peranan penting dalam menghasilkan ilmu pengetahuan dan menyampaikan pandangan kritis.

Maka, tidak mungkin DPR mematikan peran banyaknya perguruan tinggi hanya karena mengelola tambang. Kampus tetap menjaga integritas akademik sebagaimana mestinya.

Tujuan terpenting dari pengelolaan minerba untuk PT adalah menegaskan eksistensi negara hukum yang berpihak pada ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi, dan memberikan akses yang besar pada masyarakat di sisi lain dalam menikmati, memanfaatkan, serta pengelolaan SDA. Maka penting untuk memberikan kesempatan bagi PT, apakah tri dharma yang selama ini menjadi inti bisnis dari PT dapat diselaraskan dengan penegasan konstitusi-ekonomi Indonesia di sektor SDA !⁠

Anggota Komisi VI dan Badan Legislasi DPR RI

Ahmad Labib

(aud/aud)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial