Presiden, Media, dan Komunikasi yang Terlembaga

2 weeks ago 22
Update Liputan Live 24 Jam Cermat Terpercaya

Jakarta - Akun Instagram Presiden Prabowo Subianto pada Minggu (6/4) mengunggah momen wawancara bersama tujuh jurnalis dari tujuh grup media besar di Indonesia. Nama-nama yang hadir dalam pertemuan tersebut merupakan tokoh-tokoh penting dalam lanskap media nasional: Alfito Deannova (detikcom), Lalu Mara Satriawangsa (TV One), Uni Lubis (IDN Times), Najwa Shihab (Narasi), Sutta Dharmasaputra (Kompas), Retno Pinasti (SCTV), dan Valerina Daniel (TVRI).

Presiden menuliskan bahwa wawancara ini merupakan kesempatan untuk memberikan penjelasan yang utuh kepada masyarakat. Dari keterangan salah satu pemimpin redaksi yang hadir, bahkan diketahui bahwa Presiden tidak mengetahui daftar pertanyaan yang akan diajukan sebelumnya—sebuah indikasi keterbukaan dalam komunikasi yang layak diapresiasi. Ini adalah kali kedua Presiden Prabowo secara resmi bertemu dengan media sejak dilantik.

Sebelumnya, pada 22 Februari 2025, ia mengundang para pemimpin redaksi ke Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang. Dalam pertemuan itu, Presiden didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Artinya, Presiden memahami pentingnya membangun komunikasi langsung dengan media, baik dalam bentuk dialog terbuka maupun diskusi strategis.

Namun, dari sudut pandang komunikasi kelembagaan, ada hal yang patut dicermati: dalam dua peristiwa penting ini, Kantor Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia tidak tampak hadir secara jelas. Tidak dalam pengelolaan agenda, tidak dalam distribusi pesan, dan tidak pula dalam penguatan narasi digital. Bahkan dua akun Instagram resmi yang diluncurkan pada Oktober 2024 —@republikindonesia dan @presidenrepublikindonesia— tidak menunjukkan aktivitas yang merefleksikan peristiwa besar yang dilakukan Presiden.

Ketiadaan tersebut menimbulkan kesan seolah Presiden dan institusi komunikasinya tidak berada dalam satu irama. Padahal, dalam sistem demokrasi modern, komunikasi presiden seharusnya tidak hanya bertumpu pada figur, tetapi terlembaga dalam struktur komunikasi negara. Bahkan dalam wawancara tersebut, Presiden Prabowo menilai pernyataan Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi saat mengomentari aksi teror kepala babi terhadap redaksi Tempo adalah hal yang teledor dan keliru.

Presiden Sebagai News Maker

Dalam literatur komunikasi politik, Presiden dipandang sebagai aktor paling dominan dalam pembentukan pemberitaan politik. Dalam Political Public Relations: Concepts, Principles, and Applications (Stromback & Kiousis, 2020) dijelaskan bahwa presiden menciptakan berita lebih banyak dibandingkan individu atau institusi politik lainnya. Hal ini tidak mengherankan karena presiden memegang posisi simbolik tertinggi dalam pemerintahan.

Publik memiliki ketertarikan tinggi terhadap segala hal yang dilakukan presiden, dan media sebagai institusi yang juga bergantung pada rating, klik, dan audiens, akan merespons ketertarikan tersebut dengan intensitas peliputan. Eshbaugh-Soha & Peake (2011) menggarisbawahi bahwa presiden memiliki pengaruh besar dalam membentuk agenda media.

Dalam banyak kasus, media bahkan secara sukarela mengikuti garis resmi presiden, terutama dalam isu-isu luar negeri atau kebijakan strategis nasional. Bennett, Lawrence, dan Livingston (2007) menambahkan bahwa presiden dianggap memiliki kapasitas institusional terbesar untuk melibatkan media dalam liputan pemerintahan karena kedekatannya dengan sumber informasi, kemampuan untuk mengakses publik secara langsung, serta kekuatan simboliknya.

Namun demikian, kekuatan ini tidak berdiri sendiri. Pengaruh presiden terhadap pemberitaan sangat ditentukan oleh kemampuan kelembagaan untuk mengelola komunikasi secara strategis dan konsisten. Tanpa dukungan institusi yang solid, narasi yang disampaikan presiden rentan tercerai-berai, tidak terdokumentasi dengan baik, atau bahkan tidak sampai ke publik dalam bentuk yang utuh.

Komunikasi yang Terstruktur

Dalam konteks inilah peran Kantor Komunikasi Kepresidenan menjadi krusial. Lembaga ini seharusnya berfungsi sebagai dapur strategi komunikasi utama dari negara, bukan sekadar penyiar ulang informasi. Kantor tersebut idealnya memiliki peran dalam merancang pesan, mengelola konten, merespons isu, serta menjembatani komunikasi antara Presiden dan publik, baik melalui media konvensional maupun digital.

Namun, fakta bahwa akun resmi @republikindonesia maupun @presidenrepublikindonesia tidak mengangkat agenda wawancara Presiden dengan tujuh jurnalis media nasional mengindikasikan adanya kekosongan fungsi tersebut. Publik akhirnya hanya mengandalkan akun pribadi Presiden dan potongan narasi dari media masing-masing untuk memahami isi pertemuan.

Lebih dari sekadar absennya unggahan, hal ini mencerminkan belum adanya sistem komunikasi negara yang terlembaga secara kuat. Komunikasi negara tidak boleh bersifat ad hoc atau bergantung pada inisiatif personal. Ia harus sistematis, terukur, dan berkesinambungan.

Komunikasi politik bukan sekadar tentang menyampaikan informasi, tetapi tentang membangun kepercayaan, memperkuat legitimasi, dan menciptakan konsensus. Semua itu hanya bisa dicapai bila komunikasi dikelola secara profesional dan institusional.

Kerapuhan Tanpa Kelembagaan

Richard E. Neustadt dalam karya klasiknya Presidential Power menekankan bahwa kekuatan utama presiden bukan pada perintah, tetapi pada kemampuan untuk membujuk (the power to persuade). Untuk membujuk publik dan elit, presiden memerlukan sistem komunikasi yang memungkinkan pesan-pesannya menjangkau dan mempengaruhi berbagai pemangku kepentingan secara konsisten.

Tanpa sistem tersebut, setiap pesan yang disampaikan, seberapa kuat pun substansinya, akan mudah tenggelam dalam derasnya arus informasi yang bersaing setiap hari. Sebagaimana diingatkan Downs (1972) dan Kingdon (1995), media tidak memiliki daya tahan untuk mempertahankan fokus pada isu-isu kebijakan dalam jangka panjang. Dalam situasi ini, komunikasi presiden yang tidak diiringi oleh struktur kelembagaan hanya akan menjadi gema sesaat.

Pada akhirnya, figur memang penting dalam politik, tetapi dalam tata kelola komunikasi publik, institusi lebih penting. Komunikasi presiden yang tidak didukung oleh lembaga yang kuat akan membuat pesan-pesan negara tidak memiliki kesinambungan dan tidak mampu membentuk kesadaran kolektif.

Ekosistem Komunikasi yang Kuat

Mengundang media dan membuka ruang tanya jawab secara terbuka adalah langkah positif dari Presiden. Namun, agar langkah ini berdampak strategis bagi citra, kepercayaan, dan legitimasi pemerintahan, perlu ada ekosistem komunikasi yang kuat dan saling mendukung.

Sudah saatnya komunikasi kepresidenan dijalankan dalam satu kayuhan yang seirama—antara presiden sebagai simbol, dan kantor komunikasi sebagai pengelola narasi. Tanpa itu, kita hanya akan menyaksikan komunikasi negara yang bersifat seremonial, tanpa daya pengaruh jangka panjang.

Pada era politik digital dan keterbukaan informasi, kekuatan komunikasi bukan hanya terletak pada pesan, tetapi pada orkestrasi. Presiden sudah memulai. Tinggal bagaimana negara—melalui lembaganya—mampu menyambut dan memperkuatnya.

Heryadi Silvianto founder PR Politik

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial