Jakarta -
Executive Order of the President (EOP) atau Perintah Presiden merupakan guideline penting bagi jajaran pembantunya (Menteri, Kepala Lembaga, Staf atau Utusan Khusus). Sebuah EOP harus jelas dan terukur karena implementasinya akan dievaluasi oleh publik. Untuk itu bentuk Perintah Presiden tidak boleh "ngasal" atau hanya berdasarkan janji politik saat kampanye tetapi harus berdasarkan kebutuhan bangsa ini lima tahun ke depan.
Beberapa hari ini, saya menerima banyak permintaan wawancara maupun podcast dari kawan-kawan media terkait dengan program 100 hari Presiden Prabowo dengan Kabinet Indonesia Maju (KIM). Bagaimana saya bisa menilai dengan memberikan angka terhadap kinerja KIM dan Presiden hanya dalam 100 hari? Sementara EOP Presiden Prabowo, publik belum paham kecuali makan bergizi gratis dan tekad memberantas korupsi. Untuk itu, saya mohon maaf tidak sepaham dengan hasil survei Kompas tentang kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Prabowo yang beredar di publik.
Presiden sejak pelantikan memang menyampaikan beberapa program yang akan dilaksanakan hingga 2029, seperti pemberantasan korupsi yang akan terus dikejar sampai ke Antartika, peningkatan pertumbuhan ekonomi 8%, makan sehat bergizi gratis, swasembada pangan, peningkatan sumber daya manusia untuk persiapan Indonesia Emas 2045 dan sebagainya. Artinya EOP Presiden Prabowo ada, hanya saja apa langkah dan strategi untuk pencapaiannya dan bagaimana tahapannya belum jelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau EOP belum jelas, maka publik pasti akan kesulitan menilainya. Hasil survei saja tidak cukup karena publik bisa menyaksikan sendiri dengan mata kepala, apakah betul ada perubahan bukan hanya janji dan orasi politik.
Pertanyaan saya, Program 100 hari itu merupakan EOP atau bukan? Karena dasar waktu penetapan 100 hari itu tidak jelas. Kalaupun ada EOP yang jelas, menurut saya tidak cukup menilainya dalam 100 hari. Paling tidak minimal 6 bulan atau bahkan 12 bulan. Untuk itu mari kita bahas bagaimana seharusnya EOP Presiden disampaikan ke publik.
Harus Berkekuatan Hukum
EOP atau Perintah Presiden adalah perintah resmi yang dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia dan harus berkekuatan hukum, seperti yang dikeluarkan oleh Presiden Donald Trump sesaat setelah pelantikannya. Perintah ini digunakan sebagai guideline untuk membuat dan menjalankan program di masing-masing K/L. Intinya program K/L harus mendukung EOP. Jadi K/L tidak "ngasal" membuat program-program, seperti yang terjadi saat ini.
Banyak program yang tidak terkait atau sejalan dengan EOP, sehingga ketika disurvei terlihat seolah-olah K/L bersangkutan tidak melakukan pekerjaannya dengan baik. Sebagai contoh, Menko Perekonomian serta Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan yang menangani perekonomian dan pembangunan infrastruktur harus meningkatkan kinerja logistik di Indonesia yang semakin memburuk.
Menurut the World Bank's Logistics Performance Index (LPI) 2023, Indonesia berada di ranking 63 dari 139 negara. Indeks ini turun yang tadinya 46 di tahun 2018. Di ASEAN, Indonesia peringkat 6 di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina (PWC-Crifasia). Sebuah bukti bahwa logistik Indonesia buruk dan harus segera diperbaiki. Hingga artikel ini ditulis, saya belum melihat ada perencanaan yang jelas untuk perbaikan logistik di Indonesia termasuk optimalisasi penggunaan teknologi informasi dari pemerintah.
Anehnya Menko Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah sibuk dengan menurunkan harga tiket penerbangan dan meresmikan proyek-proyek infrastruktur yang baru selesai, bukan mengurus keselamatan angkutan umum dan kelanjutan pembangunan infrastruktur. FYI, tiket penerbangan sudah ditentukan pasar tidak lagi diatur sejak awal 2000, dan pemerintah,melalui Kementerian Perhubungan hanya bisa menetapkan Tarif Batas Atas-Batas Bawah tiket penerbangan saja.
Biaya logistik di Indonesia sangat mahal (22% dari GDP pada 2023) dibanding dengan Malaysia yang hanya 13%. Beberapa penyebab utamanya adalah pungli, kebijakan subsidi BBM yang tidak adil, buruknya sistem tracking barang, tingginya keterlambatan pengiriman karena panjangnya rantai kebijakan penanganan logistik, sistem IT yang belum sepenuhnya online, kemacetan transportasi, rendahnya penegakan hukum dan sebagainya. Untuk itu kedua Menko tersebut seharusnya konsentrasi pada koordinasi urusan logistik dengan K/L terkait di bawahnya, misalnya Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perhubungan.
Contoh lain misalnya penanganan truk ODOL (Over Dimension Over Load) yang sudah 10 tahun ini tidak selesai karena hanya dikerjakan secara sektoral oleh Kementerian Perhubungan. Begitu Peraturan Menteri Perhubungan tentang ODOL dikeluarkan, pasti langsung di respons negatif oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Jadilah Permenhub tersebut mandul, ditambah lagi tidak adanya penegakan hukum yang jelas. Sementara dampak dioperasikannya truk ODOL terbukti memperpendek usia jalan dan meningkatkan fatalitas kecelakaan lalu lintas.
Begitu pula dengan EOP tentang peningkatan SDM untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 melalui Program Makan Bergizi Gratis yang saat ini sedang berjalan. Sayang underlying-nya untuk keterlibatan pemda dan swasta belum lengkap, sehingga membuat anggaran yang ada masih belum jelas; baik jumlah maupun sumber pembiayaannya selain APBN. Belum lagi mekanisme pengadaan dan pembayaran kepada vendor yang lambat dan jaminan keselamatan untuk anak balita khususnya dan ibu hamil supaya terhindar dari fatalitas. Dan, banyak program lain yang masih perlu kejelasan, apakah itu EOP ataupun program sektoral K/L.
Langkah Pemerintah
EOP sekali lagi penting supaya jalannya kabinet bisa terukur dan program-programnya dapat membahagiakan masyarakat, bukan hanya membahagiakan "taoke" atau oknum pejabat pemerintah, politisi, dan TNI/Polri. Dengan EOP, Presiden dapat lebih santai menjalankan roda pemerintahan karena sudah ada petunjuk pelaksanaannya bagi para pembantu presiden, dan Presiden tinggal mengambil tindakan ketika para pembantunya melenceng dari EOP.
Untuk publik ketika akan menilai prestasi kerja presiden dan kabinet, mempunyai underlying atau dasar penilaian yang jelas, begitu pula ketika lembaga survei yang akan melakukan penilaian termasuk menentukan responden. Jika Republik Indonesia tidak mengenal EOP, tetapi menggunakan RPJM atau sejenisnya tidak masalah, asalkan konektivitas keduanya jelas dan bisa bermanfaat untuk kepentingan bangsa dan negara. Sehingga siapa saja yang akan melakukan monitoring atau survei dapat menggunakan tolok ukur yang sama dan hasil survei dapat dibandingkan secara apple to apple.
Sekarang saatnya Presiden Prabowo mulai me-review, dengan presisi tinggi seluruh program K/L yang jumbo ini. Mohon Presiden Prabowo segera melakukan pergantian menteri atau kepala badan jika selama 100 hari ini tidak jelas programnya, tanpa ada penjelasan resmi menteri bersangkutan. Komunikasi semua K/L harus dibangun dengan baik dan profesional menggunakan tenaga ahli yang mumpuni bukan hanya buzzer yang secara teknis dan komunikasi publik tidak menguasai.
Saat ini masih banyak pembantu presiden yang sakit gigi atau belum pernah atau sangat jarang berkomunikasi dengan publik. Selamat bekerja, Presiden Prabowo! Kami menggantungkan nasib kehidupan bangsa ini dalam 5 tahun mendatang padamu.
Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu