Jalan Terjal Hak Aborsi Aman Korban Pemerkosaan

1 month ago 34

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 7 April 2025

Peringatan: Artikel ini memuat konten kekerasan seksual dan kehamilan yang tidak diinginkan dan bisa memicu reaksi emosional. Jika merasa tidak nyaman, pertimbangkan untuk berhenti membaca dan mencari dukungan.

Anak melahirkan anak. Ialah Melati—bukan nama sebenarnya, usianya kala itu masih 12 tahun. Duduk di bangku kelas 6 SD, masa yang lumrah baginya untuk bermain dan fokus untuk persiapan ujian.

Tetangga berusia 58 menjadi pelaku yang memerkosa Melati. Tindakan bejat tetangga itu terserak dalam hasil visum yang membuktikan Melati hamil yang tak diinginkan. Melati maupun orang tuanya memutuskan untuk mengakses layanan aborsi aman untuk korban kekerasan seksual.

“Diketahui (setelah visum) Melati udah hamil ternyata. Kaget, kan, keluarga syok sekali dan ternyata kandungannya itu 2 minggu. Nah, karena masih 2 minggu, mengacu aturan KUHP yang lama itu, kan 6 minggu ya (maksimal aborsi),” terang Direktur Women's Crisis Center (WCC) Jombang, sekaligus advokat serta pendamping Melati, Ana Abdillah, kepada detikX.

WCC Jombang mendapat pengaduan dari tetangga Melati atas peristiwa yang menimpanya. Keluarga Melati, yang kurang mampu secara ekonomi, tak pernah mengetahui bisa mengakses pendampingan untuk menuntut hak-hak mereka, salah satunya akses terminasi kehamilan atau aborsi.

Berdasarkan hukum saat itu pada 2021, Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 mengizinkan aborsi dalam kondisi darurat medis atau akibat pemerkosaan. Peraturan lebih lanjut diatur dalam PP No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang menetapkan prosedur dan persyaratan hukum untuk tindakan aborsi.

Untuk memperoleh izin aborsi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi Melati dan WCC Jombang. Yang pertama tentu hal tersebut atas kemauan Melati. Selanjutnya, surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa tindakan aborsi aman untuk dilakukan. Yang kedua, surat keterangan psikolog atau konselor maupun surat keterangan dari penyidik.

Nyatanya tak semudah yang tercatat dalam peraturan, kondisi lapangan sama sekali tak berpihak pada korban. Begitulah kiranya menurut Ana ketika mendampingi Melati. Jika merujuk pada batas waktu 6 minggu, Melati hanya punya waktu kurang dari 4 minggu untuk memenuhi persyaratan.

“Tidak semua fasilitas kesehatan itu mau menerima. Jadi di Jombang itu kan ada 34 puskesmas, yang mau memeriksa korban untuk dirujuk ke dokter biar dapat rujukan ke dokter RSUD dr Soetomo ya hanya ada satu puskesmas,” terang Ana.

Rumah sakit di Jombang tak ada yang mau menerima pelayanan aborsi. Bahkan Ana mengatakan ada petugas fasilitas kesehatan yang malah meminta Melati melanjutkan kehamilannya.

Sedangkan RSUD dr Soetomo, Surabaya, meminta Melati dan WCC Jombang mengurus surat keterangan penyidik. Padahal, dalam peraturan tata syarat aborsi, surat keterangan penyidik bukan syarat wajib yang harus dipenuhi.

Kepada Ana, pihak kepolisian Jombang menyatakan tak pernah punya pengalaman mengeluarkan surat keterangan untuk aborsi. Permintaan surat ditolak. Ana lantas pergi ke dinas sosial untuk mendapat dukungan.

Singkat cerita, proses yang rumit dan panjang itu berakhir dengan dialog antara pihak kepolisian, RSUD, WCC Jombang, dinas sosial, dan psikolog. Melati dinyatakan bisa melanjutkan proses pelayanan di RSUD dr Soetomo.

Namun, dalam proses selanjutnya, selama tiga minggu melakukan konseling dan bolak-balik dari Jombang ke Surabaya, dari pagi hingga pulang malam hari, waktu terus berlalu, kehamilan telah membesar, kandungan sudah berusia 13 minggu dan melewati syarat 6 minggu menurut undang-undang. Melati bocah 12 tahun dipaksa melanjutkan kehamilannya.

“Layanan aborsi sebagai dari hak kesehatan bagi korban kekerasan itu kayak masih dilihat sebagai sebuah upaya hukum pendekatannya, masih pendekatan pidana, bukan pendekatan medis. Kedaruratannya itu justru direspons dari perspektif RSUD pada saat itu bilang ini kalau kehamilannya dilanjutin juga akan baik-baik saja, sementara orang tua dan korban itu tidak siap menghadapi kehamilan itu,” terang Ana.

Sembilan bulan kemudian Melati melahirkan. Anaknya kemudian diadopsi. Kabar terbaru, Ana melihat kondisi anak Melati belum bisa berjalan hingga menginjak usia 3 tahun.

Vivi—bukan nama sebenarnya, seorang siswi SMA kelas tiga—mengalami nasib serupa. Ia diperkosa seorang laki-laki yang menjadi pacarnya. Vivi lantas mengalami kehamilan yang tak diinginkan. Orang tuanya malah memaksa Vivi menikah dengan laki-laki sembarangan yang tak Vivi sukai.

“Dia dipaksa menikah. Nah, dalam konteks tentang kekerasan seksual, kawin paksa itu kan termasuk bentuk kekerasan seksual, jadi kekerasannya tuh sangat berlapis (yang dialami Vivi),” jelas Ana, kini WCC Jombang mendampingi Vivi.

Vivi kabur sehari setelah dinikahkan, bertemu dengan laki-laki yang dikenalnya untuk meminta pertolongan ketika ia begitu rentan. Keluarga tak di pihaknya. Pengetahuan terkait lembaga layanan kesehatan atau reproduksi tak ia ketahui. Laki-laki tersebut menampung Vivi di tempat indekosnya dan mengeksploitasi Vivi kembali secara seksual.

“Di kos tersebut, karena korban tidak cukup tahu informasi hak kesadaran seksual reproduksinya, akhirnya korban melahirkan seorang diri, nggak ada yang ngurut, nggak ada yang membantu sama sekali,” tutur Ana.

Vivi yang gugup saat itu dan tanpa pertolongan terpaksa sempat membekap bayinya karena takut tetangga tempat indekos mengetahui dirinya melahirkan di kamar. Bayi Vivi meninggal. Vivi terlalu lemah untuk bersuara meminta pertolongan.

Orang tua Vivi-lah yang kemudian melaporkan keadaan anaknya tersebut ke kepolisian Gresik sebagai korban. Namun kepolisian Jombang justru menjerat Vivi dengan pasal pembunuhan anak. Vivi dijebloskan ke lembaga pembinaan khusus anak.

“Sebenarnya kasus ini juga bisa mengindikasikan bahwa perempuan-perempuan yang tidak punya kesiapan sebagai korban kekerasan seksual, tidak punya kesiapan untuk menghadapi situs reproduksi berupa hamil, (ditambah) nggak ada dukungan sosial, dipaksa kawin, nggak cukup tahu informasi layanan, itu membuat dia bisa dikriminalisasi. Akhirnya dia menjadi korban berkali-kali,” ujar Ana.

Kini peraturan menyoal kesehatan reproduksi, terutama menyoal pelayanan aborsi bagi korban kekerasan seksual, telah diperbarui. Hal itu ada di PP No 28 Tahun 2024 dan Permenkes No 2 Tahun 2025, yang lebih menekankan aspek administratif dan prosedural dalam pelaksanaan layanan aborsi.

Peraturan terbaru dalam UU Kesehatan Tahun 2023 tetap mempertahankan ketentuan aborsi dengan batasan ketat. PP No 28 Tahun 2024 menambahkan persyaratan bagi korban pemerkosaan untuk mendapatkan bukti medis dan keterangan penyidik wajib sebelum dapat mengakses layanan aborsi.

Selain itu, Permenkes No 2 Tahun 2025 mengatur bahwa prosedur aborsi hanya bisa dilakukan di fasilitas kesehatan tertentu dengan tenaga medis yang memiliki sertifikasi khusus. Ini menjadi kendala bagi perempuan yang berada di daerah dengan akses layanan kesehatan terbatas.

Ana mengakui ini menjadi kemunduran dan jalan yang semakin berat bagi para penyintas kekerasan seksual untuk memperoleh hak mereka. Tanpa kewajiban permintaan surat keterangan penyidik, jalan yang ditempuh para penyintas masih terbilang penuh liku.

Kabar baiknya, dalam peraturan tersebut, batas usia kehamilan yang bisa mengakses layanan aborsi diperpanjang menjadi 14 minggu, merujuk peraturan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization). Namun hal tersebut baru berlaku mulai 2026.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Widyawati, menyatakan surat keterangan polisi wajib untuk memastikan korban memang mengalami kekerasan seksual. Selain itu, agar tenaga medis tidak terjerat pidana saat melakukan aborsi.

“Untuk melindungi tenaga kesehatan sesuai Pasal 465 Ayat 3, sehingga surat keterangan penyidik diperlukan dalam proses pemberian pelayanan aborsi terhadap korban tindak pidana pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan. Dan instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan adanya dugaan tindak pidana kekerasan seksual adalah kepolisian, dalam hal ini penyidik,” terang Widyawati alias Wiwid dalam keterangan tertulis.

Selain itu, persyaratan berupa surat keterangan dokter, polisi, konselor, dan persetujuan dewan pertimbangan justru memperpanjang alur. Hal ini menambah kerumitan bagi korban untuk mendapatkan layanan aborsi aman. Namun, menurut Wiwid, merujuk pada Undang-Undang No 1 Tahun 2023 tentang KUHP, dikarenakan aborsi merupakan tindak pidana, penting melakukan aborsi aman secara bertanggung jawab dan kehati-hatian.

Kini, berdasarkan peraturan terbaru, layanan aborsi wajib dilaksanakan di rumah sakit tingkat lanjut, padahal tidak semua daerah memiliki fasilitas tersebut. Untuk menyesuaikan hal itu, Wiwid membeberkan Kemenkes sedang membahas penyusunan KMK Penetapan Fasyankes yang memberikan layanan aborsi atas indikasi korban kekerasan seksual dan kekerasan.

“(Wilayah terpencil) akan menjadi catatan dalam pembahasan,” tandas Wiwid.

Menurut data pengaduan Komnas Perempuan, dalam periode 2020-2024, tercatat lebih dari 10 ribu kasus kekerasan seksual di Indonesia. Sebanyak 774 di antaranya merupakan kasus pemerkosaan. Dari kasus pemerkosaan tersebut, 81 korban mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.

Adapun kasus aborsi korban pemerkosaan yang hamil tak diinginkan mencapai 255 orang dalam kurun waktu 2018-2023. Mereka tidak mendapatkan layanan aborsi aman atau indikasi kedaruratan medis.

Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, menganggap persyaratan baru terkait rumah sakit tingkat lanjut yang menjadi satu-satunya tempat aborsi merupakan hambatan baru bagi para korban. Sebab, ada beberapa wilayah, bahkan pulau, yang belum memilikinya.

“Jadi kesulitan, korban harus pergi ke daerah yang mempunyai tipe lanjut. Itu butuh dana dan sebagainya, itu yang menghambat,” tutur Retty.

Menurut Retty, akses aborsi aman penting bagi korban. Ini untuk mencegah korban mengakses aborsi tidak aman, seperti membeli obat-obatan yang tak terjamin keamanannya dan membahayakan nyawa.

Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan, Nanda Dwinta Sari, mengakui ada kerumitan persyaratan yang harus dipenuhi korban kekerasan seksual untuk mengakses layanan aborsi yang merupakan haknya. Menurutnya, ini mempersulit korban dan semakin mempertebal stigma.

“Ini sebuah kemunduran ya untuk pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan dan korban kekerasan seksual, melihat tata laksananya itu nuansanya jadi nuansa hukum alih-alih medis. Layanan aborsi itu untuk korban kekerasan seksual itu menurut panduan harusnya mudah, karena itu bagian dari layanan kesehatan,” tutur Nanda kepada detikX.

Minimnya panduan koordinasi antarlembaga pelayanan aborsi selama ini turut menjadi catatan penting yang harus diperbaiki. Apalagi kini adanya peraturan baru terkait persetujuan tim pertimbangan di rumah sakit tingkat lanjut menjadikan proses semakin tak efisien, persetujuan tak lagi cukup dari dokter maupun konselor.

“Tim pertimbangan yang menentukan perempuan apakah layak diberikan layanan aborsi itu kan juga stigma, seolah-olah ini sangat dipertanyakan urgensinya. Padahal bisa dilakukan sesuai mandat, dan sesuai prosedur yang ada, oleh tenaga yang kompeten. Jadi surat keterangan tim pertimbangan jadi kurang efisien,” jelasnya.

“Lagi pula, tidak semudah daerah memiliki tim pertimbangan ini,” lanjutnya.

Reporter: Ani Mardatila
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial