Bersyukur Masih Nomor Dua

17 hours ago 4

Jakarta -

Beberapa hari lalu saya membaca sebuah data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang pendidikan. Dalam rilis tersebut dijelaskan bahwa Suku Batak merupakan etnik yang paling tinggi menamatkan pendidikan sarjana strata satu (S1), disusul suku Minangkabau.

Selisih capaian kedua etnik ini tak jauh beda, hanya 0,02 persen, yaitu Batak 18,02 persen dan Minang 18 persen. Namun bila dilihat dari jumlah atau kuantitas orang, maka angka 0,02 persen itu tentu lumayan besar jumlahnya.

Selengkapnya data BPS 2024 tentang 10 etnis utama di Indonesia dengan lulusan sarjana terbesar adalah sebagai berikut: Suku Batak (18,02%), Suku Minangkabau (18,00%), Suku Bali (14,54%), Suku Bugis (14,54%), Suku Betawi (14,38%), Suku Melayu (12,67%), Suku Banjar (11,24%), Suku Jawa (9,56%), Suku Sunda (7,59%), dan Suku Madura (4,15%). Cara memahami data ini adalah, dari setiap 100 orang Batak ada 18,02 sarjana, dari setiap 100 orang Minang ada 18 sarjana, dan dari setiap 100 orang Jawa ada 9,56 sarjana. Lebih konkretnya, proporsi jumlah sarjana dibandingkan jumlah penduduk Suku Batak dan Sukku Minang hampir dua kali lipat Suku Jawa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Minangkabau, sesungguhnya jauh sebelum kemerdekaan telah menukilkan banyak prestasi dalam bidang pendidikan dan banyak menyumbangkan putra putri terbaiknya dalam merintis dan memperjuangkan kemerdekaan, tentu patut melakukan introspeksi atau muhasabah dengan kondisi ini. Dalam laporan utama Majalah Tempo tanggal 12 Juli 1986, disebutkan bahwa jumlah sekolah di Sumatera Barat tahun 1925, jauh sebelum kemerdekaan, sama banyaknya dengan jumlah sekolah di Pulau Jawa dan Madura.

Selain jumlah sekolah, pendidikan di kalangan perempuan juga membanggakan. Ibu Rahmah El-Yunusiah sempat membuat Syekh Universitas Al Azhar terkagum-kagum, karena di saat mereka belum memulai pendidikan untuk kalangan perempuan, Rahmah sudah mendirikan sekolah Diniyah Puteri untuk kalangan perempuan di Padang Panjang. Dan jauh sebelumnya, bahkan Ruhana Kudus sudah menerbitkan dan memimpin koran Soenting Melajoe dan medirikan sekolah keterampilan kaum perempuan Amai Setia di Koto Gadang, di saat buta huruf masih menyelimuti sebagian besar kaum perempuan Indonesia.

Success strory dunia pendidikan etnik Minang ini terus berlanjut, sehingga sempat menjadi pusat bersekolah, tidak saja bagi masyarakat Sumatera tapi juga bagi masyarakat lain di seantero Indonesia. Beberapa sekolah yang sangat populer di antaranya adalah Diniyah Putri Padang Panjang, Thawalib Padang Panjang, Parabek dan Padang Japang, MTI di Canduang, INS Kayu Tanam, dan beberapa sekolah bikinan Belanda di Padang dan Bukittinggi.

Sejak akhir abad ke-19 hingga akhir masa pendudukan Belanda, hanya ada dua sekolah guru (Kweekschool) di Indonesia. Satu berada di Bandung dan satunya ada di Fort de Kock atau Bukittinggi. Kweekshool Fort de Kock oleh orang Minang disebut juga Sekolah Rajo atau Sekolah Raja. Kedua sekolah inilah yang menghasilkan guru yang kemudian menyebar ke berbagai daerah di Nusantara.

Jauh sebelum kemerdekaan sudah banyak orang Minang menuntut ilmu ke berbagai negara, utamanya di Timur Tengah dan Negeri Belanda. Sebutlah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi, Syekh Yassin Al-Fadani, Syekh Djamil Djambek, Syekh Abdul Karim Amrullah, Iljas Jacoub, Muchtar Luthfi, serta Dr. M. Djamil, Dr. A. Rivai, Prof. Dr. Achmad Mochtar, Tan Malaka, Bung Hatta, Baginda Dahlan Abdullah (Gubernur pertama Jakarta), Nazir Pamontjak, Mr. Assaat, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.

Keunggulan dalam bidang pendidikan itulah yang menyebabkan jumlah Founding Father (Bapak Bangsa) dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berasal berasal dari Ranah Minang begitu menonjol. Jumlah dan peran mereka begitu menonjol adalah karena mereka lebih dulu maju dan tradisi bersekolah/berpikir telah lebih lama tumbuh dalam masyarakat Minangkabau.

Setelah kemerdekaan tahun 1945, orang Minang banyak menuntut Ilmu di Universitas Gajah Mada yang di anggap lebih Republiken dan nasionalis. Ayah saya adalah satu di antaranya. Kebetulan Peraturan Pemerintah (PP) dan Statuta Pendirian UGM tanggal 14 Agustus 1949 ditanda-tangani oleh Penjabat Presiden RI Mr. Assaat yang tak lain adalah putra Minang pula.

Dalam buku Siapa & Mengapa Sejumlah Alumni UGM (1999) yang diterbitkan dalam rangka peringatan setengah abad UGM, dari sekitar 230-an alumni UGM yang dianggap menonjol, ternyata sekitar 10 persen adalah orang Minang seperti Hasan Basri Durin, Prof. Dr. Taufik Abdullah, Kamardi Arief, dan banyak lagi.

Bayangkan, dari sebuah universitas tertua dan terkemuka di Indonesia di tengah Pulau Jawa, sebanyak 10 persen alumninya yang menonjol adalah orang Minang. Dalam sejarah Universitas Indonesia, khususnya Fakultas Kedokteran, peranan putra-putri Minang juga cukup menonjol.

Menurut temuan Dr. Mochtar Naim dalam buku "Merantau" (1984), dari daftar tamatan Fakultas Kedokteran UI (1950-1970), orang Minang menempati jumlah ketiga terbanyak setelah etnis Jawa dan China. Dalam buku Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang (2023) disebutkan, dari 15 dekan Fakultas Kedokteran UI sejak 1950 sampai sekarang, lima adalah orang Minang.

Bersekolah atau menuntut ilmu bagi masyarakat Minang, tak terbatas hanya dalam negeri, tapi juga hingga manca negara. Pokoknya sekolah itu penting dan sekolahlah yang mengubah corak hidup dan masa depan. Itu menurut pandangan mereka yang sejalan dengan ungkapan adat: Karatau Madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun.

Dan salah satu tujuan merantau adalah untuk menuntut ilmu. Dalam perkembangan selanjutnya, Sumatera Barat pernah menjadi daerah pengirim guru yang banyak ke berbagai wilayah tanah air dan bahkan sampai ke Malaysia.

Hal ini disebabkan terdapatnya sekolah guru/sekolah Rajo di Bukittinggi sebelum kemerdekaan dan menyusul kemudian berdirinya IKIP Padang tahun 1954. Dalam masyarakat Minang, ada kekuatan nilai sosial yang menopang pembiayaan bersekolah. Salah satu dari sebab dibolehkannya menggadaikan harta pusaka tinggi (harta turun temurun) adalah untuk membiayai sekolah. Itu disebut dengan fungsi gadai "mambangkik batang tarandam". Artinya, boleh menggadaikan harta pusaka tinggi untuk biaya sekolah, dan kelak setelah sukses ditebus kembali.

Beberapa waktu lalu Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, H.M. Jusuf Kalla mensinyalir bahwa orang Minang dewasa ini tak lagi sehebat dulu. Hal yang sama juga pernah disampaikan mantan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri.

Pernyataan kedua petinggi negara ini sempat menimbulkan perdebatan yang luas di kalangan masyarakat. Banyak Orang Minang merasa merah kupingnya, namun ada juga yang menerima sindiran itu apa adanya.

Bagi saya, hal itu adalah obat pahit yang harus ditelan, agar masyarakat sembuh dari sikap terlena dengan prestasi masa lalu. Atau sibuk bernostalgia dengan kebesaran tokoh tokoh Minang di awal kemerdekaan.

Saat awal saya menjabat Gubernur Sumbar tahun 2005, kondisi nyata kita mulai terasa disalib beberapa daerah lain. Kendati Universitas Andalas telah memiliki kampus baru dengan lahan luas lebih dari 500 hektar, tapi posisinya mulai tertinggal dari Universitas Hasanudin di Sulawesi Selatan. Padahal kedua universitas ini berdiri dalam satu Surat Keputusan yang sama ditandatangani Wakil Presiden Moh. Hatta tahun 1956. Prihatin dengan kondisi itu, sebagai gubernur saya saya mencanangkan dan mulai menyediakan anggaran untuk program 1.000 doktor bagi para dosen pengajar yang masih bergelar strata dua.

Tahun 2007, saya berangkat ke Kairo, Mesir, bersama Buya Gusrizal Gazahar (Ketua MUI Sumbar sekarang), Kakanwil Depag Drs. H. Darwas, Kepala Bappeda Dr Bambang Istijono, Kepala Dispenda Sinang Subekti, dan Kepala Biro Bina Sosial Kafrawi Bakhtiar, untuk membeli asrama bagi mahasiswa Sumatera Barat yang menuntut Ilmu di Universitas Al Azhar.

Menurut Dubes Indonesia di Kairo saat itu, Moh. Fathir (belakangan menjadi wakil Menlu era presiden Joko Widodo), Sumbar adalah propinsi pertama yang memiliki asrama mahasiswa sendiri di Kairo, meskipun Sumbar bukan propinsi kaya raya.

Bersamaan dengan itu, Pemprov Sumbar juga memberi beasiswa bagi 50 mahasiswa yang kuliah di Al Azhar Cairo. Beberapa waktu kemudian Ketua DPRD Sumbar dan beberapa anggota dewan juga berangkat kesana untuk meninjau program tersebut.

Saat itu saya berpikir, tak usahlah lagi mengeluh tentang kelangkaan ulama atau bernarasi dengan kalimat usang "mambangkik batang tarandam". Tapi do something, lakukanlah sesuatu, untuk meraih kemajuan itu. Saya tak tau lagi sekarang apakah asrama itu masih terpelihara dan apakah masih ada beasiswa buat putra putri Minang yang akan bersekolah di sana? Yang saya dengar, program tersebut tidak lagi dilanjutkan.

Dalam kompetisi sehat antar daerah, Minangkabau yang berada dalam wilayah Sumatera Barat secara ekonomi pelan pelan akan tertinggal dari daerah tetangga yang kaya sumber daya alam atau tanahnya yang luas, kecuali bila Pemerintah Daerah dan masyarakat Sumbar menemukan formula jitu untuk membangkitkan potensi yang ada bagi kemajuan ekonominya. Bermodal kekuatan ekonomi itu, banyak provinsi akan mampu memajukan pendidikannya dengan mendatangkan pengajar-pengajar hebat dan membangun sekokah bermutu atau menyekolahkan putra-putri mereka ke sekolah sekolah berkualitas dan ternama di dunia. Bila itu terjadi, maka Sumatera Barat akan kalah dua kosong. Kalah dari sisi ekonomi dan kalah dari pendidikan.

Karena itu, data pendidikan yang dirilis BPS akhir Januari ini sesungguhnya adalah warning atau peringatan, bahwa Minangkabau tak lagi nomor satu. Masih untung nomor dua, tapi bila tidak siap dengan planning dan action yang jelas, maka beberapa tahun ke depan bisa melorot ke nomor yang lebih jauh ke belakang dan kemudian anyuik sarantau (hanyut serantau). Lalu akhirnya cerita tentang industri otak yang pernah dijuluki untuk Minangkabau mungkin akan berubah menjadi industri "gulai banak/otak" sapi saja.

Kondisi yang dihadapi Sumatera Barat atau Minangkabau dewasa ini memerlukan urun rembuk, duduk bersama, para cerdik cendikia, para tokoh, ulama, bundo kanduang LKAAM dan berbagai stake holder lainnya. Untuk itu, perlu seorang dirigen untuk menggerakkan dan memimpinnya. Itulah salah satu fungsi dan peranan yang diharapkan dari Gubernur Sumatera Barat.

Selain itu, diperlukan keberlanjutan (sustainability) dari setiap program strategis pemerintah daerah, agar dana yang ada tak mubazir karena selalu bongkar pasang seperti disinyalir selama ini. Bahkan beberapa hari lalu ditulis dalam sebuah media oleh Prof. Dr. Djoharmansyah Djohan, bahwa ada penyakit kronis daerah di Indonesia, yaitu ganti pemimpin, ganti program.

Mudah mudahan tulisan saya ini mengusik pikiran orang Minang di ranah maupun di rantau, sambil bersyukur bahwa kita masih bisa nomor dua. Wassalam.


Gamawan Fauzi. Bupati Solok (1995-2005), Gubernur Sumatera Barat (2005-2009) dan Menteri Dalam Negeri RI (2009- 2014).

(rdp/rdp)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial