Yogyakarta dan Dilema Kota Pariwisata

3 hours ago 4

Jakarta -

Yogyakarta, sebagai salah satu destinasi pariwisata utama di Indonesia, dikenal dengan kekayaan budaya, sejarah, dan alamnya. Setiap tahunnya, ribuan wisatawan datang untuk menikmati warisan budaya yang kaya, seperti Keraton, Candi Prambanan, serta kehidupan kota yang khas. Kajian dari World Bank (2021) menunjukkan bahwa pariwisata menyumbang sekitar 10% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Yogyakarta. Peluang kerja di sektor pariwisata juga meningkat, menyediakan mata pencaharian bagi ribuan penduduk.

Meskipun sektor pariwisata memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi lokal, perkembangan pesat sektor ini juga membawa dampak negatif terhadap lingkungan kota. Peningkatan jumlah wisatawan telah menyebabkan peningkatan sampah, polusi udara, dan tekanan terhadap fasilitas publik termasuk kemacetan, yang jika tidak ditangani dengan tepat dapat merusak keberlanjutan destinasi wisata tersebut.

Sampah dan KemacetanSalah satu dampak terbesar yang ditimbulkan oleh pariwisata massal adalah akumulasi sampah yang dihasilkan oleh wisatawan. Yogyakarta, yang setiap tahun menerima jutaan pengunjung, menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, kota ini menghasilkan sekitar 1.500 ton sampah setiap hari, dengan porsi signifikan berasal dari kegiatan terkait pariwisata (DLH, 2022).

Sampah plastik, kemasan makanan, dan barang sekali pakai sering ditemukan di area-area wisata populer. Minimnya sistem pengelolaan sampah yang efektif, serta rendahnya kesadaran wisatawan akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya, semakin memperburuk masalah ini. Jika tidak ada langkah konkret untuk menangani sampah ini, akan ada dampak buruk terhadap kebersihan lingkungan dan kualitas hidup masyarakat lokal.

Kemudian dampak lainnya adalah kemacetan lalu lintas yang sering terjadi di kota Yogyakarta saat musim liburan akibat kendaraan. Kemacetan lalu lintas merupakan masalah umum, terutama di daerah pusat kegiatan, yang mengakibatkan waktu tempuh yang lebih lama dan meningkatnya rasa frustrasi bagi wisatawan dan penduduk (Dinas Perhubungan Yogyakarta, 2022). Belum lagi karena kurangnya pengelolaan transportasi yang baik, menyebabkan polusi udara yang cukup signifikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Sebelas Maret pada 2023 menekankan bahwa kemacetan lalu lintas berkorelasi langsung dengan peningkatan emisi polutan, yang berdampak buruk pada kualitas udara. Kendaraan bermotor yang terus-menerus beroperasi di daerah-daerah wisata mengeluarkan emisi karbon yang berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara. Selain itu, polusi suara dari kendaraan, aktivitas wisata, dan acara pariwisata juga memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan kenyamanan masyarakat sekitar.

Belajar dari ThailandPenting bagi pemerintah daerah dan pelaku industri pariwisata untuk mulai mengembangkan dan menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan yang memperhatikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Pemerintah daerah bisa mengimplementasikan yang dilakukan di Thailand pada 2018 dengan mengembangkan pariwisata berkelanjutan yang mencakup pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana, pengurangan emisi karbon, serta perlindungan terhadap ekosistem lokal (Phoochinda, 2018). Melalui strategi ini, pariwisata tidak hanya dapat memberi manfaat bagi perekonomian, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan bagi generasi yang akan datang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Solusi untuk masalah sampah dapat dimulai dengan lebih melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan sampah, mulai dari pemilahan sampah, daur ulang, hingga penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan (Ningrum dkk., 2022). Program edukasi yang melibatkan wisatawan, baik secara langsung di tempat wisata maupun melalui media sosial, dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan dan mengurangi penggunaan barang sekali pakai.

Pemerintah daerah juga bisa bekerja sama dengan sektor swasta untuk menyediakan fasilitas pengelolaan sampah yang lebih baik dan mendukung sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas seperti yang dilakukan Pertamina di Balikpapan melalui program CSR-nya (Suryani dkk., 2022).

Untuk mengatasi meningkatnya polusi udara dan kemacetan lalu lintas di Yogyakarta, penting bagi kota untuk berinvestasi dan mengembangkan sistem transportasi yang lebih berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah promosi kendaraan listrik, yang menghasilkan emisi nol dan dapat meningkatkan kualitas udara di daerah perkotaan secara signifikan (Rahmawati & Pratama, 2023).

Selain itu, membangun jaringan penyewaan sepeda yang dapat diakses oleh penduduk dan wisatawan akan mendorong pilihan transportasi yang ramah lingkungan, sehingga memungkinkan pengunjung menjelajahi kota dengan cara yang lebih berkelanjutan sekaligus menghidupkan kembali romansa Yogyakarta sebagai kota sepeda.

Sistem transportasi umum massal saat ini, khususnya Bus Transjogja, harus mengalami perbaikan untuk memastikan efisiensi dan integrasinya. Dengan memprioritaskan peningkatan infrastruktur transportasi umum, Yogyakarta dapat memberikan pengalaman yang lebih lancar bagi pengguna, sehingga memudahkan wisatawan untuk menjelajahi kota menggunakan angkutan umum daripada bergantung pada kendaraan pribadi.

Saat ini, tantangan signifikan yang dihadapi oleh penduduk dan wisatawan adalah preferensi yang sangat besar terhadap transportasi pribadi. Tren ini sebagian besar disebabkan oleh ketidakcukupan sistem Bus Transjogja yang ada, yang sering gagal memenuhi berbagai kebutuhan penggunanya.

Untuk mengatasi masalah ini, Yogyakarta dapat menerapkan langkah-langkah seperti menambah frekuensi layanan bus, memperluas rute untuk menjangkau lebih banyak area yang diminati, dan meningkatkan rambu-rambu serta penyebaran informasi untuk memberikan informasi yang lebih baik kepada calon penumpang. Dengan menerapkan strategi ini, Yogyakarta dapat meningkatkan aksesibilitas dan daya tarik transportasi umum, yang pada akhirnya mendorong peralihan dari kendaraan pribadi.

Mempromosikan Ekowisata

Kebijakan pemerintah daerah yang ditujukan untuk mengelola pariwisata massal secara efektif telah mencapai tingkat yang mendesak. Salah satu strategi penting melibatkan penerapan peraturan yang membatasi jumlah pengunjung yang diizinkan di destinasi wisata tertentu.

Langkah-langkah tersebut dapat mencakup penetapan batas pengunjung harian atau penetapan waktu kunjungan tertentu, yang akan membantu mengurangi kepadatan dan meningkatkan kenyamanan dan pengalaman secara keseluruhan bagi wisatawan dan penduduk lokal. Dengan mengelola lalu lintas pariwisata secara strategis, peraturan ini dapat melindungi integritas lingkungan dan melestarikan keindahan alam yang menarik pengunjung sejak awal.

Selain itu, mempromosikan ekowisata dapat menjadi solusi penting. Jenis pariwisata ini berfokus pada praktik berkelanjutan yang tidak hanya memprioritaskan pelestarian ekosistem tetapi juga secara aktif melibatkan dan memberi manfaat bagi masyarakat lokal. Mendorong pengunjung untuk terlibat dalam kegiatan ramah lingkungan dapat memperkaya pengalaman perjalanan sekaligus menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kepedulian terhadap lingkungan.

Dengan menerapkan kebijakan ini, pemerintah dapat membantu memastikan bahwa pariwisata berkontribusi positif terhadap ekonomi dan pelestarian sumber daya budaya dan alam untuk generasi mendatang.

Inayah Hidayati peneliti mobilitas penduduk di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial