Memanas Jelang Pemilu, Korsel Hadapi Ketegangan Politik

6 hours ago 5

Jakarta -

Setelah krisis darurat militer yang mengguncang di bawah mantan Presiden Yoon Suk Yeol, Korea Selatan kini menghadapi pemilihan umum yang penuh ketegangan pada 3 Juni.,

Enam minggu sebelum pemilu untuk menggantikan Presiden Yoon Suk Yeol, dukungan masyarakat Korea Selatan sangat terpecah.

Seoul menjadi pusat protes politik menjelang putusan Mahkamah Konstitusi pada 4 April yang menguatkan pemakzulan Yoon atas deklarasi darurat militer pada bulan Desember 2024. Pemberhentian Yoon dan persidangannya atas tuduhan pemberontakan telah mengalihkan fokus ke penggantinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Empat anggota Partai Kekuatan Rakyat (PPP) dan empat dari Partai Demokrat (DP) bersaing untuk nominasi, dengan Lee Jae-myung sebagai calon terdepan DP.

Para pengunjuk rasa diperkirakan akan kembali turun ke jalan menjelang pemungutan suara pada 3 Juni, dengan ketegangan yang tetap tinggi dan kondisi masyarakat yang masih terpecah.

"Polarisasi politik Korea Selatan sangat dalam dan dapat ditelusuri ke kombinasi faktor historis dan kelembagaan, seperti puluhan tahun pemerintahan otoriter, demokratisasi dan perubahan ekonomi yang cepat, serta sikap terhadap Korea Utara," kata Min Seong-jae, seorang profesor komunikasi dan studi media di Pace University di New York.

Polarisasi terburuk sepanjang sejarah

"Namun saat ini, tingkat polarisasi tampaknya sedang dalam taraf terburuk yang pernah ada," katanya.

"Hal ini terjadi karena perpecahan ideologis yang ada semakin memburuk secara dramatis sejak diberlakukannya darurat militer pada bulan Desember lalu."

Meskipun tindakan Yoon awalnya tidak diterima dengan baik oleh pendukung konservatifnya, basis vokal kini telah bersatu di sekelilingnya, kata Min kepada DW, dengan media partisan dan loyalitas regional memperburuk perpecahan ini.

Namun, masih banyak kaum konservatif garis keras yang mendukung Yoon dan terlihat berdemonstrasi di luar pengadilan selama persidangannya.

"Saya pikir itu karena Yoon tetap menjadi orang terbaik mereka dalam menahan pengaruh 'progresif'," kata Min.

"Saat ini, tidak ada alternatif yang jelas bagi pihak kanan untuk menyatukan kekuatan konservatif selain Yoon. Dia sekarang seperti simbol, benteng konservatif melawan apa yang mereka anggap sebagai perluasan sayap kiri dalam pendidikan, media, dan keamanan nasional serta isu sosial lainnya."

Semakin Yoon diserang, semakin ia menjadi 'pahlawan' bagi kaum konservatif garis keras, kata Min. Yang dianggap musuh-musuh Yoon — pengunjuk rasa mahasiswa, serikat buruh, kelompok feminis, dan akademisi liberal — adalah kelompok yang ditakuti atau tidak disukai oleh kaum konservatif garis keras.

Lim Eun-jung, profesor di Universitas Nasional Kongju, setuju bahwa negara tersebut tidak pernah tampak lebih berselisih, dengan ketakutan ekonomi dan kekhawatiran atas ancaman dari Korea Utara.

Pemisahan kiri dan kanan

"Rasanya negara ini sudah dalam resesi dan orang-orang khawatir tentang harga dan tingginya biaya perumahan, yang khususnya menyulitkan bagi kaum muda, sementara kita terpecah antara kubu kiri dan kanan tentang cara menyikapi situasi Korea Utara," katanya kepada DW.

Lim mencatat bahwa, sementara Yoon mengambil sikap tegas terhadap Pyongyang dan hubungan memburuk hingga kedua pihak tidak lagi berunding, kemungkinan besar pemerintah yang condong ke kiri akan kembali ke kebijakan Presiden Moon Jae-in dan berupaya membangun jembatan dengan Korea Utara.

Lim juga menunjukkan adanya jurang pemisah antargenerasi dalam masyarakat. Orang tua dengan pendapatan yang stabil cenderung mendukung kebijakan konservatif, sementara generasi muda bersikap skeptis terhadap masa depan bangsa dan mencari dukungan yang lebih besar.

Sikap tersebut mungkin dipengaruhi oleh konsumsi media, katanya. Orang tua masih membaca koran dan menonton program berita televisi, sementara generasi muda bergantung pada media sosial.

"Dalam banyak hal, situasinya mirip dengan di AS," kata Lim. "Banyak orang sangat skeptis terhadap media yang 'mapan', mereka tidak percaya dengan apa yang mereka dengar, jadi mereka mencari berita di YouTube," katanya.

"Anak-anak muda yang saya ajar tidak membaca atau memahami teks berformat panjang. Ada satu generasi yang hanya melihat media sosial dan sangat sulit untuk membuat mereka membaca teks dan menganalisis argumen."

Profesor Komunikasi Min setuju.

"Media sosial telah menjadi kekuatan ampuh dalam mengintensifkan perpecahan politik di Korea," katanya.

"Platform seperti YouTube, KakaoTalk, dan Facebook menyajikan konten bermuatan politis yang sering kali disesuaikan secara algoritmik dengan bias yang ada pada pengguna."

"Secara khusus, komunitas daring sayap kanan di media sosial telah menciptakan ruang gema di mana teori konspirasi, meme ideologis, dan klip berita yang tidak berdasarkan konteks menjadi viral tanpa adanya pengecekan fakta," katanya.

Orang yang lebih tua dan laki-laki muda berusia 20-an sering kali berada dalam "ruang gema", hanya berinteraksi dengan orang-orang yang berpikiran serupa, tambahnya.

"Perang" di dunia nyata

Anonimitas dan budaya mencari perhatian di media sosial memperburuk situasi, memungkinkan ujaran ekstrem dan serangan pribadi yang meluap menjadi pertikaian di dunia nyata.

Min tidak optimis bahwa perubahan akan terjadi atau bahwa perpecahan politik Korea Selatan akan menyempit.

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris.

Diadaptasi oleh: Levie Wardhana

Editor: Hendra Pasuhuk

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial